Category Archives: Blog

[old joke] John Cleese’s Letter to America

29 March 2006

Here’s a letter that has been circulated in e-mails for several months; I just want to store it here. Wheter it was really written by John Cleese or not, I don’t know, but it’s surely hilarious. Just imagine John’s voice and tone as Basil Fawlty when reading this letter!

To the citizens of the United States of America:


In light of your failure to elect a competent President of the USA and thus to govern yourselves, we hereby give notice of the revocation of your independence, effective immediately. Her Sovereign Majesty, Queen Elizabeth II, will resume monarchical duties over all states, commonwealths and other territories (excepting Kansas, which she does not fancy).

Your new prime minister, Tony Blair, will appoint a governor for America without the need for further elections. Congress and the Senate will be disbanded. A questionnaire may be circulated next year to determine whether any of you noticed.

To aid in the transition to a British Crown Dependency, the following rules are introduced with immediate effect:

1. You should look up “revocation” in the Oxford English Dictionary. Then look up “aluminium,” and check the pronunciation guide. You will be amazed at just how wrongly you have been pronouncing it. The letter ‘U’ will be reinstated in words such as ‘colour’, ‘favour’ and ‘neighbour.’ Likewise, you will learn to spell ‘doughnut’ without skipping half the letters, and the suffix “ize” will be replaced by the suffix “ise.”

You will learn that the suffix ‘burgh’ is pronounced ‘burra’; you may elect to respell Pittsburgh as ‘Pittsberg’ if you find you simply can’t cope with correct pronunciation.

Generally, you will be expected to raise your vocabulary to acceptable levels (look up “vocabulary”). Using the same twenty-seven words interspersed with filler noises such as “like” and “you know” is an unacceptable and inefficient form of communication.

2. There is no such thing as “US English.” We will let Microsoft know on your behalf. The Microsoft spell-checker will be adjusted to take account of the reinstated letter ‘u’ and the elimination of “-ize.”

3. You will relearn your original national anthem, “God Save The Queen”, but only after fully carrying out Task #1 (see above).

4. July 4th will no longer be celebrated as a holiday. November 2nd will be a new national holiday, but to be celebrated only in England. It will be called “Come-Uppance Day.”

5. You will learn to resolve personal issues without using guns, lawyers or therapists. The fact that you need so many lawyers and therapists shows that you’re not adult enough to be independent. Guns should only be handled by adults. If you’re not adult enough to sort things out without suing someone or speaking to a therapist then you’re not grown up enough to handle a gun.

6. Therefore, you will no longer be allowed to own or carry anything more dangerous than a vegetable peeler. A permit will be required if you wish to carry a vegetable peeler in public.

7. All American cars are hereby banned. They are crap and this is for your own good. When we show you German cars, you will understand what we mean.

All intersections will be replaced with roundabouts, and you will start driving on the left with immediate effect.

At the same time, you will go metric immediately and without the benefit of conversion tables. Both roundabouts and metrication will help you understand the British sense of humour.

8. The Former USA will adopt UK prices on petrol (which you have been calling “gasoline”) -roughly $6/US gallon. Get used to it.

9. You will learn to make real chips. Those things you call French fries are not real chips, and those things you insist on calling potato chips are properly called “crisps.” Real chips are thick cut, fried in animal fat, and dressed not with mayonnaise but with vinegar.

10. Waiters and waitresses will be trained to be more aggressive with customers.

11. The cold tasteless stuff you insist on calling beer is not actually beer at all. Henceforth, only proper British Bitter will be referred to as “beer,” and European brews of known and accepted provenance will be referred to as “Lager.” American brands will be referred to as “Near-Frozen Gnat’s Urine,” so that all can be sold without risk of further confusion.

12. Hollywood will be required occasionally to cast English actors as good guys. Hollywood will also be required to cast English actors to play English characters. Watching Andie MacDowell attempt English dialogue in “Four Weddings and a Funeral” was an experience akin to having one’s ears removed with a cheese grater.

13. You will cease playing American “football.” There is only one kind of proper football; you call it “soccer.” Those of you brave enough will, in time, will be allowed to play rugby (which has some similarities to American “football”, but does not involve stopping for a rest every twenty seconds or wearing full kevlar body armour like a bunch of nancies).

Further, you will stop playing baseball. It is not reasonable to host an event called the “World Series” for a game which is not played outside of America. Since only 2.1% of you are aware that there is a world beyond your borders, your error is understandable.

14. You must tell us who killed JFK. It’s been driving us mad.

15. An internal revenue agent (i.e. tax collector) from Her Majesty’s government will be with you shortly to ensure the acquisition of all monies due backdated to 1776.

Thank you for your co-operation.

Jalan-jalan di Barcelona (2)

27 March 2006

As posted in Jalansutra mailing list, msg #48250
Lanjutan dari Jalan-jalan di Barcelona (1): #48235
Makan-makan di Barcelona: #48233

JANGAN NIKAH DULU SEBELUM…
Jumat malam (17 Maret). Di sebuah bagian kota (saya lupa namanya), terdapat sebuah lapangan yg dipenuhi mobil2 polisi, juga petugas polisi yg berjaga2 di sekitarnya. Ada apa ini, pikir saya. Gordi menjelaskan, bahwa tiap Jumat malam anak2 muda Barcelona diijinkan mengkonsumsi minuman keras beramai2 dengan teman2nya sampai pagi, hanya di tempat ini. Tapi makin lama sistem lokalisasi ini makin tidak nyaman (utk para pemuda tsb), karena makin banyaknya polisi yg dikerahkan utk mengamankan daerah sekitarnya. Mereka merasa seperti anak2 yg terus menerus diawasi, sehingga keramaian tempat ini pun menjadi berkurang. Entah ini berarti mereka mengurangi pesta minum2, atau berarti mereka diam2 minum di tempat lain..

Setelah makan malam (sekitar pk. 23:00), kami menelusuri Barri Gothic (gothic quarter), bagian tertua kota Barcelona. Di samping gedung2 megah dengan iluminasi mengagumkan pada malam hari, spt Palau de la Generalitat (istana gubernur) yg berseberangan dengan Casa de la Ciutat (town hall), Cathedral, dan istana2 yg lebih kecil lainnya, di daerah ini tersebar pula restoran dan cafe2 mentereng, yg terlihat dipenuhi orang.

Uniknya, beberapa kelompok pengunjung cafe mengenakan atribut serupa. Sekelompok perempuan mengenakan telinga kelinci, tertawa2 ceria di sebuah teras cafe; sekelompok laki2 mengenakan topi2 plastik, ribut berseru2 dengan gelas bir di tangan masing2. Gordi menjelaskan bahwa kelompok2 ini biasanya adalah mereka yg merayakan bachelor(ette) party, atau pesta melepaskan masa lajang sebelum menikah, dan biasanya mereka berasal dari daratan Britania Raya. Kenapa? Mungkin karena di sana terdengar pepatah, “Jangan menikah dulu sebelum mencoba Spanyol”(?), dan mungkin juga karena akhir2 ini banyak sekali penawaran penerbangan murah dari London ke Barcelona.

Malam itu makin diramaikan oleh orang2 Irlandia yg merayakan St. Patrick’s Day; terlihat dari atribut yg mereka kenakan, baik berupa topi (berbentuk bundar), hiasan kepala berbentuk daun semanggi, hingga hiasan muka dan aksen pada baju, rompi dan dasi, yg semuanya berwarna hijau. Sorakan, nyanyian, tawa, terdengar dari berbagai sudut, di celah2 bayangan dan profil bangunan2 gothic, adalah campuran unik dari energi hidup masa kini dengan saksi2 bisu masa lampau, yg berlangsung hingga dini hari.

HIBURAN RAKYAT
Sabtu malam, keitka hari menjelang gelap, kami berjalan menuju Palau Nacional dari arah Placa d’Espanya. Sekali lagi saya menemukan eskalator utk pejalan kaki, tanpa atap pelindung, yg tersambung ke sebuah jembatan penyeberangan ke arah Montjuic. Di ujung jembatan, terdapat Placa del Marques de la Foronda, di mana terdapat sebuah air mancur raksasa, Font Magica, yg akan memulai aksinya pada pukul 7 malam. Kami memanfaatkan satu2nya WC otomatis yg perlu dioperasikan dengan koin seharga 0,30 Euro (ini satu2nya “WC bayar” yg kami temui – sebelum ini, semua WC di tempat2 umum itu gratis dan lumayan terawat bersih).

Kami mampir sebentar ke Pavello Mies van de Rohe, yg didesain pada th 1929 dengan bahan2 baja, kaca, batu dan onyx. Ciri2 desain Bauhaus yg simpel, tegas namun elegan segera terlihat pada paviliun ini. Sayangnya kami tidak sempat masuk, dan hanya berjalan sepanjang bagian teras paviliun, dengan sebuah kolam berbentuk persegi terbentang di sisi kirinya. Kami lanjutkan mendaki, ke arah Palau Nacional yg berfungsi sebagai Museum Nasional. Terdapat beberapa eskalator lagi di antara anak tangga menuju gedung ini, hingga perpotongan dengan Passeig de la Cascade.

Terlihat banyak sekali orang yg berjalan searah dengan kami, menuju puncak Montjuic. Mereka pun hendak menyaksikan Font Magica beraksi. Sampai di depan Palau Nacional, kami duduk di salah satu anak tangga di depan istana tersebut, bersama dengan orang2 yg bahkan sambil berpiknik dengan anak2 mereka. Dari titik tersebut, kami dapat melihat jauh ke bawah, hingga ke Placa d’Espanya. Orang2 mulai ramai mengerubuti Font Magica, juga mencari tempat duduk di anak2 tangga. Hari belum gelap benar, tapi sekitar jam tujuh malam beberapa ‘air terjun’ pada telundakan dari Palau Nacional menuju ke bawah mulai mengalir deras secara serentak. Lampu2 pun mulai dinyalakan, termasuk juga yg menerangi jajaran air terjun tersebut.

Font Magica juga terlihat mulai menyemburkan airnya, dengan lampu berwarna-warni pada dasar kolam. Pertunjukan pertama dimulai! Musik mulai terdengar dari arah air mancur. Kami dan beberapa orang lain yg memutuskan utk melihat lebih dekat supaya dapat juga merasakan gelora musik di sekitar kolam, bergegas menuruni anak2 tangga, menuju Font Magica. Kami lalu duduk di salah satu anak tangga terdekat dengan kolam air mancur tsb, dan mulai menikmati kombinasi dan variasi tinggi-rendahnya, kuat-lemahnya semburan air dan pergantian warna yang bersinkronisasi dengan alunan musik (medley lagu2 klasik yg bernada energik dan dinamis, sebagian besar merupakan karya2 Tchaikovsky).

Bertambah gelapnya malam menambah pula kesan megah penampilan Font Magica. Jejeran air mancur di sepanjang telundakan menuju Palau Nacional turut memeriahkan suasana. Apalagi dari belakang gedung tampak garis2 cahaya yg kuat menuju langit, dari lampu sorot yg diletakkan di belakang gedung. Lengkap sudah kanvas alam Montjuic ini dilukisi dengan cahaya, air, dan musik yg anggun.

Aksi air mancur ini berlangsung sekitar 15-20 menit, tapi dimulai setiap setengah jam mulai pk. 19:00. Pada musim dingin (spt malam itu, meskipun sudah hampir masuk musim semi), berlangsung hanya hingga pk. 20:00. Tidak hanya wisatawan asing dan domestik, para penduduk lokal pun terlihat memenuhi lapangan luas di sekitar air mancur. Anak-anak kecil tidak dapat menahan diri, menari2, melompat dan berlari di sekitar air mancur, mengikuti irama musik.
Kami sangat terpesona hingga betah tinggal sampai tarian terakhir Font Magica malam ini, yg kali ini menampilkan lagu Barcelona yg dinyanyikan oleh (alm.) Freddie Mercury dan Monserrat Caballe, seorang diva opera Spanyol (lagu ini batal dipentaskan pada Olimpiade 1992, karena Mercury meninggal pada akhir 1991, dan Caballe menolak utk mementaskannya dengan orang lain). Saat “Barcelona” berkumandang, kami telah berdiri tepat di salah satu sisi Font Magica, terdiam mengagumi dan menikmati suasana yg sedikit mencekam ini. Ah, benar2 momen yg tepat utk melewatkan malam terakhir di Barcelona.

Ada beberapa gambar di http://esduren.multiply.com/photos/album/39

Jalan-jalan di Barcelona (1)

26 March 2006

As posted in Jalansutra mailing list, msg #48235

[Bagian lain dari msg. #48233 di milis Jalansutra]

Dalam waktu yg singkat, Miren berniat membawa saya ke beberapa tempat wajib-kunjung di Barcelona, sebab tidak mungkin saya dapat menghampiri semuanya. Ini pun sebagian besar hanya melewati gedung atau venue-nya saja, tanpa sempat mampir masuk menikmati isi museum, dsb.

NYASAR TAPI ASIK
Karena ‘ketlisiban’ e-mail antara saya dan Miren, dari airport saya harus cari jalan sendiri ke tempat menginap: Residencia d’Investigadors (= Residence for Researchers), sebuah guest house yg berafiliasi dengan universitas yg mengundang saya, di Carrer Hospital 64. Begitu mendarat dan keluar di ruang kedatangan, segera saya hampiri kios informasi, di mana personelnya dengan jelas menunjukkan letak jalan Hospital tsb di peta.
Dari airport saya naik bis biru nomer A1 yg sengaja disediakan utk mengangkut penumpang dari bandara ke pusat kota, dan sebaliknya. Tiket satu jalan seharga 3,75 Euro. Sesuai instruksi dari petugas informasi, saya turun di Plaza Catalunya, utk selanjutnya berjalan kaki menuju jalan Hospital.

Bis berhenti di sisi sebuah gedung pusat perbelanjaan yg sangat besar. Meskipun udara agak dingin (sekitar 15C) dan matahari malu2 bersinar, jalanan ramai sekali baik oleh orang lokal maupun wisatawan asing. Saya menyeberang ke arah plaza, lalu mencari bangku utk duduk mempelajari peta, mencari orientasi supaya bisa tahu harus berjalan ke arah mana. Rupanya agak susah berkonsentrasi pada peta, sebab saya ingin melihat sebanyak mungkin keadaan sekeliling. Lapangan di tengah sibuknya kota ini begitu besar, penuh tanaman segar dan elemen penyejuk mata lainnya (seperti patung dan air mancur). Di berbagai sudut terlihat orang duduk2 bersantai, anak2 bermain, kios2 kecil penjual mainan atau makanan kecil, dan sebuah kios informasi utk wisatawan. Di mana-mana tersebar polisi yg mengenakan rompi berwarna lime green dengan “Guardia Urbana” tercetak besar pada punggungnya. Ah, tanya jalan ke mereka saja, pasti lebih yakin. Saya bertanya dalam bahasa Inggris pada seorang polisi yg menjawab dengan bahasa Spanyol, tapi bahasa tubuhnya demikian jelas: saya harus berjalan melintas plaza, menyeberang ke La Rambla, terus menelusuri hingga … (selebihnya hanya saya anggukkan sopan, yg penting saya ke La Rambla dulu).

La Rambla, sebuah pedestrian strip yg saya pandangi dari arah Plaza Catalunya, terlihat makin jauh makin rendah elevasinya, sebab memang jalan ini menuju ke arah pantai di selatan Barcelona. Di sisi kiri-kanan La Rambla adalah jalanan mobil (masing2 satu jalur). Saat itu sekitar jam satu siang, jalanan sudah dipenuhi orang, dan La Rambla sedang berada dalam kondisi ‘full action’. Terdapat deretan kios di sisi2 La Rambla, menjual berbagai macam benda, dari cendera mata, bunga dan tanaman, hingga (makin ke arah pantai) lukisan dan pengamen foto & karikatur. Banyak juga street performer yg mendandani diri sebagai patung hidup dengan berbagai tema yg sangat kreatif. Beberapa restoran juga memasang sebagian bangku2nya di La Rambla, sementara restorannya sendiri terletak di seberang jalur mobil.

Sebagai daerah padat wisatawan, banyak peringatan utk berhati2 pada pencopet atau penjambret, dan terlihat pula sebaran polisi guardia urbana yg cukup merata di jalanan ini. Kesempatan saya utk bertanya lagi pada mereka, dan dijawab lagi dengan bahasa Spanyol, yg pesannya kira2 begini: belok kanan setelah stasiun Metro “Liceu”. Metro Liceu pertama yg saya hampiri adalah sebuah exit kecil, tapi saya tetap belok menyeberang ke kanan, sebab tertarik dengan sebuah tempat yg kelihatannya seperti pasar tradisional, dengan atap tinggi di atas ruang terbuka yg dipadati berbagai macam kios. Tergantung di antara atap dan tanah, terdapat signage bertuliskan “La Boqueria”. Dan benar, La Boqueria ini adalah pasar, dan mata saya bagai pesta begitu memasuki daerah pasar ini.

Kios2 terdepan dari arah masuk adalah bagian permen dan berbagai jenis manisan, yg sangat berwarna-warni. Masuk lebih ke dalam lagi, terdapat banyak kios buah2an yg bahkan menjual dragon fruit, manggis, pepaya, rambutan dan jambu klutuk, di samping buah2an yg umumnya ada di pasar2 Eropa (spt berries, kiwi, anggur, dll). Di sini terdapat banyak juga kios daging, dari yg mentah (baik daging maupun berbagai organ) hingga berbagai hasil olahannya (cured ham, berbagai jenis susis, dll) . Tidaklah heran, sebab daging memang lumayan banyak dikonsumsi oleh penduduk daerah Katalan ini. Di pasar ini pula lah, pada keesokan harinya, saya sempat membeli oleh2 dari kios khusus coklat, berupa coklat tradisional khas Katalan: butiran kacang almond, dilapis gula, diselubung coklat, lalu digulirkan pada coklat bubuk. Memang agak mahal (10 butir dihargai 3 Euro), tapi benar2 enak dan pantas dicoba. Di sini tersebar pula kios2 ikan dan produk2 laut lainnya, yg benar2 membuat betah karena segarnya pemandangan dan hidupnya suasana sekitar. Mungkin orang2 memang betah di sini, sebab tersedia pula beberapa tapas bar di antara kios2 ini, sehingga pengunjung dapat melepas penat sambil masih menikmati suasana pasar. Belakangan, saya dengar dari Miren bahwa pasar La Boqueria ini memang yg paling terkenal se-Spanyol; bahkan orang2 luar Barcelona pun datang kemari utk mencari sesuatu yg eksotik atau sekedar cuci mata.

Saya berkeliling pasar, hingga tembus ke bagian belakang pasar (tempat parkir, umumnya utk un/loading bahan2 dagangan). Dari sana saya berjalan ke arah selatan pasar, mengecek nama jalan, dan gembira akhirnya menemukan jalan Hospital (hore! tempat menginap dekat sekali dengan pasar!). Sempat menyasar2 sedikit jadi tak terasa, karena jalan2 yg saya lalui sangat penuh aksi!

ESKALATOR BISA DIHUJAN2KAN?
Sekitar 10:30, kami (saya, Miren, Deepa dan Jinisj) bertemu di stasiun Metro Vallcarca, utk kemudian berjalan ke Parc Guell/Casa-Museu Gaudi. Dari arah ini berarti memasuki Parc Guell bukan dari gerbang utamanya, tapi dari entrance yg tertinggi dari seluruh wilayah Parc Guell tsb. Utk menuju ke sana, kami harus berjalan menanjak di antara rumah2 penduduk (umumnya berbentuk apartemen), yg makin lama makin curam. Di sisi2 jalan terlihat deretan mobil yg diparkir seperti menukik ke bawah. Di beberapa ruas jalan, saking curamnya, tidak dibuat jalan beraspal, melainkan dibuat anak2 tangga. Di sini lah ada hal yg membuat saya heran sekali: terdapat eskalator di antara anak2 tangga ini. Baru kali ini saya lihat eskalator dioperasikan di luar ruang, tanpa pelindung. Apakah memang ia bisa tahan terhadap hujan? Di samping itu, kelihatannya aneh saja, ada eskalator di depan rumah orang, di tengah jalan. Terlepas dari keanehannya, saya menyambut baik ide ini, sebab pendakian masih harus terus dilakukan. Adanya eskalator ini sangat membantu (“Terutama untuk saya”, kata Miren, si perokok berat).

Memasuki Parc Guell, terdapat jalan setapak menuju ke semua bagian taman. Kami pilih utk naik ke titik tertinggi dulu, dari mana kami bisa memandang ke seluruh kota Barcelona. Di kejauhan tampak beberapa landmark yg mudah dikenali, dan dari sini pula tampak bahwa Barcelona, meskipun padat permukiman, selalu menyediakan tempat lapang (plaza atau wilayah pedestrian yg cukup luas) bagi penduduknya.
Dari titik tertinggi ini kami lalu berjalan menuju museum Gaudi; bagian dari Parc Guell di mana Gaudi mulai membangun kota dengan konsep urban yg ada dalam benaknya. Terdapat sebuah restoran di salah satu sisi tebing, memandang ke arah lapangan luas berbentuk hampir bundar. ‘Pagar’ di sekeliling lapangan ini adalah juga bangku2 dengan dekorasi mozaik, memandang ke arah pintu masuk utama Parc Guell. Lapangan ini sendiri letaknya ‘melayang’ dari tanah, disangga beberapa pilar kokoh yg juga berfungsi sebagai drainase air hujan. Air ini lalu diteruskan ke bawah, dalam bentuk air terjun yg keluar dari patung2 mozaik karya Gaudi yg lain, termasuk patung kadal yg terkenal tsb.

Meskipun padat pengunjung, kami dapat merasakan kekayaan ruang tersebut. Luasnya tempat bernapas, ditambah dengan elemen2 buatan yg sangat unik, tentu saja membuat betah. Di sisi kanan (dari arah restoran) terdapat koridor buatan, yg dinding dan tiang2 penyangganya terbuat dari batu. Meskipun buatan, setelah sekian lama koridor ini sudah menyatu dengan alam, terlihat dari berbagai tanaman yg tumbuh di sekitarnya, dan sarang2 burung yg dibangun di celah2 antara pilar dan ‘atap’ koridor tsb.

Kami berjalan di sekitar museum/rumah Gaudi, di jalanan utama di mana terdapat beberapa penjual lukisan, lalu menuju gerbang utama utk keluar dari Parc Guell. Sebelum itu, kami menyempatkan berdiri di antara pilar2 penyangga lapangan, utk membuktikan kualitas akustik dari ruang tsb (ada seorang pengamen memainkan musik di salah satu sudut ruangan).
Di dekat gerbang, terdapat sebuah poster sebesar spanduk yg bergambar lucu & berwarna cerah, seperti ditujukan utk anak2. Terjemahan bebas dari tulisan poster tsb adalah: Mari nikmati dan pelihara alam dan lingkungan.

MENGUKUR JALAN
Dari Parc Guell, kami berjalan menuju Sagrada Familia. Tidak ada yg istimewa di sepanjang jalan, sebab sebagian besar hanya daerah permukiman yg cukup padat. Sambil berjalan, Miren bercerita bahwa Barcelona terbentuk dari gabungan kota2 kecil yg makin lama makin berkembang. Kadang2 kita dapat melihat batas antara kota2 kecil tsb, yg sekarang sudah berfungsi sebagai jalan besar atau jalur utama antar kota.
Kami melewati pula sebuah gereja tua, yg di pelatarannya terlihat kesibukan istimewa. Rupanya mereka hendak mengadakan acara tahunan mereka, yaitu menghidangkan calzot bagi siapapun yg ingin mampir. Dengan membayar sekian euro, orang dapat menikmati calzot dan minuman sepuasnya. Saat kami lewat itu acara belum dimulai. Beberapa orang muda terlihat sedang menyiapkan api dari kayu2 bakar, membuat saus, menata meja panjang dan piring2. Di berbagai tempat terlihat untaian daun bawang (yg akan dibakar menjadi calzot) dan tumpukan kayu bakar. Beruntung malamnya kami sempat juga mengicipi calzot di sebuah restoran.

Ternyata cukup jauh juga berjalan kaki dari Parc Guell ke Sagrada Familia. Kali ini saya bisa mengamati dan merasakan langsung betapa perlunya ruang terbuka bagi permukiman padat semacam ini. Sangat terasa betapa leganya setiap kali kami menjumpai lapangan atau taman, meskipun kecil saja, atau jalur pedestrian di tengah jalan, lengkap dengan patung, air mancur dan tanaman hijau. Di beberapa pedestrian (yg terletak di antara jalur mobil) bahkan terdapat petak2 khusus utk anak2 (playground, lengkap dengan mainan2nya) atau utk anjing, dan bangku2 utk beristirahat. Semua ini dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh penduduk sekitar, yg tentunya sumpek bila harus melewatkan setiap hari2nya dalam apartemen sempit.

BERCERMIN DI DANAU
Kami mendekat Sagrada Familia dari arah Passion Facade, di mana terdapat pintu masuk utama. Meskipun tersedia lebih dari satu loket, antrian orang yg hendak masuk sangat panjang, hingga berbelok ke jalan sebelah gereja yg masih terus dibangun ini. Gaudi merancang gereja ini atas kehendaknya sendiri, dimaksudkan sebagai persembahannya pada Barcelona, namun tak sempat diselesaikannya. Ia meninggalkan maket lengkap, sehingga setelah puluhan tahun, gereja tsb dapat terus dilanjutkan (dan diproyeksikan utk selesai sekitar th 2030), dengan biaya berasal dari keuntungan tiket masuk para pengunjung (sama sekali tidak ada sponsor).

Mengingat singkatnya waktu dan padatnya pengunjung saat itu, kami tidak mungkin ikut mengantri dan masuk ke dalam Sagrada Familia. Kami hanya berjalan di sekelilingnya. Miren menunjuk ke sebuah gedung apartemen di salah satu sisi jalan, “Apartemen ini harus dirubuhkan dalam waktu 10 tahun ke depan, karena termasuk dalam desain Sagrada Familia, sebagai bagian pintu masuk utama.” Di sisi lain, melihat ke dalam sebuah danau di sebuah taman, “Gaudi sengaja membuat danau ini sedemikian rupa, sehingga seluruh bangunan gereja dapat terefleksikan seluruhnya dalam danau ini.” Sayang hari terlalu berangin, sehingga permukaan danau bergerak2 terus, sehingga hari itu kami tidak dapat menyaksikan cerminan Sagrada Familia dalam danau.

Di beberapa titik gereja, terdapat pintu2 masuk lain, termasuk juga pintu ke info center di mana orang dapat memperoleh info mengenai rencana2 pembangunan Sagrada Familia. Ini sebuah proyek yg sangat mengagumkan, benar2 memerlukan komitmen dari pengurus kota dan penduduk Barcelona. Tak terbayangkan besarnya biaya yg dibutuhkan, namun melihat padatnya pengunjung (meskipun bukan musim turis), kelihatannya semua orang optimis akan keberlanjutan proyek ini.

(lanjut ke bagian 2)
Image source: Travel Channel community
Ada beberapa gambar di album foto Barcelona

Makan-makan di Barcelona

26 March 2006

As posted in Jalansutra mailing list, #48233

Minggu lalu, saya diundang untuk memberikan satu kuliah umum di Universitat Polytecnica de Catalunya (UPC) di Barcelona, Spanyol. Saya tiba pada hari Jumat siang di Barcelona, dan kembali terbang ke Amsterdam pada hari Minggu. Dalam waktu yg sangat singkat itu, ternyata cukup banyak makan-makan dan jalan-jalan yg saya alami, sehingga artikel ini harus dibagi dua: utk makan-makan, dan utk jalan-jalan.

PIRING-PIRING KECIL
Jumat malam, setelah selesai memberikan kuliah, saya bersama nona rumah, Miren, dan pacarnya, Gordi, berangkat dari kampus UPC menuju Plaza Catalunya. Kami membuat janji utk bertemu dengan dua rekan lain, Deepa dan Jinesh (yg berasal dari India) utk bertemu di depan Cafe Zurich pk. 20:00, utk makan malam bersama.
Kami berdiri di depan cafe tua tsb., memandang ke arah La Rambla (sebuah pedestrian strip yg membentang dari Plaza Catalunya hingga garis pantai di bagian selatan kota Barcelona) dan ke arah dua-tiga pintu keluar dari Metro, arah dari mana Deepa dan Jinisj diperkirakan datang. Mendekati pk. 20:30, belum tampak juga dua orang yg kami tunggu itu. Hari makin larut, namun jalanan makin penuh orang, tak peduli dinginnya hembusan angin. Saya yg terbiasa makan malam pk. 18:00 sudah sangat lapar, sementara perut terakhir terisi (dengan 2 tangkap roti) sekitar jam dua siang, sebelum memberi kuliah.

Saya: Miren, apakah orang2 Spanyol makan malamnya memang telat sekali?
Miren (sambil meringis): Iya! Biasanya restoran mulai ramai di atas pk. 21:30, apalagi weekend begini, puncak ramainya pk. 22:00 hingga tengah malam.
Saya: Apa nggak kelaparan?
Miren: Nggak, karena sore2 biasanya kita makan makanan kecil yg disajikan dalam piring-piring kecil, atau “tapa” (= cover) – yg sekarang umumnya dikenal sebagai “tapas”. Asalnya adalah dari daerah Andalusia, di mana piring kecil tsb digunakan utk menutup gelas minuman supaya tidak dihinggapi lalat. Dalam piring2 kecil tsb dihidangkan berbagai cemilan. Kebiasaan tsb berkembang hingga akhirnya populer seperti sekarang ini.

Ah, rupanya itu asal mula tapas, yg mulai menjamur dan jadi gaya hidup tersendiri di tempat saya tinggal sementara ini (Amsterdam). Pembahasan tapas terpaksa berhenti, sebab Deepa dan Jinesh akhirnya terlihat keluar dari salah satu kolong Metro. Kami segera beranjak mencari tempat makan malam.

WARUNG KATALAN
Saat itu sudah lewat pk. 21:00, dan semua tempat makan sudah nyaris dipenuhi pelanggan. Bila tidak memesan tempat sebelumnya (and we didn’t), adalah kecil kemungkinannya kita dapat tempat di restoran yg baik (= makanan enak, harga terjangkau).
Kami berjalan menelusuri La Rambla, dipandu oleh Gordi, yg mengumumkan, “Karena semua tempat terbaik pastinya sudah penuh, yg kita tuju sekarang ini adalah tempat ‘teraman’, artinya di mana kita pasti dapat tempat duduk, dan dapat makanan enak”. Tempat tersebut bernama L’Avia, sebuah kantin kecil yg menghidangkan makanan khas Katalan dan Amerika Latin.

Di sisi kiri ruangan, terdapat vitrine (meja display) yg berisi berbagai jenis makanan yg mereka hidangkan dan dapur/ tempat menyiapkan makanan. Di sisi kanan, deretan meja-kursi yg sudah dipenuhi orang. Di tengah2nya, nyaris tak ada tempat utk berjalan, saking kecilnya kantin ini. Gordi berbicara dengan pemilik kantin, meminta supaya kami boleh duduk di lantai atas (yg saat itu belum dibuka). Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya kami dipersilakan naik.
Ruangan di atas ini mengingatkan pada restoran2 sederhana di Jawa Tengah, dengan meja2 dan bangku2 plastik berwarna menor dan kipas angin besar di langit2. Lukisan2 dan hiasan2 yg dipajang pun sangat khas, berekspresi lugas, tanpa basa-basi, namun sangat bermain.

Tak lama setelah kami menempatkan diri di sebuah meja, ruangan itu pun segera penuh terisi. Gordi memesankan makanan, dan menjelaskan bahwa makanan tsb adalah utk dimakan bersama2. Tidak ada seorang pun dari kami yg keberatan. Hidangan pun datang satu demi satu, beberapa hadir dalam bak aluminium ukuran sedang, masing2 beralaskan piring keramik.

Terdapat dua piring yg masing2 berisi irisan kentang berbumbu (dengan rasa terkuat dari tomat & paprika), ditemani berbagai daging panggang (iga, susis hitam, dan sekerat daging babi). Satu bak berisi irisan cumi-cumi dan kacang polong, bergelimang saus berwarna merah (dengan rasa dominan tomat, namun agak pedas). Bak lain lagi berisi ikan (cod) dan kentang dengan saus serupa. Ada pula dua bak kerang (mussels) dengan saus yg rasanya mirip, namun jauh lebih encer. Satu bak besar berisi seonggok domba, bawang bombay dan kentang yg dipanggang bersama. Bak terakhir berisi artichoke panggang, yg harus dimakan selapis demi selapis. Semua lauk-pauk ini masih ditemani oleh beberapa potong roti berwarna keputihan yg teksturnya agak padat dan berasa agak asin. Untuk menemani makanan ini, Gordi memesankan anggur yg kualitasnya inferior (karena di antara kami tidak ada peminum anggur sejati), yang hanya enak diminum bila dicampur dulu dengan air soda.

Dari semua hidangan ini, yang tersisa hanya separuh dari susis hitam (susis darah, tidak ada yg terlalu doyan) dan sebutir artichoke. Sisanya licin tandas, termasuk roti asin yg kami gunakan utk menyapu saus yg tersisa di piring. Sudah jelas saya senang ketemu makanan yg bumbu2nya cukup ‘nyambung’ dengan lidah saya (demikian juga yg diaku para rekan dari India). Satu jenis hidangan berharga sekitar 3-4 Euro, jadi untuk 8 porsi yg kami pesan (dan dapat membuat kenyang 5 orang) plus minuman, kira2 habis di bawah 40 Euro.

L’AVIA
Carrer La Cera 33
08001 Barcelona
T (93) 442 0097

RESTORAN TERSEMBUNYI
Sekitar jam dua siang keesokan harinya, saat kami berjalan menuju tempat makan siang, Miren menjelaskan bahwa antara jam dua hingga jam empat sore, toko2 tutup utk beristirahat, dan setelahnya buka kembali hingga pk. 21:00 atau pk. 22:00. Jam2 istirahat itu dimanfaatkan utk menikmati makan siang, bersantai dan (tentu saja) beristirahat.
Dari arah Plaza Catalunya, kami berjalan menuju ke arah Cathedral. Ketika hampir tiba di lapangan depan katedral, Gordi membuka pintu pada sebuah gedung tua di sisi kiri jalan. Terutama karena kaca2 gelapnya, gedung ini sama sekali tidak menarik dilihat dari luar. Di dalam pun, ruangan berlantai keramik hitam-putih dan berdinding hijau tua tsb. terlihat kosong. Yang paling menonjol adalah sebuah tangga masif yg dicat putih, menuju ke lantai atas. Di ujung atas anak tangga terdapat pintu kaca berbingkai kayu.

Saat memasuki pintu ini baru terasa bahwa ruangan ini adalah tempat makan. Terdapat bar membentuk L di pojok kanan ruangan. Di tengah2 ruangan terdapat ‘panggung’ rendah berisi empat meja panjang yg maisng2 dikelilingi bangku2 kayu. ‘Panggung’ ini dikelilingi oleh pilar2 yg menopang sebuah lengkungan pada langit2, di mana terdapat sebuah lampu gantung (chandelier) di tengah2nya.

Pada dinding di sisi bar terdapat tumpukan kotak2 minuman dan sebuah kotak pendingin. Dinding di sisi kiri juga dipenuhi berbagai kotak dan kemasan bahan minuman dan makanan, yg ditumpuk di bawah sebuah lukisan yg bingkainya memenuhi sisa permukaan dinding. Di sisi yg berseberangan dengan bar, terdapat sederet lemari kayu berpintu kaca, yg memperlihatkan isinya: berbagai barang ‘rumahan’ seperti koleksi buku, piala dan plakat, berbagai jenis baju dan kain, dan cendera mata.

Saat kami masuk, baru ada satu meja yg terisi, sehingga dengan mudah kami dapat memilih meja yg kami sukai. Gordi segera memesankan berbagai jenis makanan utk bersama2, setelah kami masing2 memesan minuman. Suasana tempat makan ini seperti rumahan, ‘homey’ sekali. Si bartender, seorang pria setengah baya bertubuh besar dan berkumis-jenggot putih terlihat berdiri santai di belakang bar, sedang mengobrol dengan seorang pelanggan seumurannya (belakangan, mereka main kartu di meja sebelah kami). Si pelayan, seorang muda yg ramah dan cekatan, menyapa sana-sini sambil mondar-mandir membawa pesanan.

Pesanan kami sbb:
2 porsi cumi goreng tepung: irisan cumi berbentuk cincin diolah dengan tepat; sehingga ketika digigit, sedikit melawan namun segera menjinak. Tekstur tepung yg renyah sangat mengimbangi kekenyalan cumi.
1 porsi kentang goreng dengan saus sambal & mayonaise: kentang dipotong2 persegi (dengan kulitnya), lalu digoreng. Di atasnya dituang saus berwarna merah (agak pedas) dan mayonaise.
1 porsi kroket ikan: ragout ikan campur kentang tumbuk, dibentuk bulat-lonjong, digulir tepung panir, lalu digoreng. Luarnya renyah, dalamnya sangat lembut, rasanya cenderung agak asin.
1 porsi daging goreng (bite size): daging babi dipotong kotak2 lalu digoreng dengan bumbu khas.
1 porsi irisan baguette yg dioles tomat segar: salah satu hidangan khas daerah ini.
1 porsi yg terdiri dari irisan cured ham, kotak2 keju dan stick crackers: ‘finger food’ yg juga khas, terutama cured ham-nya yg cukup enak, meskipun bukan dari kualitas terbaik (yg terbilang mahal, belakangan saya cek harganya di pasar setempat, bisa mencapai 38 Euro/kg). Termasuk minuman, total kami habiskan 37,75 Euro. Lagi2 bukan harga yg mahal, mengingat kami berlima ternyata cukup kenyang dengan hidangan model ‘cemilan’ yg mantap ini.

Karena letaknya yg agak tersembunyi ini, jarang ada wisatawan yg dapat menemukan tempat ini, meskipun letaknya di tengah2 kota. Miren pun mengetahui tempat ini dari seorang temannya yg adalah seorang petualang kuliner di Barcelona (yg sesekali ia telpon utk mengecek ulang, saat kami berjalan mencari2 tempat makan), dan kami beruntung mendapatkan pengalaman “go where the locals go”.

HOGAR ESTREMENO
sekitar Plaza Nova (depan Cathedral)

UNTUNG DAPAT TEMPAT
Kami tidak juga memesan tempat utk makan malam ini, dan tadinya mengira bila pergi awal (sekitar pk. 20:00), pasti akan ada tempat utk kami berempat (Gordi tidak ikut). Ternyata dugaan kami salah: tempat2 makan yg kami hampiri, yg terlihat sepi, ternyata sudah penuh dipesan. Ketika hampir putus asa karena sepertinya dihadapkan pada dua pilihan: makan enak (khas Spanyol/Katalan) tapi mahal, atau makan murah tapi hanya semacam pizza dan shoarma, kami tiba di depan sebuah restoran. Miren bilang ia belum pernah ke sini, tapi menilik dari daftar menu dan harga yg dipajang di pintu, tempat ini cukup menjanjikan. Kami segera masuk dan meminta meja utk 4 orang, dan siap2 mendengar penolakan utk kesekian kalinya. Tapi ternyata, meskipun jawaban awalnya adalah, “Agak susah”, kami akhirnya dipersilakan masuk di ruangan belakang.

Miren memesankan makanan pembuka utk kami makan bersama, lalu kami memilih hidangan utama dan hidangan penutup utk masing2. Kami beruntung lagi, ternyata restoran ini menyediakan calzot, hidangan pembuka musiman (hanya tersedia di awal musim semi). Di samping calzot, kami juga memesan escalivada, yg juga tipikal daerah ini.
Calzot, yg disajikan di atas lempengan genting (yg berprofil setengah lingkaran) ini, adalah daun bawang yg dipanggang hingga lapisan luarnya menghitam, dan dalamnya matang. Cara memakannya, pegang ujung atas (bagian hijau daun)nya, lalu kupas lapisan kulit terluarnya seperti mengupas pisang, lalu singkirkan (buang). Celup bagian yg putih pada saus khusus utk calzot (rasanya mirip saus otak-otak, dengan bahan dasar kacang, cuka, tomat, dan bumbu2 lain), lalu *hap!* langsung masuk ke mulut. Makan bagian yg putih, dan sisakan bagian daun yg hijau (terlalu ‘alot’ utk ikut ditelan begitu saja).
Escalivada, yg dihidangkan dalam pinggan keramik, berupa irisan terong panggang, paprika panggang, dan anchovies yg diberi dressing olive oil. Sederhana, namun rasanya khas sekali. Kami juga memesan sangria sekedar utk mengicipi buatan restoran ini. Tapi ternyata rasanya tidak terlalu ‘fruity’, sebaliknya, lebih seperti ‘watered-down wine’.

Saya dan Miren masing2 memilih iga panggang sebagai hidangan utama, Deepa memilih separuh ayam, dan Jinesh pork medallion. Masing2 hidangan datang dengan separuh kentang yg dipanggang dalam kulitnya, dan pada permukaannya ditabur berbagai bumbu segar, sedikit white beans, dan sekeping roti panggang yg lumayan lebar, beserta separuh tomat segar dan sesiung bawang putih. Miren segera menunjukkan cara unik memakan roti “pa amb tomaquet” ini: belah bawang putih, dan gosokkan pada permukaan roti sesuai selera. Lalu gosokkan tomat segar pada permukaan yg sama, sebanyak mungkin hingga permukaan roti basah memerah. Tuangkan olive oil dengan royal, lalu taburkan sedikit garam. Roti siap dimakan.
Hidangan pendamping yg lain tak kalah enak; kentang panggangnya gurih, terutama karena kulit dan bumbu2 di atasnya, lembutnya white beans pun berhasil mengimbangi rasa dan tekstur iga panggang. Penggunaan bumbu2 di sini memang cenderung berani, benar2 terserap dalam bahan makanan yg segar.

Sebagai hidangan penutup, saya pilih crema catalana, yg juga khas dari daerah ini. Crema catalana ini dihidangkan dalam bak keramik bundar, dalam keadaan dingin. Isinya adalah egg/cream custard yg sangat lembut (teksturnya spt vla), dengan selapis caramelized sugar menutupi permukaannya, yg ‘pecah’ saat sendok mulai beraksi.
Sebenarnya crema catalana ini mirip dengan creme brulee, hanya saja bedanya custard pada catalana ini tidak semanis pada creme brulee (setidaknya yg pernah saya icipi selama ini). Namun tetap saja, ini adalah hidangan penutup dengan rasa dan porsi yg sangat pantas. Termasuk minuman dan kopi, kami berempat menghabiskan 57.19 Euro untuk makan malam kali ini. Semua terlihat puas (terbukti dari kosongnya piring2 yg disingkirkan), dan kami pun beranjak keluar sekitar pukul 11 malam, saat sebuah pesta di meja sebelah baru akan dimulai.

LA LLAR DE FOC
Ramon i Cajal, 13
T (93) 284 1025

Ada beberapa gambar di sini

Strips in Stereo: Musik dalam Cergam

13 March 2006

Sabtu malam, 11 Maret 2006, sekitar pk. 21:00, tampak antrian panjang di luar Paradiso (sebuah gereja tua yg kini berfungsi sbg gedung pertunjukan). Hawa dingin dan turunnya butiran salju lembut tidak mengurungkan niat para pengunjung malam itu, yang telah menghabiskan seluruh tiket yang terjual.

Sekitar jam itu pula saya tiba di Paradiso, tapi tidak sempat berlama2 memandangi panjangnya antrian di luar sebab harus segera mencari tempat parkir utk sepeda saya, supaya bisa segera ikutan mengantri. Ini tidak mudah, sebab semua tempat parkir sepeda dan ruang yg ada di sisi jalan juga sudah penuh dengan sepeda. Untung akhirnya dapat juga tempat nyempil di seberang Paradiso, di pelataran sebuah sekolah tingkat menengah, meskipun harus dengan menarik dan menyingkirkan sebuah sepeda yg diparkir miring.
Mungkin sekitar 10 menit waktu yg dihabiskan para pengunjung untuk mengantri di luar. Saya hanya bersyukur hawa dingin malam itu tidak ditingkahi angin. Begitu antrian bersendat maju, saya termasuk yg bisa langsung masuk ke pintu, sebab selain tiket masuk Strips in Stereo (15 Euro), saya juga sudah punya tiket Paradiso (2,50 Euro, yg berlaku bulanan), sementara banyak orang yg masih harus mengantri utk ini. Sampai dalam ruangan, langsung terasa hangat, jadi saya titipkan dulu jaket tebal di ruang mantel (1 Euro per jaket) sebelum masuk ke ruang pertunjukan.

Lantai dasar Paradiso waktu itu sudah penuh orang yg sibuk berbincang, merokok, dan minum (ada bar di salah satu pojok ruangan). Di depan, terlihat berbagai instrumen musik sudah tertata di panggung. Di latar panggung, terdapat layar raksasa. Balkon lantai satu dan dua juga tampak sudah terisi penuh, sementara orang2 terus mengalir masuk. Terjual habisnya tiket masuk ini pasti juga karena adanya ulasan ttg acara ini di De Volkskrant (sebuah koran nasional) sehari sebelumnya. Suasana ramai karena ada alunan musik yg dikontrol oleh seorang DJ di pojok ruang yg berseberangan dengan bar.
Para pengunjung malam ini terlihat sangat beragam. Bukan saja dapat dikelompokkan antara yg datang utk musik atau datang utk komik atau dua2nya, tetapi juga dapat dikelompokkan antara penggemar suatu jenis musik. Maklum saja, sebab lagu2 yg dipilih oleh para komikus ini adalah dari bermacam2 jenis (ballads, rock, country, rap, dsb). Selain itu, orang2 ini antusias utk datang juga karena lagu2 yg terpilih akan dibawakan oleh musisi dan penyanyi aslinya.

Lagu pertama, Kinderballade, dibawakan oleh Boudewijn de Groot, yg di-cergam-kan oleh Maaike Hartjes. Sementara lagu dinyanyikan, pada layar terpampang animasi dari karya Maaike. Berbeda dengan gambar sehari2nya yg mirip stick figures, ilustrasi Maaike kali ini cukup memikat, bergaya dekoratif kejepang2an dengan aksen warna2 yg kuat. Balada si anak ini pun terasa mencekam, berkat visualisasi Maaike.
Boudewijn de Groot kemudian membawakan lagu keduanya, Malle Babbe, yg grafisnya digarap oleh Erik Kriek (pencipta seri Gutsman). Jenis lagunya pun balada, dengan lirik yg menggugah rasa, dan digambarkan dengan tepat oleh Erik. Gaya gambar Erik yg biasanya berjiwa American pop art, kali ini diberi aksen kekasaran tertentu, sesuai dengan setting waktu yg dipilihnya.

Berikutnya tampil Guido Belcanto dengan De Verpleegster, dengan visual karya Mark Retera (terkenal dengan tokoh Dirk Jan-nya). Sesuai kisah dalam lagu tsb, Mark menggambarkan Guido yg terpikat oleh seorang perawat yg mengambil contoh darahnya, yg terlihat resah waktu bertemu dokter, dan reaksinya saat ia mengetahui hasil tes darahnya. Di sini pacing dan komposisi panel (pada animasi komik) dengan tepat mengekspresikan tone dan lirik pada lagu.

Frans van Schaik membawakan Ketelbinkie yg divisualisasikan oleh Dick Matena, seorang komikus kawakan yg kali ini memilih menggunakan duo tone pada komiknya, dan menampilkan sosok2 karikatural.

Jeroen Zijlstra yg sedang tur berhalangan hadir utk membawakan lagunya, Je bent zo lelijk, dan digantikan oleh seorang rekannya. Lagu yg, bila diterjemahkan bebas, kira2 berarti “kamu jelek sekali” ini digambar oleh Hein de Kort, yang keunikan gayanya memang sangat cocok untuk lagu tsb. Gambarnya bergaris dan berbentuk seenaknya, dan sengaja dibuat berantakan, seolah2 hendak menekankan arti kata “jelek”.

Spinvis dengan lagunya Voor ik vergeet tampil di panggung dengan Hanco Kolk, komikus yg malam itu kebetulan berulang tahun (ya, penonton sempat menyanyi lagu ulang tahun utknya). Keunikan Hanco adalah gaya garis2 minim namun efektif. Utk Strips in Stereo, Hanco banyak menyertakan kolase foto di antara goresan kuasnya.
Malam itu, Hanco adalah satu2nya komikus yg melakukan live performance. Sebuah kanvas dipasang di panggung sebelum lagu dimulai. Saat Spinvis mulai memainkan lagu (yg terjemahan judulnya adalah “karena saya lupa”), Hanco pun turut beraksi dengan kanvasnya. Kanvas tsb sebelumnya telah digambar oleh Hanco: fokus pada tokoh utama lagu, dikelilingi oleh elemen2 memori yg ada pada benaknya. Selama lagu berlangsung, Hanco menyapukan kuas (dengan cat), sedikit demi sedikit, ke memori2 tsb, hingga perlahan2 hanya tinggal si tokoh utama yg terlihat pada kanvas. Menjelang lagu berakhir, si tokoh pun tersapu kuas, dan setelah semuanya ‘terhapus’ oleh cat, Hanco menggambarkan jantung hati tepat di mana si tokoh berada.

Peter Pontiac memilih lagu Meisjes (= perempuan muda) karya Raymond van ‘t Groenewoud utk divisualkan. Ini bukanlah pilihan sembarangan, sebab gambar2 perempuan karya Peter dinilai sebagai yg terseksi di seluruh Belanda. Raymond malam ini tampil mengenakan rok mini hitam (terlihat spt lingerie), wig brunette pendek dan memakai lipstick (bukan hal yg baru baginya utk tampil berkostum).
‘Komik’ Peter kali ini lebih berupa clip arts, yg memperlihatkan beberapa versi perempuan: dari tipe girl-next-door yg membuat jumpalitan para pria, hingga tipe alien yg membuat jiper laki2. Hal yg paling menarik adalah interpretasi Peter yg tak terduga terhadap lirik2 Raymond, yg lebih dari sekedar berorientasi seksual.

Getty Kaspers, eks penyanyi dari grup Teach-In (sebuah band pop di th 70an) menampilkan Ding-edong, yg divisualisasikan oleh Jean-Marc van Tol. Keras-pelannya nada di bagian2 tertentu pada lagu terasa pada gambar melalui besar-kecilnya huruf pada komik, terutama pada bagian ‘sound effect’ (bunyi detak jam, atau bunyi lonceng gereja).

Henny Vrienten dari grup Doe Maar membawakan Is dit alles?, yg liriknya digambarkan oleh Barbara Stok dalam suasana sehari2. Selingan “wouu wouu” yg sering terdengar dalam suatu lagu dimasukkan dalam panel2 komik melalui berbagai adegan (bayi menangis, anjing melolong, dsb). Sehingga, meskipun di luar alur cerita utama, “wouu wouu” itu tetap tampil pada komik.

Karya Thé Tjong-Khing termasuk yg paling ditunggu2 kali ini, mengingat kiprahnya terakhir dalam dunia komik profesional adalah lebih dari 20 tahun yang lalu (beliau kini lebih terkenal sebagai ilustrator buku anak2). Haar sneeuwwitte boezem dari Johnny Hoes yg dipilihnya mengisahkan ttg seorang gadis yg meninggalkan orang tuanya di desa kelahirannya utk pergi ke kota demi masa depannya. Ia lalu mengabari orang tuanya bahwa ia telah berhasil hidup di bawah gemerlapnya lampu kota besar. Interpretasi Khing sangat menarik: “gemerlap lampu”, yg biasanya dianggap sebagai mewahnya kehidupan kota besar, digambarkannya sebagai gemerlap lampu berwarna merah muda, yang membingkai sebuah kaca, di mana si gadis duduk menunggu pelanggan.

Leon Giesen (Mondo Leone) tampil dengan lagunya, Naakt en Kaal, yg divisualisasikan oleh Joost Swarte, komikus yg lebih dikenal sbg seorang desainer grafis termahal se-Belanda. Komposisi dan panel pada karya Joost sudah bisa diduga, dengan teknik garis bersih yg dianutnya itu. Kekuatannya dalam memainkan obyek2nya pun muncul melalui beberapa adegan surreal, yg juga merupakan spesialisasinya.

Def P (dengan grup rap-nya Osdorp Posse) membawakan Moordenaar, dengan visualisasi oleh Typex (baik lirik lagu maupun komik yang satu ini sangat tidak layak utk anak2). Typex membuat komik tanpa kata2: seluruh lirik dituliskan pada sebuah ‘piringan’ di tengah2 halaman.

Bennie Jolink (dari grup Normaal) membawakan D’n poot op het gas, digambarkan oleh Henk Kuijpers (yg terkenal dengan karya serinya, Franka). Komik yg satu ini tampil mantap, hingga hampir tak terasa bahwa teksnya adalah lirik lagu.

Peter Koelewijn dengan lagunya Kom van dat dak af, yg saking terkenalnya sampai dibilang ‘lagu nasional’ Belanda, tampil sebagai penutup. Gerrit de Jager, yg mencergamkan lagu ini, juga sangat terkenal berkat karyanya De Familie Doorzon (ia, dan Jean-Marc van Tol, adalah pemrakarsa acara Strips in Stereo ini). Tentu saja nomor ini mendapat sambutan sangat meriah. Sekali lagi, kerasnya nada dapat terlihat pada besarnya font, dan kecepatan lirik juga terlihat pada deretan kata2 yg bersambungan tanpa jeda.

Saya yg sebelumnya belum pernah mendengar lagu2 yg ditampilkan malam ini dapat dengan mudah menikmati musiknya. Mungkin juga karena terbawa suasana, di mana kelihatannya semua orang di Paradiso (kecuali saya) hafal lirik2 lagu tsb dan ikut bernyanyi.
Mengenai visualisasi lagunya sendiri (saya baru menduga, sebab belum melihat bukunya dengan lengkap, juga tidak hafal lirik lagu2 tsb), saya lihat para komikus tsb umumnya mengambil lirik dan menerjemahkannya ke dalam gambar, dengan interpretasi masing2 – bagai mengambil naskah utk dikomikkan. Ada juga di antara mereka yg bermain dengan tinggi/rendahnya nada atau kecepatan lagu, dan berusaha mengekspresikannya dalam gambar.
Baru ini yg dapat saya tangkap dari live performance malam itu, plus tampilan animasi komik pada latar panggung. (Review buku & CD Strips in Stereo akan saya susulkan begitu barangnya sudah ada di tangan)

Di penghujung acara, kedua pemrakarsa acara ini tampil ke panggung dan memperkenalkan para komikus yg terlibat, satu demi satu (semua hadir, kecuali Thé Tjong-Khing) dan menghadirkan kembali para musisi yg telah tampil malam itu. Namun ada berita mengecewakan bagi penonton: malam itu buku & CD Strips in Stereo tidak dapat dijual, sebab persediaan sudah habis sama sekali, dan kita semua harus menunggu cetakan keduanya! (atau mungkin stok habis karena distribusi besar2an sebelum malam itu?). Tentu banyak yg kecewa, termasuk saya, yg berniat memintakan tanda tangan pada buku tsb ke semua komikus yg hadir pada malam itu (sesuai yg dijanjikan pada program Strips in Stereo).

Untuk (agak) mengobati rasa kesal, sebelum pulang saya beli satu kopi versi Bootleg yg dijual di lantai atas (di mana berlangsung pula penjualan berbagai komik dan merchandise spt bros, stiker, dll). Bootleg ini berisi karya2 para komikus Belanda yg tidak termasuk dalam Strips in Stereo, namun juga menggambarkan lagu2 yg mereka pilih masing2. Fotokopian kualitas bagus, bersampul kertas warna perak, berharga 5 Euro.

Saat saya meninggalkan Paradiso (sekitar pk. 23:30), acara masih terus berlangsung: DJ, strips jam session, strips club, dsb. Berhubung bukan penggemar hura2 malam (sambil masih agak sebel perihal buku), dan ingat ada yg menunggu di rumah, saya memilih utk pulang.

Images: dari situs Strips in Stereo: sampul buku dan halaman2 dari Peter Pontiac dan Gerrit de Jager.

Rahasia Apa?

8 March 2006

Seperti tersebut di jurnal gue sebelumnya, kali ini gue hendak meladeni jebakan si Ipan – sebelum dikutuk jadi asbak ama dia – untuk menyebutkan 5 rahasia kecil yg nggak diketahui orang lain. Untuk di jurnal sendiri nggapapa, lah..

1. Sebenernya yg ini udah tertulis di Friendster: gue nggak bisa niup balon, nggak bisa siul, dan nggak bisa nelen pil/kapsul. Nah, udah tiga tuh ya! Hahahaa!

2. Gue nggak bisa nyetir mobil. Terakhir nyetir adalah pas SMA (sekitar th 1988), itu juga sepertinya pas belajar nyetir di Senayan. Selain itu, ampir nggak pernah, sebab baik sekolah maupun ngelencer, naik bis terus. Pas kuliah di Bandung, ngangkot atau nyepeda melulu (atau nebeng temen, tentunya). Lalu sekolah di Belanda, sampai sekarang, full nyepeda dan pakai kendaraan umum. SIM punya sih, bikin di Bali bareng2 Chica dulu, tapi nggak kepake sama sekali.. hehe..

3. Kalo si Ipan dijuluki “Ndoro Croboh” jaman kuliah dulu, gue dapet julukan “Ratu Dempul”. Habis, saben bikin model pasti finishing-nya ngedempul melulu, berhubung modelnya pasti berantakan! Hahaha! Inget komentar Andry Masri yg wkt itu ngasisteni workshop teknik presentasi, “Elu cewek sendiri tapi kerjanya paling jorok!”. Duh, asli gue nggak bangga. Makanya selanjutnya, saben bikin model, gue pake teknik stiker-nya Ozziatski, dijamin mulus!

4. Gue waktu SMP dulu punya geng juga dong. Anggotanya delapan: gue, Rina, Tiur, Laura, Riska, Sandra, Herni, Imelda (sesuai nomor urut anggota.. hihihihi). Nama gengnya? Dolphin (jangan ketawa!)

5. Masih jaman SMP dan awal2 SMA, gue sempet kesuwat2 sama Dolph Lundgren gara2 film The Punisher (nista nista deh), sampe gue bikin gambar potretnya, gue laminasi buat pembatas agenda sekolah (Masih ada lho sampe sekarang! Mau liat? Berhenti ketawa dulu!)
BTW, menggambar potret selebriti adalah mata pencaharian gue yg pertama kali (habis kita emang nggak pernah dikasih uang jajan), sejak jaman SMP.. hehe.. Permintaan terbanyak: NKOTB dan Kirk Cameron (ini juga arsip2nya semoga masih kesimpen rapih di rumah bapak/ibu di Jakarta).

Image hosting by Photobucket

Udah ya Pan. Sekarang gue ikutan elu, nunggu yg Motul dan Yaya.
Eh bentar.. kalo udah nyebut 5 rahasia ringan-dan-lucu ini, boleh nodong yang lain ya? Asik, kalo gitu gue pengen liat punya:
1. Chicaluna
2. Bookshop
3. Uprit
4. Nuragni29
5. Bataviarose
..dan yg lain-lain! 😀


Gambar: kartun Calvin & Hobbes dari situs Jaired’s Heroes

A Jumble of Distraction

8 March 2006

These recent couple of weeks are (supposedly) very hectic for me. I’ve got one important deadline (my dissertation manuscript!) and, shortly after, another deadline (materials for Barcelona!). But somehow I managed to make myself more busy with other things..

First of all, it’s not easy to concentrate when your head is filled with many upsetting news (the Raju case, the RUU AP/P conflicts, and such). Secondly, it’s very easy to get distracted by lighter activities (which I easily agreed upon), such as helping Dhanu’s class preparing their “Pirate” theme for this month. I ended up making cardboard short swords and binoculars, painted and decorated them with crépe paper and (self-made) pirate stickers. I drew a seriously challenging treasure map. I made a ship’s steer wheel out of a real car steer wheel, added with cardboard pieces and more crépe papers. And today, I volunteered to paint a scenery of a pirate ship, heading to a volcanic island (where a treasure chest is kept), next to a skull-shaped rock – on a 2×2 sqm cloth.

On Saturday evening, I plan to go to a Strips in Stereo event at Paradiso, and the Sunday afterwards, we’ll go to a birthday party (a colleague of my husband) in Vijzelstraat. I’m just glad that the venues are nearby our place.

I might have missed the board meeting of Stichting ZieZo (where I am a member) last Monday, but I voted for The Netherlands and Amsterdam councils (for the first time, as an immigrant!) last Tuesday. I rarely go to the chatting line anymore (miss you, people!), at least until I come back from Barcelona, next week.
I should be reading books that are relevant to my research, but I oftenly picked up my new The Hitchhikers’ Guide to The Galaxy or the new MAD magazine (that keeps coming, despite the fact that my subscription should already be expired about half a year ago).

Well, I should really get on with my work now. But before that, I think I’ll take up the challenge from my friend www5 about revealing my little secrets (see? It’s too easy to tempt me nowadays! Haha!)

Image: “Distraction”, John Leech Sketch from 1847. Source: John Leech Archive, UK.

Concerning Childbirth

3 March 2006

I’ve been meaning to write this down for a long time. My motivation? Perhaps to have a reminder, or a self-note, should I happen to be with a baby again. I hope this writing can be of use, too, for others. During both times of my pregnancy (in 2000 and 2003), I joined a class called Safe Natural Birth, or Active Birth. The term ‘active’ is used since Lillith Türk, our instructor, believes that mothers should actively be involved in a birthing process. I agree with this, especially considering unpleasant experiences of my friends and acquaintances: how doctors preferred to give them a c-section (no working on odd hours), how doctors and nurses bossed them around during the delivery (“You should lay flat on your back so the doctor can see better!” – the doctor?! who is giving birth here?!), and other stories where mothers-to-be were treated like cattle.

Women have been losing control over their own delivery since long ago, and I agree that we should rediscover the natural way of giving birth; women should gain their confidence back in this matter. I’m not against improvement in medical technology and treatment, of course, since they indeed save lives and are very useful in complicated conditions. So if you are healthy, you live clean (no smoke, no drugs), your pregnancy goes well and your baby-in-tummy is also healthy, you can actually enjoy the most-dreaded delivery moments very much.

I’m glad that I gave birth in a country where ‘home delivery’ is encouraged (although available, hospital delivery is optional). Here are some points that I summarized from the Active Birth class, which have helped me through the delivery:

1. Delivery pains are perhaps the most dreadful thing any woman can expect. But this fear of pain can be reduced if we know why the pain is there, and what it’s good for.
Contraction pain: to open the passage way and to push the baby out
Delivery pain: it’s the climax, and will be over before you know it. Nothing beats the feeling of holding your new-born in your arms.
Post-natal pain: similar to contraction pain, but this time its purpose is to shrink the womb. Everytime the pain came, I thought, “Ah – another step towards my normal-size belly!”. By the way, I felt this post-natal pain at the 2nd birth; didn’t feel it at the first, but it’s different for everybody.

Contraction pain causes discomfort not only to the mother, but to the baby as well. The discomfort makes the baby push itself out of the womb (did you know that babies also actively take part in their own birthings?), and signals the mother of when to help pushing the baby out. The tips are:

  • Everytime the pain comes, don’t think about how painful it is, or how long it has been. Instead, think about how far you’ve gone, or how good and brave you’ve been.
  • When the pain comes, don’t panic. Being panic only tightens your (already-stretched) muscles, therefore causing more pain. Relaxing (not easy, I know) will loosen up your muscle and might help reducing the pain. So: don’t fight it, but work with it. It would be easier for those who has a composure, therefore can fully control their breathing.

Image hosting by Photobucket
The ‘frog’ position, to relax.

2. Be strong on the legs, because you should be able to support yourself. During contractions, it helps to walk around, or urinate (bend as far as you can, to squeeze the bladder empty), or (my favorite position) be on all four (or supported by pillows, called the ‘frog’ position). During delivery, when you choose not to lay on your back, you’ll need your legs to squat, or support you on all four, if you wish. Make yourself round (bend a bit, or ‘sit’ a bit upright); in this shape, the baby would slip out easier. Afterwards, and this is important, you’ll need to urinate often, right away, in order to shrink your womb. I’ll never forget how my midwives (and later, maternity nurses) liked to ‘nag’ me a lot to go empty my bladder.

Image hosting by Photobucket
An exercise to strengthen your legs

3. Mind your posture. Most back aches are caused by our own habit of sitting, walking and standing sloppily. Keep the upper part of your body erect, don’t hunch or lean to the sides when sitting. You don’t have to walk like a model, but walk gracefully by placing the ball of your foot first before the rest, one after another, pull your shoulder back, point your chin forward. This is useful especially when your gravity point has changed, due to your growing belly: you’ll learn to balance yourself nicely. It also helps reducing back pain, especially at the lower back, whose muscles also support the growing tummy. If you are conscious of your posture during pregnancy, believe me, after giving birth you’ll look better than ever!

Image hosting by Photobucket

Each person has different body and characteristics, of course, so don’t be afraid to find ways that are most convenient for yourself. The most important thing is learning to listen to your body. I’ve written my birthing experience for our first and second babies (in Indonesian), and made graphic ‘reports’ for both: a 9-month diary and another 9-month diary

Images: website illustrations for Active Health Center and from my sketchbook-diary (a couple of pregnancy exercises)

(Baby Baby) Can I Invade Your Country?

28 February 2006

.. rightaway gained my affection on the first hearing. Along with songs from the same album, Sparks‘ newest Hello Young Lovers, all are quite catchy. It didn’t take too much getting used to for me; I was rightaway absorbed into the music during the gig at Paradiso, Amsterdam, last Tuesday (21 Feb). Paradiso, which used to be a church, is not a very big concert venue; in the contrary, it’s sort of snuggly. The standing space (ground floor) was full (of about 500 people), and there’s no barricade between the stage and the floor (people at the first row could lean on the stage).
In the first half of the show, all Sparks band members wore identical black outfits. There’s a screen (white between black transparent clothes) separating Ron & Russell Mael (brothers who are Sparks) from the rest of the band (two guitarists at the left side and a bassist & a drummer at the right). During the show, the white screen was actively used to display projected images that corresponded to the songs. The images also corresponded to the acts of Ron and Russell, i.e. Ron ‘hitting’ his image, Ron ‘playing’ an orgel on the screen, Ron & Russell standing ‘in the rain’. There’s really a lot of screenteraction going on.
Image hosting by Photobucket
Russell and Ron during the show in Amsterdam. Photo source: sparksfan.info

Now, the music. How shall I put it – it’s all very energetic, I could even feel the vibe of every beat (although perhaps it had to do with the fact that I stood next to the speaker, 2nd row, far right). What amazed me the most is Russell’s constant voice – how could he sing like that for (almost) two straight hours, so powerfully?! The atmosphere was quite pleasant, the crowd seemed to have fun; some danced and sang along. Although, I regret that some people lit up their cigarettes during songs. How distracting and inconsiderate.

The first act consisted of all songs from Hello Young Lovers: Dick Around, Perfume, The Very Next Fight, (Baby, Baby) Can I Invade Your Country?, Rock Rock Rock, Metaphor, Waterproof, Here Kitty, There’s No Such Thing as Aliens and As I Sit to Play the Organ at the Notre Dame Cathedral (which was presented so grand when they purposedly lit up the old church windows of Paradiso). The lyrics were smart and witty, the music pleasant and humorous, and sounds almost pompous. For this album, Sparks applied drums/percussions and guitars, unlike for the previous album. I welcome this change very much: different, but still sounds ‘sparky’.

For the second act, the screen was dismantled, and all personnel wore semi-formal outfits (i.e. jacket and tie), performing older Sparks songs (from the ’90s). I knew Sparks waaay too late (only about 4 years ago – while they’ve been making music since the early ’70s), so I wasn’t too familiar with most of the songs. I knew only the ones from Lil’ Beethoven, which they presented at the end of the show (at around 23:30 – they started at about 21:00). All in all, we are very satisfied and couldn’t stop talking about it on our way home (on our bikes, so it’s more like yelling than talking). I was very lucky to have the chance to watch them LIVE! And of course, many thanks to Sybrand for introducing me to Sparks and getting me the tickets as my birthday present! (He said he has all Sparks albums, but mostly in vinyl.. well, I’ve got a lot of catching up to do!)

Image hosting by Photobucket
From the show in Sweden, the next day (same outfit, though!). Photo source: a link from Sparks forum

My graphic notes from the event are here and here.
Sparks site: http://allsparks.com/
More about Hello Young Lovers at BBC Music – including downloadable songs: Perfume and (Baby Baby) Can I Invade Your Country?

Ron and Russell Mael are joined on stage by Tammy Glover (Drums), Dean [Faith No More] Menta (Guitar), Josh Klinghoffer (guitars) and Steve [Red Kross] McDonald (Bass).
Top image: cover of Hello Young Lovers CD

He is happy where he is right now

24 February 2006

Too late. That’s what came to mind right after I heard the news. I was way too late, I could have done what I meant to do long ago, but never got to do it. Now I won’t be able to make up for anything, for I was too late.

Yesterday afternoon was a doctoral public defense for a friend of mine, Gembong, in Eindhoven. I came to give him support, also to see if I could meet some friends whom I met rarely since I moved away from Eindhoven. I was right: in the auditorium (where the public defense was held), I saw familiar faces. During the break (between the defense and the doctoral degree declaration), a woman smiled widely and called my name. I broke to a sort of disbelieved smile and uttered, “Diane!”

Memories from my life in Eindhoven flashed quickly in my mind as soon as I saw her. Diane, an Italian American, and Izaac, her Indonesian husband, were among the most helpful and friendly persons I’ve ever met. I was introduced to her by a flatmate of mine, Mignon (a Korean girl), once I told her that I was looking for a protestant church I can go to. So one Sunday morning, Izaac and Diane picked me up from my apartment and we drove together to the International Baptist Church. They did this to make sure I know the way, so I could go by myself (by bike) next time.
Shortly later, I found out that this couple has been dedicating lots of their time and energy to take care of international students in Eindhoven. They let their house functioned as a kind of ‘community center’ where youths from any nationality, culture and religion, could meet, talk, eat, sing, play, and basically gather. Most international students in Eindhoven would have heard about 4U2 (International Student Group Eindhoven) as well as about Izaac and Diane (here’s an article about them at Cursor, weekly paper of TU/e). This couple has always been helpful in any way, from finding a lodging to physically helping someone packing and moving. From having fun and listening to petty problems, to consoling serious matters. In the later year of my study, I hung out with this community quite often, enjoying each other’s company and feeling the luxury of having so many brothers and sisters.
When it was time for me to move to Amsterdam, I promised I would visit them. When I gave birth to our son, I promised again I would bring along our baby to meet them, but I never did. When I gave birth to our daughter, I made a similar promise, which I also didn’t fulfill. I kept thinking, I live not too far anyway and I could always make time one day – until it’s too late.

Almost automatically, after I called out, “Diane!”, I right away asked, cheerfully, “Where’s Izaac?”. Diane said quietly, “He passed away”. I was stunned and didn’t know what to say. She continued, “It was a couple of months ago. I know I should have told you, but… Well it went so quickly, it was a heart attack. He went to sleep and never woke up anymore”. I was on the verge of tears, but seeing Diane looking so calm and brave, all I could do was saying, “He is happy where he is right now”.

Afterwards, we couldn’t go deeply over the fact that Izaac is no longer with us, due to the happy occasion that Gembong succeeded in his defense and acquired his doctoral degree (which wasn’t easy, since he, too, has been through a turmoil during the completion of his dissertation). Later, Gembong told me that one day before passing away, Izaac had helped him and his family during the hustle and bustle of sudden packing and moving back to Indonesia. Lifting boxes, loading his car, driving around, and everything he used to do for anyone in that state. The next day, he was gone.

Later at night, when everything was already quiet and everyone asleep, I finally had time to ponder about Izaac and Diane. What they have done to make us, foreign students, feel at home and be a big family in Eindhoven. How I should have fulfilled my promises and brought my kids to see them. Rest well, Izaac; I know you’ll always look after us, wherever you are. I finally fell asleep, ignoring the dampness on my pillow.

Image: from the 4U2 website