Makan-makan di Barcelona

26 March 2006

As posted in Jalansutra mailing list, #48233

Minggu lalu, saya diundang untuk memberikan satu kuliah umum di Universitat Polytecnica de Catalunya (UPC) di Barcelona, Spanyol. Saya tiba pada hari Jumat siang di Barcelona, dan kembali terbang ke Amsterdam pada hari Minggu. Dalam waktu yg sangat singkat itu, ternyata cukup banyak makan-makan dan jalan-jalan yg saya alami, sehingga artikel ini harus dibagi dua: utk makan-makan, dan utk jalan-jalan.

PIRING-PIRING KECIL
Jumat malam, setelah selesai memberikan kuliah, saya bersama nona rumah, Miren, dan pacarnya, Gordi, berangkat dari kampus UPC menuju Plaza Catalunya. Kami membuat janji utk bertemu dengan dua rekan lain, Deepa dan Jinesh (yg berasal dari India) utk bertemu di depan Cafe Zurich pk. 20:00, utk makan malam bersama.
Kami berdiri di depan cafe tua tsb., memandang ke arah La Rambla (sebuah pedestrian strip yg membentang dari Plaza Catalunya hingga garis pantai di bagian selatan kota Barcelona) dan ke arah dua-tiga pintu keluar dari Metro, arah dari mana Deepa dan Jinisj diperkirakan datang. Mendekati pk. 20:30, belum tampak juga dua orang yg kami tunggu itu. Hari makin larut, namun jalanan makin penuh orang, tak peduli dinginnya hembusan angin. Saya yg terbiasa makan malam pk. 18:00 sudah sangat lapar, sementara perut terakhir terisi (dengan 2 tangkap roti) sekitar jam dua siang, sebelum memberi kuliah.

Saya: Miren, apakah orang2 Spanyol makan malamnya memang telat sekali?
Miren (sambil meringis): Iya! Biasanya restoran mulai ramai di atas pk. 21:30, apalagi weekend begini, puncak ramainya pk. 22:00 hingga tengah malam.
Saya: Apa nggak kelaparan?
Miren: Nggak, karena sore2 biasanya kita makan makanan kecil yg disajikan dalam piring-piring kecil, atau “tapa” (= cover) – yg sekarang umumnya dikenal sebagai “tapas”. Asalnya adalah dari daerah Andalusia, di mana piring kecil tsb digunakan utk menutup gelas minuman supaya tidak dihinggapi lalat. Dalam piring2 kecil tsb dihidangkan berbagai cemilan. Kebiasaan tsb berkembang hingga akhirnya populer seperti sekarang ini.

Ah, rupanya itu asal mula tapas, yg mulai menjamur dan jadi gaya hidup tersendiri di tempat saya tinggal sementara ini (Amsterdam). Pembahasan tapas terpaksa berhenti, sebab Deepa dan Jinesh akhirnya terlihat keluar dari salah satu kolong Metro. Kami segera beranjak mencari tempat makan malam.

WARUNG KATALAN
Saat itu sudah lewat pk. 21:00, dan semua tempat makan sudah nyaris dipenuhi pelanggan. Bila tidak memesan tempat sebelumnya (and we didn’t), adalah kecil kemungkinannya kita dapat tempat di restoran yg baik (= makanan enak, harga terjangkau).
Kami berjalan menelusuri La Rambla, dipandu oleh Gordi, yg mengumumkan, “Karena semua tempat terbaik pastinya sudah penuh, yg kita tuju sekarang ini adalah tempat ‘teraman’, artinya di mana kita pasti dapat tempat duduk, dan dapat makanan enak”. Tempat tersebut bernama L’Avia, sebuah kantin kecil yg menghidangkan makanan khas Katalan dan Amerika Latin.

Di sisi kiri ruangan, terdapat vitrine (meja display) yg berisi berbagai jenis makanan yg mereka hidangkan dan dapur/ tempat menyiapkan makanan. Di sisi kanan, deretan meja-kursi yg sudah dipenuhi orang. Di tengah2nya, nyaris tak ada tempat utk berjalan, saking kecilnya kantin ini. Gordi berbicara dengan pemilik kantin, meminta supaya kami boleh duduk di lantai atas (yg saat itu belum dibuka). Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya kami dipersilakan naik.
Ruangan di atas ini mengingatkan pada restoran2 sederhana di Jawa Tengah, dengan meja2 dan bangku2 plastik berwarna menor dan kipas angin besar di langit2. Lukisan2 dan hiasan2 yg dipajang pun sangat khas, berekspresi lugas, tanpa basa-basi, namun sangat bermain.

Tak lama setelah kami menempatkan diri di sebuah meja, ruangan itu pun segera penuh terisi. Gordi memesankan makanan, dan menjelaskan bahwa makanan tsb adalah utk dimakan bersama2. Tidak ada seorang pun dari kami yg keberatan. Hidangan pun datang satu demi satu, beberapa hadir dalam bak aluminium ukuran sedang, masing2 beralaskan piring keramik.

Terdapat dua piring yg masing2 berisi irisan kentang berbumbu (dengan rasa terkuat dari tomat & paprika), ditemani berbagai daging panggang (iga, susis hitam, dan sekerat daging babi). Satu bak berisi irisan cumi-cumi dan kacang polong, bergelimang saus berwarna merah (dengan rasa dominan tomat, namun agak pedas). Bak lain lagi berisi ikan (cod) dan kentang dengan saus serupa. Ada pula dua bak kerang (mussels) dengan saus yg rasanya mirip, namun jauh lebih encer. Satu bak besar berisi seonggok domba, bawang bombay dan kentang yg dipanggang bersama. Bak terakhir berisi artichoke panggang, yg harus dimakan selapis demi selapis. Semua lauk-pauk ini masih ditemani oleh beberapa potong roti berwarna keputihan yg teksturnya agak padat dan berasa agak asin. Untuk menemani makanan ini, Gordi memesankan anggur yg kualitasnya inferior (karena di antara kami tidak ada peminum anggur sejati), yang hanya enak diminum bila dicampur dulu dengan air soda.

Dari semua hidangan ini, yang tersisa hanya separuh dari susis hitam (susis darah, tidak ada yg terlalu doyan) dan sebutir artichoke. Sisanya licin tandas, termasuk roti asin yg kami gunakan utk menyapu saus yg tersisa di piring. Sudah jelas saya senang ketemu makanan yg bumbu2nya cukup ‘nyambung’ dengan lidah saya (demikian juga yg diaku para rekan dari India). Satu jenis hidangan berharga sekitar 3-4 Euro, jadi untuk 8 porsi yg kami pesan (dan dapat membuat kenyang 5 orang) plus minuman, kira2 habis di bawah 40 Euro.

L’AVIA
Carrer La Cera 33
08001 Barcelona
T (93) 442 0097

RESTORAN TERSEMBUNYI
Sekitar jam dua siang keesokan harinya, saat kami berjalan menuju tempat makan siang, Miren menjelaskan bahwa antara jam dua hingga jam empat sore, toko2 tutup utk beristirahat, dan setelahnya buka kembali hingga pk. 21:00 atau pk. 22:00. Jam2 istirahat itu dimanfaatkan utk menikmati makan siang, bersantai dan (tentu saja) beristirahat.
Dari arah Plaza Catalunya, kami berjalan menuju ke arah Cathedral. Ketika hampir tiba di lapangan depan katedral, Gordi membuka pintu pada sebuah gedung tua di sisi kiri jalan. Terutama karena kaca2 gelapnya, gedung ini sama sekali tidak menarik dilihat dari luar. Di dalam pun, ruangan berlantai keramik hitam-putih dan berdinding hijau tua tsb. terlihat kosong. Yang paling menonjol adalah sebuah tangga masif yg dicat putih, menuju ke lantai atas. Di ujung atas anak tangga terdapat pintu kaca berbingkai kayu.

Saat memasuki pintu ini baru terasa bahwa ruangan ini adalah tempat makan. Terdapat bar membentuk L di pojok kanan ruangan. Di tengah2 ruangan terdapat ‘panggung’ rendah berisi empat meja panjang yg maisng2 dikelilingi bangku2 kayu. ‘Panggung’ ini dikelilingi oleh pilar2 yg menopang sebuah lengkungan pada langit2, di mana terdapat sebuah lampu gantung (chandelier) di tengah2nya.

Pada dinding di sisi bar terdapat tumpukan kotak2 minuman dan sebuah kotak pendingin. Dinding di sisi kiri juga dipenuhi berbagai kotak dan kemasan bahan minuman dan makanan, yg ditumpuk di bawah sebuah lukisan yg bingkainya memenuhi sisa permukaan dinding. Di sisi yg berseberangan dengan bar, terdapat sederet lemari kayu berpintu kaca, yg memperlihatkan isinya: berbagai barang ‘rumahan’ seperti koleksi buku, piala dan plakat, berbagai jenis baju dan kain, dan cendera mata.

Saat kami masuk, baru ada satu meja yg terisi, sehingga dengan mudah kami dapat memilih meja yg kami sukai. Gordi segera memesankan berbagai jenis makanan utk bersama2, setelah kami masing2 memesan minuman. Suasana tempat makan ini seperti rumahan, ‘homey’ sekali. Si bartender, seorang pria setengah baya bertubuh besar dan berkumis-jenggot putih terlihat berdiri santai di belakang bar, sedang mengobrol dengan seorang pelanggan seumurannya (belakangan, mereka main kartu di meja sebelah kami). Si pelayan, seorang muda yg ramah dan cekatan, menyapa sana-sini sambil mondar-mandir membawa pesanan.

Pesanan kami sbb:
2 porsi cumi goreng tepung: irisan cumi berbentuk cincin diolah dengan tepat; sehingga ketika digigit, sedikit melawan namun segera menjinak. Tekstur tepung yg renyah sangat mengimbangi kekenyalan cumi.
1 porsi kentang goreng dengan saus sambal & mayonaise: kentang dipotong2 persegi (dengan kulitnya), lalu digoreng. Di atasnya dituang saus berwarna merah (agak pedas) dan mayonaise.
1 porsi kroket ikan: ragout ikan campur kentang tumbuk, dibentuk bulat-lonjong, digulir tepung panir, lalu digoreng. Luarnya renyah, dalamnya sangat lembut, rasanya cenderung agak asin.
1 porsi daging goreng (bite size): daging babi dipotong kotak2 lalu digoreng dengan bumbu khas.
1 porsi irisan baguette yg dioles tomat segar: salah satu hidangan khas daerah ini.
1 porsi yg terdiri dari irisan cured ham, kotak2 keju dan stick crackers: ‘finger food’ yg juga khas, terutama cured ham-nya yg cukup enak, meskipun bukan dari kualitas terbaik (yg terbilang mahal, belakangan saya cek harganya di pasar setempat, bisa mencapai 38 Euro/kg). Termasuk minuman, total kami habiskan 37,75 Euro. Lagi2 bukan harga yg mahal, mengingat kami berlima ternyata cukup kenyang dengan hidangan model ‘cemilan’ yg mantap ini.

Karena letaknya yg agak tersembunyi ini, jarang ada wisatawan yg dapat menemukan tempat ini, meskipun letaknya di tengah2 kota. Miren pun mengetahui tempat ini dari seorang temannya yg adalah seorang petualang kuliner di Barcelona (yg sesekali ia telpon utk mengecek ulang, saat kami berjalan mencari2 tempat makan), dan kami beruntung mendapatkan pengalaman “go where the locals go”.

HOGAR ESTREMENO
sekitar Plaza Nova (depan Cathedral)

UNTUNG DAPAT TEMPAT
Kami tidak juga memesan tempat utk makan malam ini, dan tadinya mengira bila pergi awal (sekitar pk. 20:00), pasti akan ada tempat utk kami berempat (Gordi tidak ikut). Ternyata dugaan kami salah: tempat2 makan yg kami hampiri, yg terlihat sepi, ternyata sudah penuh dipesan. Ketika hampir putus asa karena sepertinya dihadapkan pada dua pilihan: makan enak (khas Spanyol/Katalan) tapi mahal, atau makan murah tapi hanya semacam pizza dan shoarma, kami tiba di depan sebuah restoran. Miren bilang ia belum pernah ke sini, tapi menilik dari daftar menu dan harga yg dipajang di pintu, tempat ini cukup menjanjikan. Kami segera masuk dan meminta meja utk 4 orang, dan siap2 mendengar penolakan utk kesekian kalinya. Tapi ternyata, meskipun jawaban awalnya adalah, “Agak susah”, kami akhirnya dipersilakan masuk di ruangan belakang.

Miren memesankan makanan pembuka utk kami makan bersama, lalu kami memilih hidangan utama dan hidangan penutup utk masing2. Kami beruntung lagi, ternyata restoran ini menyediakan calzot, hidangan pembuka musiman (hanya tersedia di awal musim semi). Di samping calzot, kami juga memesan escalivada, yg juga tipikal daerah ini.
Calzot, yg disajikan di atas lempengan genting (yg berprofil setengah lingkaran) ini, adalah daun bawang yg dipanggang hingga lapisan luarnya menghitam, dan dalamnya matang. Cara memakannya, pegang ujung atas (bagian hijau daun)nya, lalu kupas lapisan kulit terluarnya seperti mengupas pisang, lalu singkirkan (buang). Celup bagian yg putih pada saus khusus utk calzot (rasanya mirip saus otak-otak, dengan bahan dasar kacang, cuka, tomat, dan bumbu2 lain), lalu *hap!* langsung masuk ke mulut. Makan bagian yg putih, dan sisakan bagian daun yg hijau (terlalu ‘alot’ utk ikut ditelan begitu saja).
Escalivada, yg dihidangkan dalam pinggan keramik, berupa irisan terong panggang, paprika panggang, dan anchovies yg diberi dressing olive oil. Sederhana, namun rasanya khas sekali. Kami juga memesan sangria sekedar utk mengicipi buatan restoran ini. Tapi ternyata rasanya tidak terlalu ‘fruity’, sebaliknya, lebih seperti ‘watered-down wine’.

Saya dan Miren masing2 memilih iga panggang sebagai hidangan utama, Deepa memilih separuh ayam, dan Jinesh pork medallion. Masing2 hidangan datang dengan separuh kentang yg dipanggang dalam kulitnya, dan pada permukaannya ditabur berbagai bumbu segar, sedikit white beans, dan sekeping roti panggang yg lumayan lebar, beserta separuh tomat segar dan sesiung bawang putih. Miren segera menunjukkan cara unik memakan roti “pa amb tomaquet” ini: belah bawang putih, dan gosokkan pada permukaan roti sesuai selera. Lalu gosokkan tomat segar pada permukaan yg sama, sebanyak mungkin hingga permukaan roti basah memerah. Tuangkan olive oil dengan royal, lalu taburkan sedikit garam. Roti siap dimakan.
Hidangan pendamping yg lain tak kalah enak; kentang panggangnya gurih, terutama karena kulit dan bumbu2 di atasnya, lembutnya white beans pun berhasil mengimbangi rasa dan tekstur iga panggang. Penggunaan bumbu2 di sini memang cenderung berani, benar2 terserap dalam bahan makanan yg segar.

Sebagai hidangan penutup, saya pilih crema catalana, yg juga khas dari daerah ini. Crema catalana ini dihidangkan dalam bak keramik bundar, dalam keadaan dingin. Isinya adalah egg/cream custard yg sangat lembut (teksturnya spt vla), dengan selapis caramelized sugar menutupi permukaannya, yg ‘pecah’ saat sendok mulai beraksi.
Sebenarnya crema catalana ini mirip dengan creme brulee, hanya saja bedanya custard pada catalana ini tidak semanis pada creme brulee (setidaknya yg pernah saya icipi selama ini). Namun tetap saja, ini adalah hidangan penutup dengan rasa dan porsi yg sangat pantas. Termasuk minuman dan kopi, kami berempat menghabiskan 57.19 Euro untuk makan malam kali ini. Semua terlihat puas (terbukti dari kosongnya piring2 yg disingkirkan), dan kami pun beranjak keluar sekitar pukul 11 malam, saat sebuah pesta di meja sebelah baru akan dimulai.

LA LLAR DE FOC
Ramon i Cajal, 13
T (93) 284 1025

Ada beberapa gambar di sini

Leave a comment