2 December 2004 | Star: 3/5
Category: |
Restaurants |
Cuisine: |
Japanese / Sushi |
Location: |
Max Euweplein 10, Amsterdam |
(as posted on 25 November 2004 in Jalansutra mailing list, msg #27635)
Karena ada yg menyebut2 Wagamama Amsterdam, saya jadi ingat, pernah mampir ke sana tahun lalu. Untuk yg pertama dan terakhir kalinya. Seorang teman merekomendasikan tempat ini, jadi saya penasaran juga ingin mencoba.
Lokasi Wagamama cukup strategis, terletak di antara Leidseplein dan Max Euweplein, yang selalu dipenuhi orang. Beberapa kali saya lalu-lalang di depan restoran ini tanpa tertarik untuk masuk, karena, pertama, kesannya yg terlalu ‘steril’. Dari luar, etalasenya memang elegan sekali, minim dekor, dengan warna tenang. Kedua, karena saya pernah sekilas membaca review ttg restoran ini di suatu majalah
mingguan (suplemen dari surat kabar De Volkskrant), di mana si penulis tidak terlalu terkesan. Tapi, demi meredam rasa penasaran, sekali2 harus saya coba sendiri.
Tibalah hari itu, saya kebetulan punya waktu untuk mampir. Karena memang bukan jam makan, tempat itu tidak terlihat ramai. Begitu masuk, tak ada sambutan apa2. Saya berjalan melalui bar, langsung saja menghampiri meja2 panjang dan duduk di salah satu bangku. Saya lihat sekeliling, hanya ada sekitar 3 – 4 orang yg sedang makan sendiri-sendiri, masing2 sambil membaca buku, menulis2 sesuatu, atau
bertelepon.
Ketika saya sedang menduga2, di mana kiranya daftar menu restoran tersebut, seorang pelayan berkulit hitam menghampiri dan bertanya apakah saya siap memesan. Saya tanya, di mana menunya. Ia bilang, seharusnya saya ambil sendiri begitu masuk tadi, ada setumpuk menu di atas meja bar. Nah, mana saya tahu? Setelah ia ambil satu menu untuk saya, saya baca2 dan pilihan jatuh pada Chicken Ramen dan Ebi Katsu, dengan Chi sebagai minumannya. Si pelayan mencatat pada buku elektroniknya, lalu pergi menuju dapur.
Sambil menunggu, saya lihat ke sekeliling. Ruangan ini berbentuk persegi empat, dipenuhi jajaran meja dan bangku panjang. Di muka dan belakang saya adalah dinding solid; di sisi kanan terdapat dapur yg tidak berdinding penuh, sehingga saya bisa melihat para koki (semuanya berkulit hitam, tak ada koki Jepang) menyiapkan makanan.
Komentar si reviewer di majalah yg saya baca tersebut, bahwa di restoran yg bernuansa Jepang (baik dekor maupun menunya) hampir semua pegawainya berkulit hitam, ternyata memang benar. Di sisi kiri terdapat dinding kaca, yg memperlihatkan ruang terbuka Max Euweplein, di mana terdapat permainan catur raksasa dan monumen air mancur.
Sebagian dari dinding kaca ini adalah pintu, yang dibuka bila hari hangat dan cerah, sehingga pengunjung Wagamama dapat pula menikmati makanan di ruang terbuka.
Teh Jepang pesanan saya adalah yg pertama kali dihidangkan, dalam satu cawan kecil. Tak ada poci teh yg menemani, sehingga hanya sebanyak itu lah jatah minum saya sore itu. Ramen datang berbarengan dengan Katsu.
Udang goreng ini memang enak, tepung pelapisnya renyah dan ‘tasty’ sementara kematangan dan tekstur udangnya pas empuk-kenyal. Saus yg menemaninya, semacam mayonaise, juga gurih dan sangat cocok jadi teman udang ini. Namun porsi tersebut (lima ekor udang) dihargai sekitar 5 Euro (BYKS), yang termasuk sangat mahal.
Ramennya datang dalam mangkuk yg sangat besar – perkiraan saya, volumenya 2x mangkuk bergambar ayam spt punya tukang2 baso kampung. Sendok yg disediakan unik, bukan dari logam namun terbuat dari batok kelapa yg diikatkan ke bambu. Di salah satu sisi di dalam mangkuk terdapat setumpuk sayuran (jamur dan semacam sawi), dan di sisi lain terjajar irisan daging ayam. Kuah ramen ini berasa lembut, cenderung hambar (di meja tersedia kecap Jepang, juga garam dan merica, bagi yg
ingin rasa lebih kuat). Ramennya sendiri juga enak, namun porsinya banyak sekali. Too much of the same thing – hingga rasanya cenderung ‘membosankan’ setelah sekian lahapan sumpit. Daging ayamnya berasa aneh – sayang sudah setahun lebih berlalu, jadi saya tidak bisa mengira2 sekarang, bumbu apa yg dipakai utk memasak ayam itu. Saya juga lupa harga ramen ini, tapi (BYKS) seporsinya berkisar antara 8 – 10 Euro. Juga termasuk sangat mahal.
Selesai makan, saya panggil pelayan untuk langsung membayar dan meninggalkan Wagamama, tanpa berniat kembali lagi. Sebab, selain mahal sekali, makanannya juga berasa biasa2 saja. Mungkin ini juga masalah selera, namun saya tahu sekarang bahwa Wagamama itu bukan untuk saya. Kalau ingin sup, lain kali saya ke De Soepwinkel saja, atau ke kantin HEMA untuk ewrtensoep-nya yg murmer itu.. hehe..
Pengalaman saya hari itu, termasuk ketika makan di Wagamama, terekam di bagian “Photos”: Wagamama Amsterdam.
Wagamama Amsterdam
Max Euweplein 10
1017 MB Amsterdam
http://www.wagamama.nl