Category Archives: Klipping

Rampokan Exhibition in Yogya (articles)

28 November 2005

Some clippings from local newspaper about Peter van Dongen’s exhibition in Yogyakarta (thanks to Suryo from Komik Alternatif mailing list for the info).
The first article from Kedaulatan Rakyat contains an announcement about the exhibition, along with an interview with Anggi Minarni, the Director of Karta Pustaka Yogyakarta (where the exhibition is held). My nickname is not the only word that was misspelled in that article.
The second article from Kedaulatan Rakyat contains opinions from Hasmi, creator of the legendary Gundala Putra Petir, who opened the exhibition. His points are: in creating comics, great skills should be improved by creativity (which is the biggest challenge in this Internet era), artists should understand the overall background of their subjects (be resourceful! – and diligent).

Kedaulatan Rakyat 9 Nov 2005
Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik
YOGYA (KR) – Karta Pustaka bersama Erasmus Huis menyelenggarakan acara ‘Peter van Dongen, Kartunis dan Re-kan Pembuat Komik Indonesia: Motulz, Titi, Cahya dan Beng’ di Pendapa Karta Pustaka, Jl Bintaran Tengah 16, Jumat 11 November mendatang dibuka pukul 19.30. Pembukaan akan dilakukan komikus Yogya, Hasmi pencipta tokoh komik Gundala Putra Petir.

Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni mengatakan, kegiatan ‘Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik’ sebenarnya diilhami oleh perayaan di Indonesia sehubungan dengan 60 tahun Kemerdekaan. Erasmus Huis akan menggelar karya kartunis Belanda Peter van Dongen, kelahiran Amsterdam tahun 1966 bersama karya lain dari generasi baru kartunis Indonesia. “Kartunis Indonesa banyak dipengaruhi oleh gaya buku komik Eropa: Motulz, Titi, Cahya dan Beng,” katanya.

Setahu Anggi Minarni, Peter van Dongen mengawali karirnya sebagai penabuh drum dalam sebuah kelompok musik ska-reggae pada awal tahun 80-an. Setelah enam tahun dan sejumlah album singlenya, ia kemudian jatuh cinta pada komik. Sejak kecil, Peter van Dongen sudah mengagumi garis-garis jelas pada gaya kartunis Herge, Jacons dan kemudian Franquin dan Chaland. Ia berhasil melanjutkan studinya di jurusan gambar profesional di Sekolah Tinggi Grafis Amsterdam, namun sayangnya ia tidak berhasil masuk Reitveldas-cademie.

Namun demikian, Van Dongen tidak berhenti menggambar dan pada tahun 1990, ia melakukan debut dengan diterbitkannya Theatre of Mice (Casterman). Tahun 1991, karya Van Dongen memperoleh penghargaan Buku Komik Terbaik dari ‘Stripschappenning’, sebuah penghargaan dari komunitas kartunis Belanda. Pada tahun 1998, Van Dongen mengeluarkan buku baru berjudul ‘Rampokan: Java’ (Ong & Blik). Dongeng tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tanah leluhur Van Dongen ini mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada debutnya. Kembali Van Dongen memperoleh penghargaan ‘Stripschappening’ untuk karyanya ini sebagai Buku Komik Terbaik tahun 1999, serta penghargaan ‘Prix du Lion’ 1999 di Brusel. ‘Rampokan: Java’ turut diterbitkan oeh Joost Swarte. Pada tahun 1998, baik penulis maupun penerbit memperoleh penghargaan untuk Desain Buku Terbaik. Edisi kedua dan terakhir Rampokan berjudul ‘Rampokan” Celebes’ diterbitkan tahun 2004. (Jay)-o

Kedaulatan Rakyat 14 Nov 2005
KOMIKUS ‘GUNDALA PUTRA PETIR’ HASMI: Komik Indonesia Jangan Sekadar Meniru

YOGYA (KR) – Para komikus alias pembuat komik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Persoalannya, apakah mereka memiliki kreativitas yang tinggi sehingga tidak sekadar meniru ? Kreativitas dalam menggarap tema dan karakter yang benar-benar ‘Nge-Indonesia’. Komikus Indonesia jangan sekadar meniru dari negara maju seperti Jepang, perlu membuat komik khas Indonesia.

Demikian ditegaskan Hasmi, komikus dari Yogya yang terkenal dengan karyanya ‘Gundala Putra Petir’ saat membuka Pameran Komik ‘Peter Van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia’ di Pendapa Karta Pustaka, Bintaran Tengah, Jumat (11/11) malam. Selain karya Peter Van Dongen ditampilkan pula karya Motulz, Tita, Cahya dan Beng. Pembukaan pameran tersebut diberi pengantar Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni.

Menurut Hasmi, tantangan membuat komik saat ini memang soal kreativitas. Masalahnya, media, teknologi komputer sudah menjadi bagian industri dari komik itu sendiri. “Persoalan bakat yang besar, adakah dibarengi kreativitas yang tinggi ?” tanya Hasmi. Ia hanya memberi ilustrasi, membuat komik itu sebenarnya harus memahami sosio-kultur dari materi yang akan diga-rap. Lihatlah karya Peter Van Dongen begitu ingin menghadirkan komik bercerita tentang Indonesia atau Asia, karakter orang-orang Indonesia atau Asia sangat kuat muncul dalam karya tersebut. Tak hanya itu, setting bangunan, cerita benar-benar digali dari sosio-kultur Indonesia. Pada prinsipnya, komikus sebelum menuangkan dalam karya sudah memiliki sejumlah referensi sosio-budaya, dipadukan dengan kemampuan imajinasi, akhirnya menjadi karya yang berkualitas dalam rentang waktu yang panjang. “Saya mengungkapkan hal ini sebenarnya bercermin dari diri sendiri. Saya membuat komik Gundala Putra Petir, justru memiliki bayangan tentang Eropa. Padahal saya sendiri tidak mengenal betul Eropa. Tapi, bagaimana lagi semua sudah kebacut alias telanjur,” ucapnya terus terang. Herannya, justru karya tersebut banyak yang memuji dan melekat betul dalam memori masyarakat.

Dalam pengamatan Hasmi, Yogyakarta dengan potensi seniman mudanya merupakan lahan sumber tumbuh-kembangnya komik. “Potensi yang besar memang harus digali dengan segala proses, ketekunan. Syukur komikus mampu membuat mashab, aliran sendiri, serta gaya tersendiri dalam karya yang dihasilkan,’ harapnya yang malam itu merasa berbahagia karena sepanjang hidup baru 2 kali membuka pameran komik. Meski dalam hal ilustrasi itu sendiri, atau komik tidak mengenal ‘mashab’, tetapi karakter karya dari goresan spontanitas bisa dilacak dari mana karya itu berasal. “Saya sendiri juga tidak setuju dengan Manga dari Jepang,” katanya tanpa memerinci, kenapa tidak setuju.

Hasmi juga berharap dari komikus muda, tetap saja muncul kreasi. Bahkan, siapa tahu dari kreasi ada penerbit yang mau berbaik hati menerbitkan, kemudian didistribusikan dan direspons pembaca. Sedangkan Anggi Minarni dalam pengantar antara lain mengatakan peristiwa pameran komik sekarang ini masih langka. “Kalau mendatangkan karya dari Belanda kemudian dipersandingkan dengan komikus Indonesia, harapannya bisa merangsang komikus Indonesia berkreasi.” tandasnya. (Jay)-o

Kompas 15 Okt 2005
Upaya Meraih Pasar dengan Format Baru
BI Purwantari

”Di komputer tertulis stoknya masih ada, kenapa saya dan Anda tidak bisa menemukan buku itu?” tanya seorang pembeli di sebuah toko buku besar di Jakarta dengan nada meninggi. Wajah si penjaga toko tampak bingung dan hanya bisa menjawab, ”Maaf, kami sedang membereskan stok buku.”

Setengah putus asa si pembeli menghampiri tumpukan ratusan komik, membolak-balik komik-komik tersebut. Karena yang dicari belum ditemukannya, ia beralih menuju rak bertuliskan cerita remaja. Satu persatu dibacanya judul tiap buku. Sekitar lima belas menit kemudian terdengar seruannya, ”Ah..ini dia..ketemu juga akhirnya!” Rupanya buku yang dicari tersebut terletak agak tersembunyi sehingga tidak mudah dilihat pembeli.

Buku yang dicari itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, Sebuah Novel Grafis karya Beng Rahadian. Meskipun disebut novel grafis, tetapi formatnya tidak jauh berbeda dengan komik: menggunakan panel-panel gambar dengan balon untuk dialognya.

Di toko buku ini kita dapat menyaksikan tumpukan menggunung komik seperti Kung Fu Boy, Detektif Conan, Kapten Tsubasa, Yugi Oh, dan lainnya di antara rak-rak buku. Masih ditambah lagi komik-komik beraliran manga lainnya dipajang di rak dengan posisi yang mempermudah pembeli mencarinya. Sementara itu, karya Beng Rahadian tadi maupun buku novel grafis lainnya berjudul Split karya Bayu Indie hampir-hampir tak tampak di deretan rak buku yang ada.

Novel grafis, sebuah istilah yang dipopulerkan pertama kali oleh Will Eisner di Amerika Serikat pada paruh terakhir tahun 1970-an, merujuk pada sebuah bentuk komik yang mengambil tema-tema lebih serius dengan panjang cerita seperti halnya sebuah novel dan ditujukan bagi pembaca bukan anak-anak. Istilah ini sebenarnya dipakai oleh Eisner lebih untuk mencuri perhatian perusahaan penerbit tempat ia menyerahkan naskah komiknya di tengah-tengah dominasi pengertian komik sebagai bacaan murahan dan penguasaan pasar pada era itu.

Di Indonesia sendiri, istilah ini belum lama dipakai oleh komikus lokal yang melahirkan karya komik dengan alur cerita seperti halnya sebuah novel, seperti karya Beng Rahadian berjudul Selamat Pagi Urbaz ataupun Split hasil goresan Bayu Indie. Kedua komikus ini bersama-sama dengan penerbitnya, Terrant Comics, secara eksplisit menyebut di sampul depan bukunya sebagai karya novel grafis. Karya lain yang belum lama ini diluncurkan adalah Rampokan Jawa, versi terjemahan bahasa Indonesia dari Rampokan Java, buah karya Peter van Dongen, komikus keturunan Indonesia berkewarganegaraan Belanda.

Dari segi bentuk, kedua karya ini tidak jauh berbeda dengan bentuk komik umumnya. Bahkan dari aspek cerita pun sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dengan karya yang tidak disebut novel grafis. Di kedua karya ini elemen-elemen humor dan kekerasan juga tampil seperti halnya di dalam komik-komik umum. Selain itu, karya komik pada umumnya sebenarnya juga bukan konsumsi anak-anak saja. Banyak pembaca remaja hingga orang dewasa yang juga gandrung membaca komik.

Namun demikian, pihak penerbit memiliki alasan tersendiri untuk menyebutnya sebagai novel grafis. Pandu Ganesa dari Pustaka Primatama yang menerbitkan Rampokan Jawa menyebut, ”Gambarnya sangat indah dan ekspresif. Dari segi cerita juga mampu membuka mata pembaca tentang hal-hal yang selama ini tidak diketahui masyarakat.” Sedangkan Oktavia, General Manager Terrant Comics, menyatakan, ”Masih jarang komikus lokal membuat karya berbentuk cerita yang panjang seperti novel. Selama ini pasar dibanjiri oleh bentuk komik-komik Jepang.”

Apa pun alasan penerbit, karya novel grafis yang beredar di Indonesia mempunyai perbedaan dengan komik-komik yang saat ini mendominasi pasar: komik terjemahan, terutama dari Jepang. Meskipun harga jual novel grafis tidak jauh berbeda dengan komik terjemahan, yaitu sekitar Rp 12.000 hingga Rp 15.000, tetap ada perbedaan perlakuan pasar terhadap kedua produk tersebut. Ilustrasi di awal tulisan cukup memberi gambaran tentang hal ini. Perbedaan keduanya semakin jelas bila kita bandingkan jumlah copy yang dicetak untuk sebuah judul. Kedua karya Terrant Comics yang diterbitkan tahun 2004 dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Hingga Oktober 2005 jumlah yang terjual baru separuhnya. Demikian pula dengan Rampokan Jawa, hanya dicetak 3.000 eksemplar. Tahun 2001 Galang Press pernah menerbitkan karya Seno Gumira berjudul Jakarta 2039, yang oleh Hikmat Darmawan, pengamat komik, juga dikategorikan sebagai novel grafis, hingga kini hanya terjual 700 eksemplar dari 2.000 eksemplar yang dicetak.

Situasi yang sangat berbeda terjadi pada komik-komik terjemahan. Serial Detektif Conan misalnya, setiap judul seri komik terbitan Elex Media Komputindo ini diproduksi hingga 90.000 eksemplar. Sementara judul komik terjemahan lainnya bisa mencapai 10.000 eksemplar.

Situasi pasar yang tidak terlalu menyambut ini agaknya tidak membuat jeri para penerbit novel grafis. Seperti dinyatakan Oktavia, ”ini semacam proyek idealis kami, menerbitkan karya yang betul-betul karya orang Indonesia sendiri. Toh, kami juga punya lini lain di Terrant Books yang menerbitkan novel-novel remaja karya para penulis remaja Indonesia dan cukup diterima pasar.” Memang, Terrant Books yang memajang slogan Pelopor Kebangkitan Penulis Muda Indonesia di website-nya pernah meraup sukses cukup besar dari novel Eiffel I’m in Love, yang berhasil terjual 70.000 eksemplar dalam waktu enam bulan dan kemudian diangkat ke layar lebar serta menjadi film box office kedua setelah Ada Apa Dengan Cinta?.

Sementara itu, Pandu Ganesa mengakui bahwa kerja memasarkan Rampokan Jawa adalah kerja yang sangat berat. Selain karena harganya cukup mahal bagi kantong pribumi yaitu Rp 75.000, juga karena, ”Toko-toko buku di sini menganggap komik adalah produk untuk anak-anak dan sesuatu yang ’ringan’. Jadi dengan bentuk seperti ini tidak semua toko buku mau menerima.” Hal senada diungkap Hikmat Darmawan. Menurutnya, ”Yang jelas novel grafis karya komikus lokal ’ditaruh’ di rak novel oleh toko-toko buku di sini dan bukan di rak komik. Jadi, penerimaan terhadap novel grafis masih berada di tahap awal.”

Berbeda dengan novel grafis karya penulis lokal yang belum mendapat tempat di pasar dalam negeri, novel grafis karya komikus asing, terutama Amerika Serikat, yang didistribusikan ke Indonesia membentuk pasar sendiri di sini. Salah satu tempat para penggemar novel grafis asing bisa memuaskan hobi membacanya adalah toko buku Kinokuniya. Di Kinokuniya Plasa Senayan, novel grafis diberi rak khusus, terpisah dari rak komik, dengan jumlah rak yang cukup banyak.

Penempatan secara khusus seperti ini selain karena permintaan dari kantor pusat di Singapura, menurut Amanda Ayusya dari Kinokuniya, ”Karena turn over buku-buku novel grafis sangat tinggi yang menunjukkan peminatnya cukup banyak. Sering kali satu judul tertentu habis dalam waktu hanya sebulan.” Selain permintaan yang cukup tinggi, berdasarkan pengamatan, penempatan secara khusus ini disebabkan melimpahnya jumlah judul yang tersedia.

Pangsa pasar novel grafis karya komikus asing ini bukan hanya orang-orang asing yang tinggal di Indonesia, tetapi juga orang-orang Indonesia sendiri. Meskipun harganya relatif mahal, rata-rata di atas Rp 100.000, toh pembeli lokal tidak ragu membelanjakan uangnya untuk sebuah karya novel grafis berbahasa Inggris. Menurut Hikmat Darmawan, ”Mereka adalah orang-orang yang memang mengerti tentang novel grafis dan mencari format yang betul-betul novel grafis: karya tematik, alur cerita bukan sebatas tentang superhero, artinya yang tidak mainstream-lah.” Tema-tema di luar tema komik umumnya, seperti tentang persoalan masyarakat urban, psikologi, atau bahkan sosialisme, inilah yang, menurut Hikmat, disukai oleh pembeli yang sering menyambangi Kinokuniya.

Lantas, apakah format baru seperti novel grafis ini dapat membuka peluang baru juga untuk pasar novel grafis di dalam negeri? Beberapa pihak memberi indikasi terbukanya peluang tersebut. Peluang itu terbagi menjadi dua kutub, kutub karya terjemahan seperti Rampokan Jawa dan kutub karya asli komikus lokal. Di kutub pertama, menurut Hikmat, ”Bagus kalau memang ada yang mau menerbitkan terjemahan novel grafis asing. Ini akan mendidik komikus lokal untuk menghasilkan karya serupa. Contohnya komik Tintin yang diterjemahkan ke berbagai bahasa itu memberi inspirasi kepada Peter van Dongen untuk menghasilkan Rampokan Java.”

Di kutub kedua, Pandu Ganesa melihat bahwa ”Format novel grafis ini bisa menjadi jembatan bagi generasi muda Indonesia untuk mengenal kembali karya sastra yang lebih serius.” Dengan kata lain, contoh yang diberikan kutub pertama dapat mendorong komikus lokal menciptakan karya novel grafis untuk karya-karya sastra Indonesia. Nada optimistis serupa dilontarkan Rahayu Hidayat, pengamat komik. ”Format komik sebetulnya merupakan jembatan antarbudaya. Ia memberi peluang bagi karya-karya serius atau klasik untuk dipopulerkan dalam bentuk komik sehingga menjangkau lebih banyak pembaca,” ujar Wakil Dekan I, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini.

Karya-karya klasik yang dikomikkan pernah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) dalam seri Album Cerita Ternama (ACT) pada era 1970-an sampai 1980-an. Menurut Listiana dari GPU, ACT dulu cukup laris dan bahkan permintaan pasar saat ini untuk menerbitkan kembali ACT cukup besar. Ini berarti, optimisme yang dilontarkan Pandu dan Rahayu bukan isapan jempol belaka. Namun demikian, peluang ini mesti dibarengi dengan kerja keras di kalangan komikus dan penerbit dalam negeri selain strategi distribusi yang tepat. Seperti dilontarkan Pandu Ganesa, ”Promosinya tidak boleh lagi model konvensional. Klub-klub pembaca atau buku harus aktif bergerak dan lebih banyak lagi membentuk klub-klub semacam ini.” Kalau memang komunitas komik tidak ingin didominasi terus-menerus oleh manga, tentunya optimisme ini tidak seharusnya berhenti sebagai lontaran ide saja. (umi/sat/wen/ Litbang Kompas)

From the same Kompas, still related to Novel Grafis (also mentioning a bit about Peter’s Rampokan):
Mereka Menyebut Novel Grafis
Novel Grafis, Komik atau Sastra?

There is supposedly one more article from Kompas 15 Nov 2005, titled Menggugah Kebangkitan Komik Indonesia, which contains interviews with Anggi Minarni (about indie comics in Indonesia), Beng Rahadian and Anto Motulz, but I’m still looking for it..

Illustration: cover of Waarom Die Vlag Toch? by Peter van Dongen, published by Het Indisch Huis, Den Haag, which is used for promotional materials of Peter’s exhibition in Indonesia.
Here are some photos of the opening day, along with a report from Motulz.

Just keeping track.. [10] (Kompas, Republika)

1 October 2005

Kompas online today (Saturday 1 Oct 2005) features Rampokan Jawa in one of the main articles in the main page. Here goes:

POLITIKA
“Rampokan Uang Negara”
Budiarto Shambazy

Belum lama ini beredar sebuah novel grafis atau komik berjudul Rampokan Jawa. Komik terbitan Penerbit Pustaka Primata/Komunitas Komik Alternatif ini ditulis dan digambar oleh Peter van Dongen yang asal Belanda.

Rampokan akan mengingatkan Anda yang gemar membaca komik-komik Tintin, tokoh wartawan karangan Georges ”Hergé” Rémi yang berasal Belgia. Karya Van Dongen masuk ke dalam kategori ”komik Eropa” karena negara mereka memang ada di benua tua itu.

Komik Eropa telah lama menginternasional dan jarang yang menceritakan kisah jagoan-jagoan hebat. Komik-komik kita pada dekade 1960-1970, misalnya, banyak menokohkan jagoan seperti Si Buta dari Gua Hantu, Pangeran Mlaar, atau Wiro Si Anak Rimba.

Upacara ”rampokan” diadakan di alun-alun Blitar tiap akhir Ramadhan. ”Ada delapan peti mati berisi harimau dan macan kumbang. Orang-orang berdiri menunggu dengan tombak-tombak khusus berbau kemenyan,” tulis Van Dongen.

Setiap peti mati dibuka, harimau dan macan kumbang dilepas. Benteng orang di sekeliling alun-alun sulit ditembus karena semua mengacungkan tombak masing-masing, membuat harimau dan macan kumbang tak berkutik.

Upacara ”rampokan” itu merupakan sebuah metafora. Jika delapan harimau dan macan kumbang lepas dari hadangan benteng tombak, itu artinya Belanda akhirnya hengkang.

Van Dongen memang berkisah mengenai situasi di sekitar Jakarta dan Bandung hampir satu setengah tahun setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Belanda belum rela pergi, pasukan Jepang ditawan, dan Gurkha dari Inggris menguasai Jakarta.

Van Dongen mengaku, ia menggambar karena terpengaruh oleh Hergé. Oleh para kritikus ia dianggap cukup pas menggambarkan suasana di sekitar bioskop Rex di Jakarta, Pasar Atom di Bandung, atau suasan di kaki-kaki lima.

Gambar truk militer Belanda, becak menunggu penumpang, atau tukang sate berdagang juga nyaris persis. Anda masih dapat menyaksikan suasana kuno tersebut di kota-kota di Indonesia—tentu minus ”hutan spanduk” atau ”pasar tumpah” yang merusak pemandangan banyak kota di Pulau Jawa.

Cerita Rampokan berkisar pada tokoh Johan Kneivel, putra seorang pegawai di Hindia Belanda. Ia pulang ke Belanda untuk belajar sebelum Perang Dunia kedua, tetapi memutuskan kembali ke Indonesia.

Indonesia sebuah ”surga tropis” yang membuat dia bahagia ketika masih bocah. Johan si yatim piatu sejak kecil diasuh pembantu rumah tangga bernama Ninih yang bersikap seperti ibunya sendiri.

Di atas kapal menuju ke Tanjung Priok Johan secara tak sengaja melemparkan Erik Verhagen ke laut. Selama luntang lantung di Jawa bersama temannya, Fritz de Zwart, Johan memakai name tag (kalung identitas personel militer) milik Verhagen sang desertir komunis.

Fritz belakangan ketahuan terlibat kejahatan penggelapan BBM bersama seorang pemilik toko kelontong di Bandung bernama Ong dan Bennie Riebeek, yang mengaku sebagai wartawan. Johan secara tak sengaja terjebak kejahatan itu dan dikejar-kejar pasukan Belanda.

Ia kabur bersama Lisa, perempuan keturunan Ambon-Tionghoa yang bekerja di tangsi Belanda. Sementara toko kelontong milik Ong dibakar dan dijarah massa yang mengamuk.

Dalam pelarian Johan menjadi korban banjir sehingga kalung identitas militer Verhagen hilang. Bagaimana nasib dia selanjutnya, Van Dongen meneruskannya ke komik Rampokan Celebes yang belum disadur ke bahasa Indonesia.

Meskipun orang Indonesia dilukis kurang mirip, komik Van Dongen nyaris sempurna menggambarkan kehidupan saat itu. Itu terlihat, misalnya, dari lanskap Jawa Barat yang indah atau dari detail prosesi upacara penguburan dengan cara Islam.

Van Dongen (kakeknya serdadu KNIL yang dihukum pancung oleh Jepang) sepanjang kisah komiknya sedikit banyak menyajikan struktur sosial masa kemerdekaan. Rakyat Jakarta dan Jawa Barat digambarkan sebagai teroris, miskin, dan dicaci-maki tentara Belanda.

Kelas sosial tertinggi tentu orang-orang Belanda yang kala itu masih bebas berkeliaran dan hidup berdampingan dengan damai dengan pasukan Inggris. Tuan Ong, sang pemilik toko kelontong, adalah kelas pedagang yang berkonspirasi dengan (kalau perlu menipu) penguasa.

Di tahun 1970-an ada satu film bagus hasil buatan orang Indonesia dan Belanda, Saija dan Adinda. Film ini dilarang putar pada masa Orde Baru karena menggambarkan penindasan kejam terhadap rakyat Banten oleh bupatinya sendiri, yang memeras rakyat dan menerapkan praktik politik dan ekonomi ala simbiosis mutualisme dengan kompeni.

Kita juga memiliki komikus-komikus yang menempatkan politik dan ekonomi dalam karya-karyanya pada masa lalu. Cerita bergambar Put On karya Kho Wan Gie tahun 1930 di harian Sin Po, misalnya, menceritakan sosok gendut bermata sipit yang melindungi rakyat kecil dan mencintai Indonesia sebagai tanah kelahiranya.

Walaupun bobot sejarah politiknya terbatas, komikus Ganes TH menelurkan Tuan Tanah Kedaung atau Si Djampang. Pada masa jayanya, Kedaung bisa terjual laku sampai 30.000 kopi.

Komik bisa subur dan menjamur karena Indonesia merupakan sebuah happening art yang tak kunjung usai. Indonesia bagaikan sebuah pantun yang takkan pernah berhenti berbalas atau ibarat sinetron yang menghina logika kita.

Setelah 60 tahun berlalu, Rampokan masih relevan karena rampok-rampok beneran masih berkeliaran dan mengintai hidup kita. Jika ada yang berminat, buatlah sebuah komik yang mampu menyaingi karya Van Dongen, dengan judul Rampokan Uang Negara. (e-mail: bas2806@kompas.com )

By the way, the exhibition at The Erasmus Huis Jakarta was closed yesterday (30 Sept 2005), but there’s a plan to bring it over to Semarang and perhaps other cities.

This article is from Republika 2 Oct 2005:

Sebelum membuat komik ini, Peter van Dongen belum pernah ke Indonesia. Tapi, ia bisa menggambarkan secara detail beberapa hal tentang Jawa pada era kemerdekaan di dalam Rampokan Jawa, komik yang dibuatnya itu. Lihat saja, ketika sang tokoh utama komik itu, Johan Knevel, tiba di Glodok, Jakarta, dilukiskannya suasana pertokoan bergaya arsitektur Cina sampai aktivitas tukang cukur di bawah pohon rindang di tepi jalan. Kostum orang Indonesia tempo doeloe pun, seperti pria dengan sarung atau perempuan dengan kain dan kebaya, ada di komiknya.

Knevel –dikisahkan sebagai seorang Belanda yang lahir di Indonesia dan sedang mencari perempuan bernama Ninih yang pernah mengasuhnya ketika kecil– dilahirkan di Celebes ketika masa penjajahan Belanda. Dalam pencariannya itu, ia sempat singgah di Bandung. Di sini, von Dongen pun mampu mendeskripsikan suasana Kota Kembang masa kemerdekaan itu. Tak luput, beberapa gedung yang kini menjadi peninggalan bersejarah ia gambarkan, termasuk Hotel Savoy Homann yang masih berdiri megah di Jl Asia Afrika.

Perjalanan Knevel yang begitu merindukan tanah kelahirannya cukup berliku. Ia membunuh rekan Belandanya secara tak sengaja. Demi menghindari kejaran tentara Belanda, Knevel akhirnya ‘berlari’ dari satu ke kota lain. Ia pun melihat berbagai kebiasaan penduduk setempat yang tampak unik di matanya.

Van Dongen, lahir Amsterdam tahun 1966, mengenal Hindia Belanda (Indonesia) dari cerita ibunya yang berdarah Cina-Hindia. Sang ibu mengaku begitu traumatis atas peristiwa pemboman di kota Pelabuhan Makassar.

Ia sendiri mengawali kariernya tidak sebagai komikus. Bersama tiga saudaranya, termasuk kembarannya, van Dongen sempat membentuk grup band. Namun karena keinginan melukisnya menggebu-gebu, akhirnya memutuskan menjadi komikus. Awalnya ia membuat komik berjudul Muizentheater (Mice Theater) pada 1990. Komik ini berhasil mendapatkan penghargaan Stripschappening dari komunitas kartunis Belanda.

Beberapa saat setelah diterbitkan di Jakarta, komik ini termasuk laris manis. Di sejumlah milis pegiat perbukuan, banyak posting yang menceritakan sudah ludesnya Rampokan Jawa di Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta yang mengundang van Dongen datang ke Jakarta dan menceritakan seputar komiknya pekan lalu. Di sejumlah toko buku besar pun komik itu dilaporkan sulit didapat.

Keistimewaan komik itu, selain mampu menggambarkan beberapa hal secara detail, juga alur ceritanya yang unik dan variatif. Pada beberapa bagian, komik ini bisa membuat senyum mengembang pembacanya. ”Meski ini fiksi, tapi ia mampu melihat negeri ini dari sisi yang lebih dalam: penderitaan rakyat Indonesia semasa penjajahan,” tulis seorang penggemar komik.

Sebagai sebuah komik sejarah fiksi, ini mungkin original. Tapi sebagai sebuah komik, karya van Dongen tidak original. Karakter tokoh, pemilihan warna, dan gaya melukis van Dongen mirip dengan karya Herge dalam petuangan wartawan muda Tintin bersama anjingnya, Snowy. Van Dongen mengaku sangat ngefans dengan komik Tintin dan itu memberinya inspirasi pada karya yang diciptakannya itu. Mestinya, sebagai seniman dan kartunis, ia mampu menampilkan karakter yang dimilikinya, bukan karakter orang lain yang memang sudah sangat terkenal sejak lama. Terlalu naif juga kalau dikatakan ide kartunnya menjiplak dari Herge. `’Ia seperti tak percaya diri untuk menampilkan kemampuan aslinya,” kata seorang rekan wartawan yang kebetulan berkesempatan bertemu dengan van Dongen.

Terlepas dari itu, sebagai sebuah cerita sejarah, Rampokan Jawa cukup menarik. Apalagi, proses pembuatan komik ini cukup panjang dan makan waktu. Setting cerita dan kehidupan yang mendetil, diakui Peter, didapatkannya dari riset tujuh tahun di museum dan perpustakaan di Negeri Kincir Angin. Foto-foto dan dokumentasi tentang Indonesia yang banyak tersedia di Belanda, ikut sangat membantu proses penafsirannya atas Indonesia yang sangat terbatas.

Sementara pemilihan Jawa sebagai lokasi cerita, diakuinya karena merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu, di samping banyaknya bangunan bersejarah yang indah. Namun dalam sekuel karyanya bertajuk Rampokan Celebes yang segera terbit dalam versi Bahasa Indonesia, Peter juga memasukkaan alam kota di Sulawesi yang merupakan kampung halaman ibundanya.

(Elba Damhuri )

Just keeping track.. [9] (Matamata.com, The Jakarta Post)

20 September 2005

Several photos of the exhibition have been uploaded by Pathindan here (many thanks :D).

Motulz put up a some photos about the exhibition here and Peter’s last night in Jakarta here.

And here’s another article from Matamata.com (Thanks, Tul!)

Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia

Mendengar nama Erasmus Huis alias pusat kebudayaan Belanda terasa betul aroma seriusnya. Yang tertanam dalam benak kalau bukan konser musik klasik pasti pameran lukisan yang bikin jidat mengkerut. Namun sepanjang bulan September ini kesan itu seolah sirna. Pasalnya, ada pameran yang bikin lidah berdecak lantaran tidak biasa-biasanya. Wah pameran apa ya?

Pameran yang dimaksud bertajuk “Peter van Dongen dan Rekan Pembuat Komik Indonesia” berlangsung antara tanggal 7-30 September 2005. Peter adalah penggambar komik asal Belanda dengan setting khas Indonesia. Komik Rampokan: Jawa racikan van Dongen berkisah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang nota bene menjadi tanah leluhurnya. Buku ini diterbitkan di negeri keju pada tahun 1998 dan mendapat penghargaan Stripschappening untuk Buku Komik Terbaik tahun 1999 serta penghargaan Prix du Lion 1999 di Brussel.

Hajat ini sendiri digelar menandai perayaan 60 tahun kemerdekaan RI sekaligus diterbitkannya komik Rampokan: Jawa edisi bahasa Indonesia. Kemudian empat komikus lokal juga turut memamerkan karyanya di ajang ini. Mereka tergolong generasi muda dalam ranah komik lokal yang muncul di era 1990-an, masing-masing adalah Dwi Santoso alias Anto “Kapten Bandung” Motulz, Dwinita Larasati alias Tita, Muhammad Cahya Daulay alias Cahya dan Beng Rahadian alias Beng.

Ada puluhan item yang dipamerkan di tempat ini dan semuanya dipigura dengan manis. Karya-karya Peter yang tampak berupa artwork, salah duanya adalah versi asli Rampokan Jawa dan Rampokan Celebes. Bahkan dipajang pula halaman yang tampak masih tersisa coretan pinsil bahkan juga tipp-exnya. Versi surat kabar PS yang memuat komik Peter juga turut terpajang di dinding.

Sedangkan karya komikus lokal tampak pigura cover komik Kapten Bandung dari Motul bertajuk Kasus Tikus Tarka. Aroma kota Bandung terasa betul di sana, bukan hanya lewat penampakan angkot rute 03 jurusan Abdul Muis-Dago, melainkan istilah Tarka itu sendiri. Kependekan dari Taruna Karya ini adalah istilah khas di kota kembang yang berarti institusi kegiatan semacam Karang Taruna. Karya lain yang terhitung inovatif adalah coretan kartun dari Tita. Karya kandidat doktor ini malah cenderung lebih mirip catatan harian.

Pigura yang berisi halaman coretan Cahya lebih condong dengan gambar arsiran hitam putih. Cerita yang digelontorkanpun cenderung serius tidak seperti ketiga mitra lokalnya. Terakhir ada nama Beng yang cukup familiar di media massa. Di Koran Tempo ia kerap hadir menggambar komik. Pun di majalah komik lokal macam Wizard, sentuhan sosok kartunnya yang jenaka terasa akrab di mata.

Kalau ingin yang segar-segar, tak ada salahnya melangkahkan kaki ke Erasmus Huis. Kumpulan coretan yang menyejukkan itu dijamin bisa menjadi pelepas kepenatan, bahkan bagi mereka yang tak suka komik sama sekali. (bat)

From The Jakarta Post, 23 September 2005

Comic strips shed light on Indonesia’s colonial past
M. Taufiqurrahman, The Jakarta Post, Jakarta

Despite his Indonesian roots, Dutch artist Peter van Dongen, 39, never spent a great deal of his time in this country and his work of art, an award-winning comic strip, was based solely on secondary sources such as old photos, soldiers’ diaries and novels.

Yet, his best-known comic books Rampokan Java and Rampokan Celebes, two fictional stories about life in post-Independence Indonesia, contain breathtaking detail about daily attributes of the period, including people’s daily clothing and their motifs, means of transportation, buildings and roadside advertisements.

Should the cartoon characters be erased from each panel, what would be left would be a realistic postcard view of cities in Java and Sulawesi, circa the 1940s.

Van Dongen uses a style that often features strong colors and a combination of cartoonish characters against a realistic background, a method he adopted from Belgian comic writer and artist Georges Remi, better known as Hergé, the creator of the renowned comic strip Adventures of Tintin.

In one panel from his comic Rampokan Java currently on display at the Dutch cultural center Erasmus Huis, which depicts Kota railway station, West Jakarta, viewers will be enraptured to find a true-to-life scene of a structure that still exists.

Van Dongen has meticulously used the sturdy, majestic dome-shaped construction as the perfect setting for bustling traffic comprising passing military trucks, a vintage sedan, becak (pedicabs), street hawkers and bystanders.

Another panel, showing busy life in Surabaya’s Chinatown, is another example of Van Dongen’s devotion to verit‚-style imaging.

Each detail, from the figure of an old Chinese man in a plain white suit, a small crowd that throngs a street vendor selling traditional drinks to the roadside advertisement, is given equal treatment, and none stands out above the others.

In doing so, Van Dongen adheres to another technique used by Hergé, ligne claire, which uses clear, strong lines with the same thickness and importance, rather than using them to emphasize certain objects or as shading.

The method is sometimes also called the “democracy of lines”.

Van Dongen’s commitment to geographical and cultural accuracy was inspired by Hergé’s monumental work, The Blue Lotus, which tells the story of Tintin’s adventure in China.

Hergé meticulously researched his subjects prior to making the Blue Lotus, to a point where he befriended a Chinese student, Zhang Chongren, who introduced the Belgium artist to Chinese history, culture and the arts.

The plot of Rampokan Java and Rampokan Celebes revolves around protagonist Johan Knevel’s struggle to confront his inner demons.

Knevel, an Indonesian-born Dutch soldier, was sent back to the country as part of a battalion that would once again occupy the newly liberated Indonesia.

Knevel deserted his company after killing his soldier friend and assumed a new identity before going on an odyssey to revisit his long-lost past.

Rampokan Java was copublished by Joost Swarte and earned both author and publisher the 1999 Dutch Prize for Best Book Design.

Van Dongen, whose mother was a Chinese-Indonesian who once lived in Makassar and Manado, visited a number of Indonesian museums to collect background material for Rampokan.

in box: Peter van Dongen and the new generation of Indonesian cartoonists exhibition runs through Sept. 30 Erasmus Huis Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3. tel. 5250507 website http://www.erasmushuis.or.id
(I don’t have any access to whatever image is in the “in box”, though)

Just keeping track.. [8] (Cek & Ricek, Tempo Magazine)

18 September 2005

Cek & Ricek is a national gossip magazine in Indonesia (after having been a popular television program, at first). Rosihan Anwar, a senior journalist who opened the exhibition at Erasmus Huis wrote a short article about that event, followed by two other subjects in the “Halo Selebriti” column. Herewith I copied the contents of the article (only the one about the exhibition). Thanks to Rieza at Komik Alternatif mailing list for sending me scanned pages of the magazine 😀

Cek & Ricek 14-20 September 2005
Pameran Komik Belanda Indonesia, Pelukis Srihadi Dan Pirous, Banggakah Anda Jadi Putra Bangsa Ini?
Oleh: H. Rosihan Anwar

Kartunis Peter Van Dongen (39) dari negeri Belanda bersama rekan pembuat komik Indonesia Motulz, Tita, Cahya dan Beng menggelar pameran di Erasmus Huis Jakarta yang dibuka 6 September 2005 oleh Rosihan Anwar, sejarawan. Meskipun saya tidak tahu banyak tentang gambar/cerita komik, namun atas permintaan Erasmus yang menamakan saya “sejarawan”, saya ucapkan pidato sambutan. Setelah bertanya kepada Ramadhan K.H. kartunis atau komikus mana yang dikenalnya, saya pun menyebutkan nama urang Sunda R.A. Kosasih yang terkenal di tahun 1950-an yang bertutur tentang cerita-cerita wayang. Saya sebut nama Kosasih, tapi menurut Myra Sidharta, penulis biografi delapan penulis peranakan “Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman”, saya lupa mengemukakan nama Put-On, komikus peranakan yang bertutur banyak tentang Betawi.
Peter Van Dongen yang lahir di Amsterdam tahun 1966 adalah seorang dari generasi ketiga Indo. Ibunya Ny. Knevel lahir di Manado, kakeknya serdadu KNIL tewas di zaman Jepang. Peter tidak perlah berdiam di Indonesia. Toh pada tahun 1998, kemudian tahun 2004 dia menerbitkan buku komik Rampokan Java dan Rampokan Celebes. Cerita dan lokasinya ialah Indonesia. Berkat riset yang dilakukannya dan cerita yang didengarnya dari nenek dan ibunya, dia berhasil menggambar adegan kota beserta jalan dan tokonya di zaman Hindia Belanda dengan akurat. Dia bertutur tentang Johan Knevel pergi ke Indonesia mencari Ninih yang dulu jadi babu pengasuhnya, dan didapatinya Ninih berada di pihak para pejuang kemerdekaan.
Gaya Peter banyak kena pengaruh tokoh Tintin dalam komik Hergé dengan garis-garis gambar yang lurus, bersih, dan tidak memakai arsir, garis-garis silang-menyilang pada lukisan, demikian dijelaskan kepada saya oleh Anto Motulz yang belajar di ITB. Sebagai perbandingan, Motulz menunjuk kepada gambar komiknya sendiri yang dipamerkan. Saya juga berjumpa dengan Muhammad Cahya Daulay yang dipanggil Cahya, dan Beng Rahadian alias Beng. Mereka berusia kurang lebih 30 tahun. Seorang rekan mereka Dwinita Larasati atau Tita tidak hadir pada acara pembukaan pameran, karena berada di negeri Belanda menyelesaikan program doktor di Universitas Teknologi Delft. Tapi saya berjumpa dengan kedua orang tua Tita. Rupanya ayahnya, Purnomohadi, seorang arsitek yang pensiun dan mengaku diri fan buku-buku dan tulisan saya, di antaranya In Memoriam.
Seorang pemuda bernama Adrian menyalami saya sambil menyerahkan kartu namanya. Dia Ketua Masyarakat Komik Indonesia. Di kartu namanya tercantum: Support your local comics movement. Saya bilang pada Adrian, kirimlah buku-buku komik Indonesia, nanti saya dukung gerakan memajukan komik di negri ini.

Pictures: The complete article in two parts. Perhaps you can view the article bigger here for part 1 and here for part 2.

I received from Agam (thank a lot! :D) these articles from Tempo Magazine: Edisi. 30/XXXIV/19 – 25 September 2005

Buku
Bila Sang Meneer Melukis Indonesia: Sebuah komik terbitan Belanda tentang masa agresi militer tahun 1940-an diterbitkan dalam versi Indonesia.

”…. 27 Oktober 1945. Seper-ti-nya mimpi-mimpi buruk itu berkurang kalau aku menulis dalam buku harian-ku…. Untung saja, aku toh– tak perlu merasa bersalah…. Bagaimanapun, aku perlu membela diri. Itu kecelakaan….”
(Rampokan Jawa, oleh Peter van Dongen)

Syahdan, Peter van Dongen tak pernah me-nyaksikan perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan. Ia dilahirkan di Amsterdam pada 1966, ketika Indonesia sudah lama menjadi republik yang merdeka dan tengah bergulat dengan dirinya sendiri. Ia juga tak pernah merasakan ruwetnya kehidupan tentara bawahan yang dikirim oleh negerinya, Belanda, ke tanah Hindia. Tapi, lewat komik karyanya yang dipamerkan di Balai Erasmus 7-30 September, ia berhasil melukiskan kehidupan masyarakat Indonesia era 1940-an.

Van Dongen lahir dan besar di Belanda. Sepenggal cerita ibunda serta foto-foto menguning berisi suasana Indo-nesia tahun 1940-an itu menggelitik imajinasi Van Dongen.

Hindia, yang diceritakan sang ibu ini, kemudian menuntun pria kelahiran 1966 itu menelusuri Museum Tropis di Amsterdam hingga Museum Tentara di Yogyakarta. Ia berburu buku harian tentara Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia sampai buku tentang Indonesia karangan Mochtar Lubis hingga Pramoedya Ananta Toer. Singkatnya, Van Dongen jatuh cinta pada Indonesia.

Cintanya pada Indonesia tak pupus begitu saja. Tahun 1998 ia membuat komik Rampokan Jawa, kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Tokoh sentral dalam cerita-nya adalah Johan Knevel, tentara Belanda yang kembali ke Indonesia tahun 1947 yang memiliki agenda pribadi, yakni mencari Babu Nini, ibu asuhnya yang penuh kasih sayang.

Komik atau novel grafis Rampokan Jawa kemudian diganjar penghargaan di Belanda untuk desain buku terbaik tahun 1998 dan penghargaan Stripschappening sebagai buku komik terbaik tahun 1999. Komik ini juga diberi penghargaan ”Prix du Lion” di Brussels. Di samping segala puja-puji ini, ternyata Van Dongen mendapat kritik tajam dari masyarakat Belanda, khususnya dari kerabat tentara yang dikirim ke Hindia.

”Kisah ini masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda,” kata Van Dongen, yang keturunan Cina-Maluku dari pihak ibunya. Orang Belanda masih marah terhadap soal ini dan menjadi kritis akan apa yang mereka dengar tentang Indonesia. Menurut sebagian masyarakat Belanda, kisah agresi militer sebaiknya disimpan saja. ”Mereka kesal dengan orang seperti saya yang membuat buku tentang era ini. Padahal, bagi generasi saya, masalah ini dibuka sedikit lebih baik,” kata pria yang mulai menggambar komik serius pada tahun 1994 ini.

Buat masyarakat Belanda yang meng-anggap peristiwa agresi ke Indonesia sebagai lembaran hitam, memang hal ini akan seperti mengulang kembali kenangan tentang Indonesia di masa itu. Van Dongen, dengan tarikan gambar yang mirip komik petualangan Tintin karya Herge, menggambarkan dengan sangat lihai segala hal detail tentang Indonesia kala itu. Dia menggambar dengan garis yang lurus, bersih, tidak memakai arsir persis seperti gaya Herge.

Pelabuhan Tanjung Priok dengan kapal-kapal yang sedang bongkar muatan, perempuan bersanggul dan berkebaya, pria-pria tawanan tentara Hindia bertulang rusuk menonjol, kota pecinan di Glodok dengan pengusahanya yang berwajah Tionghoa meski memakai nama Jawa. Lalu, hutan-hutan lebat di Jawa hingga suasana Pasar Atom di Bandung dengan becak dan dokarnya. Meski tak seperti petualangan Tintin, beberapa adegan yang vulgar dan menggambarkan kekerasan membuat komik Van Dongen ini tak cocok dikonsumsi anak-anak.

”Saya memang terpengaruh gaya Herge, khususnya buku Tintin, Lotus Biru, tentang pendudukan Jepang di Cina. Cerita politik, dengan gaya menggetarkan hati, memperlihatkan latar belakang budaya dan Shanghai- selama tahun 1930. Itu menakjubkan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan- penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit,” kata Van Dongen.

Namun, tak seperti Tintin yang penuh warna, Rampokan Jawa hanya menggunakan warna hitam-putih dan cokelat dengan tinta India dan kuas kecil. Meski kata Van Dongen itu lebih karena keterbatasan dana penerbit. ”Selain rasanya terlihat lebih bagus dan lebih otentik.”

Mendengar judul Rampokan Jawa memang terasa janggal dan mengundang tanya. Tapi judul komik yang versi Indonesianya telah diterbitkan oleh Pustaka Primatama bekerja sama dengan Komunitas Komik Alternatif ini dibuat Van Dongen setelah melalui riset mendalam. ”Rampokan asalnya dari dua kata, rampok dan macan. Pertarungan macan setelah bulan Ramadan. Ini kebiasaan masyarakat Kediri dan Blitar,” kata Van Dongen.

Macan menggambarkan roh jahat. Bila seorang kiai berhadapan dengan macan dan mati dalam pertarungan itu, daerah tersebut akan mengalami hal buruk seperti banjir. ”Saya menyampaikan secara metafora bagi prajurit kolonial Belanda melawan keinginan Indonesia untuk merdeka,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai ilustrator paruh waktu ini. Sayang, terjemahannya agak terasa janggal, banyak kalimat yang tak jelas, misalnya ”..karena rampokan, saat itu semua bencana terramalkan…” (Apa pula arti kata ”terramalkan”?) Penerjemahan bukanlah pekerjaan menerjemahkan kata demi kata secara harfiah. Ada sebuah nuansa dan kultur yang ikut serta diterjemahkan, termasuk gaya bahasa dan ”rasa” seluruh isi komik.

Rampokan Java sesungguhnya bukan karya Van Dongen yang pertama. Tahun 1990, ia pernah menerbitkan Muizentheater atau teater tikus, dongeng tentang dua bersaudara laki-laki era 1030-an. Kesuksesan Rampokan Jawa membuat Van Dongen membuat sekuel Rampokan Celebes pada tahun 2004. Di kisah ini, Johan Knevel bertualang ke Sulawesi. Mungkin pada terjemahan berikutnya nanti, penerbit akan jauh lebih berhati-hati dan cermat.

Utami Widowati dan Evieta Fadjar/LSC

Menunggu Komik Asli Indonesia

Di pojok yang lain Balai Erasmus, ada goretan Dwi Santoso, Dwinita Larasati, Muhammad Cahya Daulay, dan Beng Rahadian. Mereka adalah komikus asli Indonesia yang bersama-sama berpameran dengan Peter van Dongen.

”Menurut saya, saat ini adalah momen yang tepat untuk kebangkitan komik Indonesia. Melihat perkembangan film dan sastra yang kini bangkit setelah mati, komik Indonesia seharusnya juga bisa. Apalagi komik adalah hiburan yang gampang, murah, dan bisa dibawa ke mana-mana,” kata Dwi Santoso atau Anto Motulz, 33 tahun, yang berencana menerbitkan dua komik akhir tahun ini.

Lalu, ke manakah kiblat komik Indonesia? Ke komik Jepang atau komik Eropa. ”Saya sangat terpengaruh komik Eropa, khususnya karya Herge. Tapi adaptasi saya hanya sebatas visual. Isinya masih berpijak pada kondisi masyarakat Indonesia,” kata Motulz. Karya Motulz berjudul Kapten Bandung, yang di-tampilkan dalam pameran ini, pernah diterbitkan pada 1995.

Pada tahun-tahun tersebut pula, Indonesia pernah mengenal komik Caroq karya Thariq, yang kini juga sudah tak terlihat di peredaran.

Para komikus Indonesia sebetulnya punya ide komik yang menarik. Problemnya adalah infrastruktur pemasaran dan distribusi, serta ongkos untuk menerjemahkan yang jauh lebih murah (dari sisi produksi) dibanding membuat komik asli. Para komikus Indonesia harus berjuang menembus pasar itu untuk bisa me-lawan dominasi komik manga.

Lihatlah ide Beng Rahadian. Ia memamerkan karya berjudul Jalan Sempit tentang kehidupan kaum gay kelas bawah yang punya nuansa gelap. Tampaknya ini mewakili pendapat Beng tentang komik Indonesia. ”Ya, adaptasi mesti ada batasnya juga. Menurut saya, komik itu sifatnya pribadi sekali,” kata pria usia 30 tahun itu, yang menyatakan membuat komik sama asyiknya dengan mengamati kehidupan sosial Indonesia.

Motulz merasa agak sulit mendefinisikan komik Indonesia semestinya seperti apa. ”Sama seperti produk budaya lain, saya ingin tanya sebenarnya ada tidak sih film, musik, bahkan sinetron yang hanya mengandung ciri khas Indonesia. Saya rasa tidak ada,” ujarnya, meski secara teknis Motulz menyebut komik Eropa lebih realis dibandingkan dengan komik Jepang yang kaya akan distorsi gambar, seperti mata yang terlalu besar atau otot badan yang kaku bak robot.

Lalu, yang jadi masalah, mengapa komik Indonesia belum sepopuler komik terjemahan Jepang. ”Kalau ada komik baru, pasti dibandingkannya dengan yang sudah ada di pasar. Sementara pembaca inginnya komik yang bagus. Jadi, ya, saya sih optimistis satu saat komik Indonesia akan bangkit,” kata Beng, yang cukup produktif membuat komik strip dan diterbitkan di Koran Tempo.

Utami Widowati

Membuka Jejak Hitam Kolonial

Namanya Peter, Peter van Dongen, 39 tahun. Kemampuannya, ia sanggup menggambar peristiwa-peristiwa dengan setting enam puluh tahun yang silam, dengan presisi tinggi.

Peter lahir dan dibesarkan di Amsterdam, Belanda. Tapi, jauh di dalam hatinya ada sebuah tempat bernama Hindia-Belanda, negeri yang belum pernah dikunjunginya. Di sanalah tanah kelahiran ibunya, dan di sana pula kakeknya gugur dalam Perang Dunia II.

Dalam komiknya, Rampokan Jawa, ia mewakilkan dirinya yang gandrung Hindia-Belanda lewat tokoh Johan Knevel. Ya, di Jakarta, Peter van Dongen memamerkan dua karyanya, masing-masing dengan setting Jawa dan Sulawesi: Rampokan Jawa dan Rampokan Celebes. ”Buku tentang Hindia Belanda dan perang kemerdekaan Indonesia berpusat di Jawa. Dan ibu saya pernah tinggal di Makassar,” kata Peter.

Peter mengakui, komik adalah proyek pribadi. Dan ia memang pemuda yang punya keahlian itu. Karya pertamanya, Theatre of Mice (1990), mendapat penghargaan komik terbaik ”Stripschappenning” dari komunitas kartunis Belanda, pada 1991. Delapan tahun kemudian, 1999, ia kembali menerima Stripschappenning dan ”Prix du Lion” di Brussels karena bukunya, Rampokan Jawa. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Peter.

Orang Belanda mengkritik karya Anda karena dianggap terlalu membela Indonesia. Bagaimana menurut Anda sendiri?

Begini, orang Indonesia yang saya maksud juga menyerang orang Cina, dan Jawa, pada tragedi 1998 setelah Soeharto jatuh. Bagi saya, manusiawi, setiap orang pernah membuat salah. Orang Belanda masih marah ter-hadap itu dan menjadi kritis mengenai apa yang mereka dengar dari Indonesia. Mereka kesal saya membuat buku era agresi militer. Saya membuka lembar-an hitam. Bagi generasi saya, lain, lebih baik dibuka perlahan.

Tentara Amerika yang ke Vietnam dan tentara Belanda yang ke Indonesia adalah penyerang. Dalam cerita, mereka digambarkan dalam sosok antagonis atau lelaki jahat. Maka-nya, saya mendapat reaksi negatif dari keluarga tentara Belanda yang sudah berperang.

Mengapa Anda membikin karya itu? Nostalgia?

Ya, ini nostalgia, ditambah saya tertarik pada sejarah Belanda-Indonesia yang masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda.

Buku apa saja yang menjadi rujuk-an- karya itu? Buku Pramoedya Ananta-Toer?

Saya lupa, mengenai korupsi, perbudakan. Bukan tentang Jawa, tapi bisa menggambarkan bagaimana kehidup-an orang Indonesia di masa kolonial.

Tapi, mengapa Anda memilih cerita Belanda di Indonesia?

Karena dunia kehilangan manusia ketika nenek moyang kami datang, makanya saya ungkapkan dalam buku. Saya cinta Indonesia.

Ada banyak latar cerita dari Sulawesi. Bagaimana inspirasi itu tergali?

Ibu saya pernah menetap di Sulawesi, Makassar, pada 1947 hingga 1952. Ia memberi saya ide dengan cerita-ceritanya. Misalnya, ia mengalami saat Makassar dibom Angkatan Laut Indonesia pada Agustus 1950 dan itu akan saya cerita-kan pada prolog Rampokan Celebes.

Setelah melihat keadaan Indo-nesia, apa langkah Anda selanjutnya?

Saya belum pasti, masih mengerjakan subyek mengenai Indonesia, mungkin orang seperti ibu saya yang pergi ke Belanda. Ceritakan secara kilas balik.

Mengapa Anda begitu terinspirasi oleh karya Herge, pembuat komik Tintin itu?

Saya suka cara menggambarnya. Saya lebih terkesan lagi gaya bertuturnya. Karya The Blue Lotus membuka mata saya. Cerita politik, alur menggetarkan, memperlihatkan latar belakang budaya dan pendudukan Jepang di Shanghai selama tahun 1930. Menak-jub-kan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit.

Apakah Anda puas dengan karya ini? Apa obsesi yang lain?

Saya puas, terutama pada versi Indonesia. Karena saya berasal dari akar Indonesia. Mungkin saya terobsesi, tapi saya seorang penyuka kesempur-na-an. Dalam gaya Herge, ada garis-garis tegas di mana kita memperlihat-kan detail, tapi sederhana. Pilihan tepat -untuk menampilkan gambar.

Kabarnya Anda senang berlibur mengunjungi Padang, Makassar, dan Toraja?

Saya masih berusaha menemukan bangunan di Jakarta dan Bukittinggi yang meninggalkan kenangan pada masa kolonial Belanda. Arsitektur -Belanda dari tahun 1920-1930, itu sejarah Indonesia. Berharap anak muda di sini menyukainya juga.

Photo: Cover of Tempo Magazine edition 30/XXXIV/19 – 25 September 2005

Just keeping track.. [7] (Kompas, Suara Pembaruan)

15 September 2005

Publication of Peter van Dongen’s exhibition still goes on.

 

This photo is from Kompas, 15 Sept 2005 (thanks, Jenz)

 

Personally, I don’t think this photo captures how interesting the exhibition really is (you can hardly see the main exhibition materials). I wonder if it really attracts people to come and see it.

Heh. I was being silly: I thought that photo is one big photo, but it’s actually composed of two photos! I didn’t put attention to the size of the big frames versus the size of the person’s head. Duh. But anyway, the caption doesn’t really match the photos (or the other way around). A reliable source (*ahem*) said that it could happen sometimes, when the designer (and/or editor) all of sudden decided to put on another photos, without realizing that they don’t match the caption.

==========

This one is from Suara Pembaruan, 11 Sept 2005
SUARA PEMBARUAN DAILY


Asyiknya Nonton Pameran Komik

HAMPIR sebulan penuh, dari 6 sampai 30 September 2005, berlangsung sebuah pameran komik di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pameran itu, tampil karya Peter van Dongen, komikus Belanda yang menampilkan cerita komik dengan setting Indonesia “tempo doeloe” dan empat komikus muda Indonesia.

Menyaksikan karya-karya mereka, ternyata menimbulkan keasyikan tersendiri. Apalagi bagi mereka yang hobi membaca dan sekaligus mengoleksi komik, karya-karya yang ditampilkan dalam pameran itu dapat menjadi alternatif pilihan di tengah maraknya komik-komik Jepang di Indonesia.

Karya Peter van Dongen, komikus kelahiran Amsterdam, Belanda, tahun 1966 menjadi lebih menarik diamati, karena kisahnya tentang Indonesia di masa lampau. Komikus itu terampil menyajikan detail dalam gambar komiknya, mulai dari bangunan, bentuk tubuh orang, sampai gaya busana, dan suasana masa lalu Indonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan RI, sekitar 1946.

Walaupun dia tergolong kaum muda Belanda yang lahir sesudah selesainya pendudukan Belanda di Indonesia, namun van Dongen mampu menampilkan masa lampau itu dengan hampir sempurna lewat goresan gambar komiknya. Selain dari kisah ibunya yang kelahiran Manado, Sulawesi Utara, dia juga mengadakan riset tahunan di Museum Institut Tropik di Amsterdam.

Soal komiknya yang mirip dengan komik Tintin buatan Herge, van Dongen mengaku bahwa dia memang amat menyukai Tintin. Sejak kecil dia senang membaca komik Tintin, dan berharap suatu hari bisa membuat komik seperti itu. Maka dari tangannya lahirlah komik-komik yang mengingatkan kita pada komik Tintin.

Van Dongen hanya salah satu komikus yang berpameran di Erasmus Huis. Selain dia, juga tampil Dwi Santoso yang dikenal dengan nama Anto Motulz dalam karya-karya komiknya. Komikus kelahiran Jakarta tahun 1972 itu mengatakan,”Menggambar dan melukis (memang) merupakan hobi dasar saya sejak kecil.”

Komikus lainnya, Dwinita Larasati atau yang akrab dipanggil Tita. Dia juga dilahirkan di Jakarta tahun 1972. Berbeda dengan komikus lainnya, Tita yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Belanda, tampil dengan diary comic. Bila orang lain membuat catatan harian berbentuk tulisan, maka Tita membuat catatan harian dalam bentuk komik.

Muhammad Cahya Daulay atau Cahya yang lahir di Jakarta tahun 1978, merupakan komikus muda lainnya yang ikut berpameran. Cahya menggambar komik sejak masih duduk di bangku SMP. Dia pernah menerbitkan kartun Para Lodra, berkisah tentang seorang ayah dan putranya yang berusaha mencari arti kehidupan.

Satu lagi komikus yang tampil di pameran itu adalah Beng Rahadian. Pria kelahiran 1975 itu juga merupakan komikus yang produktif. Karya terbarunya Jalan Sempit, bercerita tentang seorang pria gay bernama Amet yang ingin menjadi seorang heteroseksual. Amet mulai menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan bernama Mia. Pasangan gay Amet yang mengetahui hal ini, berusaha meneror Mia dengan kekerasan.

Komik memang bisa menceritakan segala hal. Seperti dikatakan van Dongen, bahkan soal politik dan ekonomi pun dapat dijadikan komik. Jadi ayo baca…eh…bikin komik. (B-8)

==========

Last modified: 8/9/05

 From Pasarbuku mailing list:

From: Bobby Bats
Date: Fri Sep 16, 2005 4:56 pm
Subject: Re: [PasarBuku] Penerbit gokil: Komik hardcover

Pak Pandu benar.

Komik “Rampokan Jawa” adalah salah satu buku berbahasa Indonesia terpenting di
tahun 2005 ini yang kudu dimiliki, bukan hanya oleh mereka yang mencintai komik
tetapi juga pemerhati sejarah. Makanya kondisi fisiknya sengaja dibuat tidak
terlalu jauh dengan versi londonya. Mewah dan wah (maksudnya bikin ngiler).
Penikmat buku sejati pasti bisa membayangkan macam apa pentingnya isi buku yang
fisiknya didesain dan dibungkus seperti ini. Jadi, niat penerbit serta pihak
pemrakarsa macam milis komik alternatif tentu saja patut diacungi jempol.

Pecinta komik lokal tahu betul kenapa mereka kudu punya buku ini. Gambarnya khas
betul macam coretan Georges Remy alias Herge, seperti yang diakui sang komikus
Peter van Dongen. Sangat detail dan serius. Bedanya, setiap bingkai yang
disuguhkan kental nian bercerita tentang bumi nusantara di awal abad ke-20.
Mulai dari pelabuhan, pasar, hutan, perkebunan, pertokoan semuanya menyuguhkan
sentimen keindonesiaan yang kuat. Tanpa sadar, Peter melakukan promosi
pariwisata untuk negeri ini lewat gambar-gambar buatannya di seantero Eropa.

Bagaimana pula hal menarik yang bisa ditawarkan untuk pemerhati sejarah?
Darah indo yang mengalir dalam diri Peter agaknya menjadi alasan kuat untuk
bercerita tentang negeri ini. Tahun 1990-an ia melakukan napak tilas, dan inilah
proses riset, jalan-jalan pulang kampung seraya mengumpulkan data. Bahan ini
pulalah yang kelak membuat “Rampokan Jawa” terasa fasih bertutur tentang negeri
ini tahun 1920an hingga 1940an. Setting besarnya sih tentang kembalinya rezim
oranye pasca Proklamasi kemerdekaan RI, namun setting recehannya amat memikat
mata. Tengok saja cerita tentang tentara Gurkha, tentara Belanda yang kader
komunis, aksi penghadangan konvoi tentara Belanda oleh gerilyawan Indonesia,
atau stereotip keturunan Tionghoa yang jadi pedagang. Ah, padahal dia orang
Belanda yang di mata orang Indonesia pasti alergi untuk bicara sejarah kolonial.

Begitulah. “Rampokan Jawa” tak sekadar mewah secara fisik, tapi juga secara
fakta dan coretan gambar. Peter dengan lincah menorehkan sepotong fiksi epik
negeri ini. Jika satu bingkai gambar bisa bercerita dalam seribu kata, tak
terkira lagi berapa kata mampu terucap dalam tebalnya “Rampokan Jawa” yang

Just keeping track.. [6] (Koran Tempo, Republika, The Jakarta Post, Stripschrift Online, Het Indisch Huis)

9 September 2005

Many many thanks to Agam for copying the article from Koran Tempo in the previous journal.

Koran Tempo Jum’at, 09 September 2005
Budaya: Pameran Komik Aroma Eropa Memberi ruang bagi komikus aliran Eropa.

Jakarta — Garis gambarnya bersih, tak terlalu banyak arsiran. Bagi Anda yang tumbuh remaja pada 1970 hingga 1990-an dan hobi membaca komik, tentu tak asing dengan proporsi gambar ini. Ya, karya komikus Belgia Herge, Tintin, ini begitu terkenal hingga memberi inspirasi bagi para komikus-komikus dunia.

Inspirasi bentuk gambar Tintin pun dengan setia ditekuni oleh Peter van Dongen, komikus Belanda yang tengah menggelar pameran komiknya di Erasmus Huis, Jakarta, hingga 30 September. Bersamaan dengan pameran ini, Peter juga meluncurkan buku komik Rampokan Jawa versi Indonesia di Tanah Air.

Komik Rampokan Jawa sendiri telah mengantarkan pria kelahiran 1966 ini meraih penghargaan Stripschappening, sebagai buku komik terbaik di Belanda pada 1999. Komik ini sempat menjadi kontroversi di negara asalnya karena banyak pihak yang keberatan dengan gaya penceritaan Peter yang terlalu membela Indonesia. Dalam komik ini, Peter menggambarkan perjuangan seorang pemuda Belanda, John Knevel, yang mencari jati dirinya di Hindia Belanda, tempat ia pernah dibesarkan.

Karena itu, dalam hajatan untuk memperingati 60 tahun Indonesia merdeka ini, Peter diundang untuk menampilkan beberapa halaman dari sketsa awal komik Rampokan Jawa yang masih berupa gambar hitam dan putih. Sementara itu, ditampilkan juga beberapa halaman lain yang telah diwarnai dengan warna cokelat, hitam, dan putih.

Selain Rampokan Jawa, Peter juga mengeluarkan Rampokan Celebes, sekuelnya pada 2004. Dalam pameran ini, sampul depan Rampokan Celebes pun turut ditampilkan. Selain kedua komiknya, Peter juga menampilkan beberapa gambar Hotel Rex di Batavia dan Medan dengan format gambar perangko.

Garis-garis zaman dulu begitu kuat melekat di karya-karya Peter. Warna yang dipilihnya pun cenderung kelam, seperti hijau lumut, cokelat tua, dan kuning lembut yang menyiratkan elegi masa lalu. Dia mengakui, masa lalu seolah menjadi obsesi tersendiri baginya. “Saya memang menyukai komik-komik yang bercerita tentang masa lalu, ” tuturnya.

Gambar-gambarnya tentang kondisi Kota Batavia, Medan, Surabaya, dan Makassar ataupun gambar transportasi serta pakaian penduduk pun sangat mirip dengan kondisi saat itu, pada 1946. Menurut Peter, ia melakukan riset khusus agar hasilnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Dalam pameran yang menampilkan 40 item ini, Peter tak sendiri. Tampil pula karya empat komikus Indonesia yang selama ini menggeluti komik dengan aliran Eropa, yakni Anto Motulz, Dwinita Larasati (Tita), M. Cahya Daulay, serta Beng Rahadian. Berbeda dengan Peter, karya mereka berempat sarat energi kekinian.

Tita, misalnya. Satu-satunya komikus perempuan di pameran ini, menampilkan diary komik. Ia menggambarkan kegiatannya sehari-hari dalam bentuk sketsa, sejak bangun tidur hingga akan tidur. Di Belanda dan Eropa pada umumnya, bentuk komik yang dipilih Tita bukanlah sesuatu yang unik. Namun, di Indonesia tampaknya tak banyak yang cukup sabar menggambar bentuk-bentuk yang sama dalam jumlah banyak dan bertutur tentang kegiatan sehari-hari.

Sementara itu, komikus termuda, Cahya, menampilkan beberapa halaman dari komik Para Lodra. Komik yang bercerita tentang perjuangan ayah dan putranya dalam mencari arti hidup ini terasa diinspirasi komik-komik Indonesia masa lalu, seperti Si Buta dari Gua Hantu.

Sedangkan warna-warna cerah langsung menantang mata pengunjung dalam karya komik Motuls, Petualangan Kapten Bandung. Seperti Herge yang banyak memakai warna, Motulz pun menggunakan pakem yang sama, meski garis gambar mereka berbeda.

Komik pun bisa menjadi sarana ungkapan keprihatinan atas kehidupan sehari-hari. Karya Beng Rahadian, yang didominasi warna hitam dan putih, bertutur tentang kegalauan pria homoseksual dalam memandang orientasi seksualnya. Dari komik-komik inilah, kita bisa melihat bagaimana komik atau kartun tak harus selalu lucu. sita planasari a

And here’s an article from Republika

Rabu, 07 September 2005
Komik Sejarah

Jawa, 1946
Berbekal kerinduan mendalam akan kampung halamannya, Johan Knevel, seorang pemuda keturunan Belanda, kembali ke Indonesia. Lima tahun menempuh pendidikan di Eropa, tidak menghapus kecintaannya terhadap tempatnya dilahirkan.

Setelah ditinggal mati orang tuanya, Johan bertekad menemukan Ninih, pengasuh masa kecilnya. Setiba di Indonesia, perjuangan Johan tidaklah mudah. Karena melakukan suatu kesalahan fatal, ia kemudian diburu.

Johan pun kemudian berkeliling ke kota-kota di Indonesia untuk menyelamatkan diri, sekaligus melakukan pencarian atas Ninih, dan dirinya sendiri.

Kisah di atas bukanlah peristiwa nyata atau resensi sebuah film. Ia adalah sebuah karya fiksi karya komikus Belanda, Peter van Dongen, berjudul Rampokan Jawa. Komik ini merupakan roman sejarah tentang pencarian identitas diri seorang pemuda keturunan di Indonesia.

Komik ini unik. Tidak banyak komikus yang bercerita tentang kisah perjuangan di masa lalu. Apalagi hal itu dilakukan oleh seseorang yang sama sekali tidak mengenal negeri yang dijadikan objek karyanya, seperti Peter. Pria blasteran Indonesia-Belanda ini hanya mengenal kampung halaman ibunya dari pelajaran di sekolah.

Bukan hanya itu, Peter lahir di Amsterdam pada tahun 1966. Sementara komiknya mengambil setting tahun 1946 atau kilas balik 20 tahun dari masa kelahirannya. Meski demikian, dengan fasih, Peter menerjemahkan kisah perjuangan bangsa Indonesia di masa silam. Bukan hanya kisah perjuangannya, arsitektur dan lansekap kota-kota Indonesia di masa itu ia gambarkan dengan detil.

Mengaku tidak pernah mengunjungi Indonesia sebelum menghasilkan Rampokan Jawa, karyanya patut diacungi jempol. Dengan gaya lukisan ala Herge–komikus Belgia favoritnya yang menciptakan karakter Tintin— Peter berhasil menggambarkan dengan cukup akurat.

Misalnya gambaran pelabuhan Tanjung Priok kala itu, termasuk kawasan Pecinan di Glodok. Kemudian kawasan Batujajar di perbatasan Bandung, dan alun-alun Blitar dengan tarung macannya.

Van Dongen juga berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat dengan baik. Bagaimana aktivitas pangkas rambut di bawah pohon, jual beli di pasar dengan segenap hiruk-pikuknya. Bahkan ia menggambarkan kostum orang Indonesia tempo doeloe seperti pria dengan sarung atau perempuan dengan kain dan kebaya.

Setting cerita dan kehidupan yang mendetil, diakui Peter, didapatkannya dari riset tujuh tahun di museum dan perpustakaan di Negeri Kincir Angin. Foto-foto dan dokumentasi tentang Indonesia yang banyak tersedia di Belanda, ikut sangat membantu proses penafsirannya atas Indonesia yang sangat terbatas.

Mengenai komiknya yang bertemakan sejarah, Peter mengaku penasaran sekaligus terkenang dengan masa lalu ibunya yang berasal dari Indonesia. Menurutnya, ini menimbulkan perasaan romantis sekaligus melankolis. ”Melihat komik ini juga seperti nostalgia, kembali ke masa lampau,”ujarnya, serius.

Sementara pemilihan Jawa sebagai lokasi cerita, diakuinya karena merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu, di samping banyaknya bangunan bersejarah yang indah. Namun dalam sekuel karyanya bertajuk Rampokan Celebes yang segera terbit dalam cersi Bahasa Indonesia, Peter juga memasukkaan alam kota di Sulawesi yang merupakan kampung halaman ibundanya.

Rampokan Jawa seakan kembali menghidupkan sejarah saat Belanda menginvasi dan menjajah Indonesia selama 350 tahun. Tak heran kalau komik ini, bukan hanya menarik minat komikus Belanda, melainkan juga mereka yang mengamati hubungan antara Belanda dan Indonesia saat ini.

Van Dongen mengawali karirnya tidak sebagai komikus. Bersama tiga orang saudara, termasuk kembarannya, ia sempat membentuk grup band. Namun karena keinginan melukisnya menggebu-gebu, akhirnya memutuskan menjadi komikus.

Awalnya ia membuat komik berjudul Muizentheater (Mice Theater) pada 1990. Berhasil mendapatkan penghargaan Stripschappening dari komunitas kartunis Belanda.

Menurut Direktur Erasmus Huis, Maarten Mulder, Peter sangat dikenal di Belanda. Karya-karyanya menghiasi surat kabar di Negeri Kincir Angin tersebut. Erasmus Huis, juga akan menggelar pameran karya Peter Van Dingen dan rekan pembuat komik Indonesia. (uli)

From The Jakarta Post:

Dutch colonialism in cartoon strip
Features – September 04, 2005

In honor of Indonesia’s 60th anniversary of independence, Erasmus Huis will present the work of Dutch cartoonist Peter van Dongen. Young Indonesian cartoonists will also participate in the exhibition, scheduled from Sept.7 through Sept.30.
Van Dongen debuted in 1990 through the publishing of Muizentheater. A year later, Muizentheater (Theater of Mice) won an award from the Dutch society of cartoonists for Best Comic Book of the Year.
In 1998, Van Dongen published a book titled Rampokan: Java.

The tale about the independence struggle in the former Dutch colony of Indonesia (from where Van Dongen’s ancestors came) was even better received than his debut.
It also won award for the Best Comic Book of the Year 1999 and also the Prix du Lion 1999 in Brussels.
The second and last volume, Rampokan: Celebes, was published in 2004.

Erasmus Huis, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. S-3, Kuningan, Jakarta
Phone: (021) 524 1069
— The Jakarta Post

From Stripschrift Online, a short article about the exhibition plan, before Peter left to Indonesia:

Peter van Dongen naar Indonesië

5 augustus ’05 – 12:00 Op 6 september opent Het Erasmus Huis in Jakarta een expositie rond Peter van Dongen. Ook is een uitgever daar gestart met de productie van de Indonesische versie van Rampokan 1: Java.

De tentoonstelling maakt deel uit van een serie tentoonstellingen die in het teken staan van zestig jaar onafhankelijkheid. Het belangrijkste deel van de expo is afkomstig uit Rampokan, dat zich afspeelt ten tijde van de politionele acties. Na een maand wordt de tentoonstelling verplaatst naar de steden Semarang en Surabaya op Java.

De aandacht voor Rampokan valt samen met de viering dat zestig jaar geleden de latere president Sukarno en diens premier Hatta de onafhankelijkheid van Indonesië uitriepen. De Nederlandse regering accepteerde dit niet en stuurde militairen om de orde en rust te herstellen. Opmerkelijk genoeg zal Minister Bot van Buitenlandse Zaken als eerste Nederlandse bewindsman ooit op 17 augustus de viering bijwonen.

Rampokan 1: Java verscheen in 1998. Rampokan 2: Celebes zes jaar later, in 2004. Inmiddels is Java ook verschenen in Frankrijk en zijn er plannen voor uitgaven in Spanje, Italië, Duitsland en nu dus ook Indonesië.

Van Dongen zal medio augustus afreizen naar dat land.

Malariapillen al besteld, Peter?
Peter van Dongen: Ja, ik vertrek 12 augustus en zal er zes weken verblijven, want ik combineer het natuurlijk met mijn vakantie.

Hoe is deze expositie tot stand gekomen?
Ik kwam via Rob Malasch – ik exposeerde vorig jaar in zijn galerie Serieuze Zaken – in contact met de directeur van Het Erasmus Huis. Ze hebben daar regelmatig thema-exposities, en die directeur stelde voor om er samen met mij eentje in te richten rond zestig jaar onafhankelijkheid. Dat leek me geweldig en ik heb meteen contact gelegd met de groep Indonesische tekenaars die in 2002 op de Stripdagen Haarlem aanwezig was. Er komen ongeveer veertig werken van mij te hangen, de rest van de tentoonstelling wordt samengesteld door één van die Indonesische tekenaars.

Wat moeten we ons voorstellen bij die Indonesische versie van Rampokan?
Het is een heel kleine uitgever die het gaat doen en die wordt daarbij voor de vertaling financieel ondersteund door Het Erasmus Huis en de Nederlandse ambassade. De oplage bedraagt zo’n 3000 exemplaren. Ik hoop dat het eerste deel op tijd af is.

Er wordt gefluisterd dat er ook een schetsboek van je gaat verschijnen…
Ja, in het najaar zal er een soort archiefwerk uitkomen bij uitgeverij Oog en Blik. Alle beschikbare potloodschetsen van de pagina’s komen er in te staan, maar ook het overige schetswerk, en foto’s die ik heb gebruikt als documentatie. Heel bijzonder. AvO

From the website of Het Indisch Huis:

Indonesië toont interesse in Peter van Dongen’s strip Rampokan

Het Erasmus Huis in Jakarta opent 6 september 2005 een tentoonstelling van striptekenaar en illustrator Peter van Dongen. De tentoonstelling maakt deel uit van een serie tentoonstellingen die in het teken staan van 60 jaar onafhankelijkheid. Belangrijkste deel van de tentoonstelling is afkomstig uit Van Dongens stripverhaal Rampokan dat zich afspeelt ten tijde van de politionele acties. Na een maand zal de tentoonstelling zich verplaatsen naar de steden Semerang en Surabaya op Java. Ook is een Indonesische uitgever onlangs gestart met het in productie nemen van het eerste deel van Rampokan: Java.

De aandacht vanuit Indonesie voor Rampokan valt samen met de viering dat 60 jaar geleden de latere president Sukarno en diens premier Hatta de onafhankelijkheid van Indonesie uitriepen. De toenmalige Nederlandse regering accepteerde de onafhankelijkheidsverklaring niet en stuurde daarvoor in de plaats militairen om de rust en orde te herstellen. Minister Bot van Buitenlandse Zaken woont op 17 augustus de viering bij. Het is de eerste keer dat een Nederlandse bewindsman op deze dag daarbij aanwezig is.

Rampokan Java verscheen in 1998, Rampokan Celebes zes jaar later in 2004. Inmddels is Java ook verschenen in Frankrijk en zijn er plannen voor uitgaves in Spanje, Italie en Duitsland en nu dus ook Indonesie. Jarenlang historisch bronnen- en beeldonderzoek zijn voorafgegaan aan de publicatie van beide delen. Het was altijd Van Dongens bedoeling het slotakkoord van de Nederlands-Indische geschiedenis zo nauwkeurig mogelijk te reconstrueren.

Rampokan: het verhaal Rampokan, een historische en psychologische roman over het verlies van identiteit en tempo doeloe. Johan Knevel, soldaat en vrijwilliger wordt verscheurd door schuldgevoel: tegen wil en dank staat hij aan de kant van de Indonesische nationalisten. Hij moet wel verraad plegen aan de Nederlandse zaak: dat is zijn enige kans om zijn baboe weer te zien en iets terug te vinden van zijn verloren Paradijs. Het is 1946, Nederlands-Indië (nog even) en de Tijger is los…

Dit tweeluik, Rampokan: Java en Celebes staat in het teken van het Tijgergevecht, de Rampokan. Volgens Javaanse traditie werden gevangen tijgers of panters – symbolen van het kwaad én de koloniale overheerser – ceremonieel gedood aan het einde van de Ramadan.
Peter van Dongen over Rampokan: ” De huidige Indonesische jongeren zijn niet belast met het koloniaal Nederlandse verleden. Ze kijken juist onbevangen naar mijn boeken: ze zien ‘Kuifje’ maar tegelijkertijd herkennen ze ook plekken en gebeurtenissen uit hun geschiedenis.”

Just keeping track.. [5] (Komik Alternatif mailing list)

9 September 2005

I don’t know how long I will keep this track, but as long as I still find news about Peter and the exhibition, I’ll always put it here. I like collecting these stories, especially because I can draw this picture in my mind how everything goes. It feels like I was there, myself. So, sorry for those who are already bored with the subject 🙂

Here goes. From komik alternatif mailing list.

From: “suryo_anglagard”
Date: Thu Sep 8, 2005 4:10 pm
Subject: Menjelang Diskusi Buku Rampokan Jawa
Sore itu, Rabu 7 Sept 2005, Rieza dan saya menjemput Peter van
Dongen, istrinya Ellen dan ibundanya di hotel tempat mereka menginap
dibilangan Menteng, Jakarta Pusat. Malam itu menurut rencana akan
diadakan diskusi buku Rampokan Jawa, di toko buku Kinokuniya, Plaza
Senayan. Namun sebelumnya kami berniat mengajak Peter sekeluarga
makan malam. Sambil menunggu ibundanya bersiap, kami berempat
ngobrol di café hotel. Peter bercerita tentang suasana konferensi
pers semalam di Erasmus Huis, sambil melihat-lihat koleksi foto yang
sudah kami cetak untuknya.

Sangat menarik mendengar ceritanya bahwa ia nyaris menandatangani 70
buku malam itu. Ia hampir tak dapat menerangkan karya-karya
eksibisinya kepada para tamu. Ia sempat bercakap-cakap dengan
Rosihan Anwar dan komikus senior kita, Dwi Koen. Ellen
memperlihatkan foto Peter mengenakan kemeja batik hadiah dari saya.
Benar-benar kocak melihat seorang Londo muda memakai kemeja batik.
Peter juga bercerita para pegawai hotel menyambut senang, saat
melihat Peter dengan kemeja batik. Erasmus Huis rupanya juga
berencana untuk membawa materi eksibisi (termasuk karya para komikus
muda Indonesia) ke Yogyakarta dan Semarang. Pihak Erasmus sangat
gembira saat mengumumkan bahwa tamu yang hadir lebih dari 100 orang,
dan acara ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarahnya.

Kami juga sempat ngobrol tentang musik 80an. Peter rupanya penggemar
berat Madness dan Duran Duran, dan bercerita tentang konser mereka
baru-baru ini. Saya ceritakan bahwa saya penggemar berat Human
League dan Tears for Fears. Emang dasarnya kami satu generasi,
obrolan musik pun nyambung. Saat saya cerita kalo baru saja beli CD-
nya ABC, wah mereka berdua juga surprised. Sudah lama ngga dengar
band ini. Peter cerita kalo dia masih memutar banyak koleksi
piringan hitamnya. Saat kami sampai di band Buggles, saya cerita
kalo album keduanya sangat sulit didapat. Akhirnya CD album kedua
Buggles saya dapat di Jepang. Sempat juga nyerempet ke kelompok
sirkus top Kanada, Cirque du Soleil. Rupanya kami nyambung juga
karena sama-sama fans berat Cirque du Soleil. Bedanya (lagi-lagi)
Peter dan Ellen sempat menyaksikan pentas Dralion di Belanda. Oya,
sebagai kenang-kenangan saya hadiahkan album Karimata, Jezz. Mudah-
mudahan mereka suka jazz fusion + musik etnik Indonesia.

Sepanjang perjalanan, kami menjadi tour guide bagi para tamu.
Terutama pada beberapa bangunan historis kota Jakarta. Peter rupanya
mengenali patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia. Ia juga
menanyakan patung Arjuna Wijaya yang terletak didepan Bank
Indonesia, serta kompleks Senayan. Ia bahkan juga fasih bercerita
tentang perjuangan legendaris Jendral Sudirman. Jalanan belum padat
dan kami beruntung dapat tiba di Plaza Senayan dalam 30 menit.

Kami langsung menuju restoran Waroeng Podjok di lantai 3. Seperti
sudah kami duga, para tamu sangat senang dengan suasana tempo doeloe
restoran tsb. Ia bahkan bercerita koleksi lukisan repro miliknya
yang salinannya terdapat di dinding restoran. Sambil membaca menu,
ibundanya sibuk menanyakan apakah Waroeng Podjok menyajikan es
cendol. Rupanya minuman ini kegemarannya. Ia bercerita di Belanda,
es cendol termasuk mahal. Sekitar Euro 3.5 sementara rata-rata di
Indonesia Rp 3.000,- alias Euro 0.25. Pernah dicobanya membuat es
cendol, namun gagal. Walaupun saya konfirmasikan bahan dan cara
pembuatannya, ia tetap mengatakan (saat itu) hasilnya tidak serupa.

Tidak lama Iwan Gunawan, Syamsuddin dan Saut bergabung. Mereka sibuk
bercakap-cakap dengan Peter dan Rieza, sementara saya ngobrol dengan
ibunda Peter dan Ellen. Mereka bertanya tentang beberapa menu
makanan dan saya berusaha menerangkannya sebaik mungkin. Rupanya
ibunda Peter sering masak masakan Indonesia, walaupun hanya 4 jenis.
Ellen bercerita bahwa seluruh keluarga sangat senang jika ada acara
spesial dengan menu Indonesia.

Saatnya memesan makanan utama. Ellen memesan ayam gorang ketumbar,
Peter nasi gudeg, ibundanya tahu bacem. Kami minta bantuan pelayan
untuk mengambil beberapa foto. Tak lama Pandu Ganesa, Prama dan
istrinya bergabung. Jadilah acara makan malam yang sangat meriah.
Sempat juga ada perbincangan tentang wisata ke Bandung. Rupanya
ibunda Peter juga pernah beberapa kali ke Bandung, dan sangat
tertarik mendengar adanya jalan tol. Dengan jalan tol itu, Jakarta-
Bandung bisa ditempuh kurang dari 2 jam.

Makanan pun datang dan kami sibuk menikmati hidangan. Nampak para
tamu Londo kita sangat menikmati hidangan khas Indonesia. Peter
bercerita bahwa selama di Minangkabau, ia sangat menyukai daging
rendang, sayur nangka dan beberapa yang lain. Ibunda Peter bahkan
mencari kripik nangka, dan saya membantu menuliskannya diselembar
kertas.

Iwan bercerita proyek majalah Sekuen yang sedang ia buat. Peter
menawarkan untuk membuat beberapa ilustrasi yang tentu saja disambut
baik. Ia berjanji segera setelah sampai di Belanda, ia akan mulai
mengerjakannya. Saya lalu ingat bahwa Peter tidak memiliki alamat
email (selama ini kami berkomunikasi melalui email Ellen). Hari gini
ngga punya email? Ellen menjawab itu sudah menjadi pertanyaan banyak
orang dan Peter berjanji akan segera membuat. Ia juga sempat
bertukar cerita dengan Iwan tentang komputer Mac miliknya.

Tak terasa waktu menunjukan 19.40 dan kami harus segera bersiap
menuju Kinokuniya.

Surjorimba Suroto

==========

From: “suryo_anglagard”
Date: Thu Sep 8, 2005 4:14 pm
Subject: Diskusi Buku: Rampokan Jawa

Suasana di salah satu pojok Kinokuniya sudah ramai. Nampak berderet
kursi lipat dan dua buah sofa sudah menanti, serta standing banner
cantik persembahan Pandu Ganesa. Para pengagum menyambut Peter dan
bergantian menyalaminya. Sementara menunggu pembicara tamu, tampak
staf Pandu Ganesa menyiapkan stok Rampokan Jawa. Dalam sekejap meja
kecil itu dikerumuni pembeli.

Tak lama Rani Ambyo (penterjemah Rampokan Java) dan Yusi Pareanom
(mantan wartawan Tempo) hadir dan acarapun segera dibuka oleh
moderator Hikmat Darmawan. Para pembicara tamu mendiskusikan
Rampokan Jawa dari banyak aspek. Sayang saya tak menyimaknya karena
terlibat rapat kecil dengan rekan-rekan KomikIndonesia.com di ujung
lorong. Maklum, karena urusan serius terpaksa mencari tempat yang
agak sunyi.

Seorang penggemar bertanya, Maria seorang wanita setengah baya,
tentang mutu terjemahan yang menurut dia ada beberapa kekurangan.
Contohnya tentang arti `Rampokan’ itu sendiri. Kritik lain adalah
wajah orang Indonesia dibuat Peter lebih mirip Indocina (Vietnam/
Laos?). Ia juga mengkoreksi pendapat Yusi, yang mengatakan mustahil
orang Indonesia makan roti dengan sambal (seperti dalam Rampokan
Jawa). Menurutnya di Manado, bahkan mereka terbiasa makan pisang
dengan sambal. Maria juga menyarankan agar pada Rampokan Celebes,
akan lebih menarik jika dapat merangkai beberapa `bahasa gaul’
masyarakat kita pada periode 1945-1947.

Anto Motulz, pencipta komik Kapten Bandung, sempat memberi komentar
perihal banyaknya kritik tentang perawakan orang Indonesia yang
nampak seperti Indocina. Baginya itu tidak perlu menjadi soal. Pada
komik Jepang pun, tak ada yang mempermasalahkan mata yang tampak
besar. It’s just a comicbook. Pencipta komik Caroq, Thoriq, juga
berkomentar bahwa ia mengagumi Peter dari gaya hidupnya. Ia tidak
minum bir dan tidak merokok. Seharusnya itu bisa kita teladani, jika
ingin menjadi komikus yang sehat dan berprestasi. Hikmat sempat
bertanya tentang sebuah ilustrasi karya Peter van Dongen yang dibuat
untuk sebuah program TV. Disitu tampak Peter membuat beberapa
gambar, yang bisa luput jika tidak teliti, dari beberapa komikus
legendaris. Peter mengakui bahwa selain Herge, ia juga mengagumi
beberapa karya lain. Bisa dikatakan gambar-gambar tsb merupakan
persembahan bagi mereka.

Tak dapat berlama-lama karena keterbatasan waktu, acara diskusi
ditutup dan dilanjutkan dengan sesi tanda tangan dan foto bersama.
Dengan sabar para penggemar sekitar 60 orang mengantri berbaris
menanti giliran. Pada umumnya mereka membawa buku Rampokan Jawa.
Seorang penggemar, Santi Rahmayanti dari milis Komik Alternatif,
membawa t-shirt Station Beos yang digambar Peter van Dongen untuk
Komunitas Sahabat Museum. Acara ditutup dengan foto bersama Peter.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan beberapa rekan Erasmus
Huis, Peter sekeluarga kembali ke hotel. Dalam perjalanan Peter
menanyakan beberapa pertanyaan yang baginya kurang jelas. Dari semua
itu yang sempat jadi perbincangan menarik kami berlima adalah
sepotong kisah paham komunis di lembaran Rampokan Jawa. Peter, Ellen
dan ibundanya bercerita bagaimana gerakan komunis berjalan saat
Perang Dunia II di Belgia dan Eropa. Bagaimana sikap masyarakat
Belgia saat itu terhadap paham komunis.Tidak banyak pengikut partai
komunis yang secara gamblang membuka identitasnya kepada publik.
Walaupun di Rusia dan Cina paham komunis berkembang pesat sejak
Lenin dan Mao (sampai runtuhnya Uni Soviet), namun tidak demikian
halnya dengan Eropa daratan. Berbagai latar belakang lainnya menjadi
diskusi menarik. Itulah sebabnya tokoh Erik Verhagen (dalam komik)
menyembunyikan jatidirinya yang pengikut aliran komunis.

Setibanya di hotel, kamipun berbincang-bincang singkat dan saling
mengucapkan terima kasih atas berbagai kesempatan selama tiga hari
ini. Kamipun sepakat menyempatkan waktu untuk bertemu lagi dan
mengadakan diskusi buku akhir September ini. Namun itu apabila tidak
ada halangan, karena Peter akan segera kembali ke negerinya (setelah
perjalanan ke Makasar, Bali dan Jakarta lagi).

Pengalaman bersama Peter van Dongen (dan keluarganya) memberi
kenangan manis bagi kami semua. Mudah-mudahan akan ada kesempatan
serupa, saat Rampokan Celebes diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Kemungkinannya memang kecil, tapi tidak ada salahnya kita selalu
berharap. Siapa yang tahu masa depan kita?

Kini perjuangan yang sebenarnya dimulai………..mampukah Rampokan Jawa
meraih sukses pasar? Semoga publik menyambutnya dengan antusias.

Surjorimba Suroto

==========

And this is something to look forward to: Rampokan Jawa in Koran Tempo. It’s a pity that not all articles are freely accessible through the Internet (you have to be a paying registered member), so I just hope somebody can find the electronic version of the article and post it in the mailing list.

From: “suryo_anglagard”
Date: Thu Sep 8, 2005 5:11 pm
Subject: Rampokan Jawa di Koran Tempo

Jika tak ada halangan, Jum’at 9 Sept 2005 Koran Tempo akan menurunkan
liputan konferensi pers dan eksibisi EH: Rampokan Jawa dan Komikus
Muda Indonesia. Mudah2an sambutan pembaca antusias dan mulai mencari
komiknya. Pak Pandu, udah siap ngga nih batch kedua? Ntar toko2
kebanjiran demand, tapi supply ngga ngejar. ah, tapi pak Pandu pasti
te-o-pe =)

BTW, saya juga diwawancara tadi malam oleh Koran Tempo perihal
tutupnya Radio M97 FM (nggada hubungannya dgn komik). Mereka tertarik
meminta pendapat saya, selaku orang yg pernah aktif di radio tsb (1999-
2001). Artikel ini rencananya turun Sabtu, 10 Sept 2005.

Dan jangan lupa setiap Koran Tempo Minggu, ada karya Beng Rahadian dan
komik Godam: Godam Gadungan.

suryo
ps. Rekan2 lain mohon bantuannya utk monitor surat2 kabar/ website

 

 

Just keeping track.. [4] (Komik Alternatif mailing list)

8 September 2005

A coverage from yesterday’s discussion session at Kinokuniya Plaza Senayan, from komik alternatif mailing list:

From: “Rieza FMuliawan”
Date: Thu Sep 8, 2005 7:22 am
Subject: Review : Rampokan Belanda Bau Keju

Sudah hampir tiga hari berdekatan terus dengan Peter Van Dongen (plus Ellen
istrinya, dan Ibunda Peter), tapi tidak ada bau keju disebarkan dari badan
mereka, jadi kalau Belanda bau keju itu saya anggap mitos, karena sudah saya
buktikan sendiri. Sama seperti mitos yang bilang kalau jaman dulu para prajurit
kita melawan Belanda itu menggunakan bambu runcing. Dalam komiknya Rampokan
Java, Peter menggambarkan kalau para prajurit Indonesia juga sudah bersenjata
bedil bahkan ahli dalam memasang ranjau jenis bom tarik (ini saya kutip dari
komentar salah satu dosen senior ITB) ketika mencegat rombongan truk prajurit
Belanda di Bandung.

Saya jadi ingat film perang kolosal “Mereka Kembali” sutradara Nawi Ismail,
gara2 melihat hasil salah satu koleksi Pak Hans Jaladara yang ternyata adalah
pembuat poster film-nya. Film ini mengisahkan tentang long march para prajurit
Siliwangi ke Jawa Barat dari Jogja di jaman agresi militer Belanda. Saya memang
bodoh dalam sejarah, karena yang fasih bercerita mengenai kejadian long march
pasukan Siliwangi ini adalah Peter Van Dongen setelah melihat Patung Jendral
Sudirman yang sedang sendirian di jalan Sudirman di perjalanan menuju Senayan.
Tapi mental Indonesia adalah mental sok tahu, lantaran malu karena tidak tahu
sejarah bangsa sendiri, ya sudah saya cerita saja ngalor ngidul mengenai Jend.
Sudirman ini, yang ternyata beberapa kali dikoreksi dengan keras oleh Peter, ah
emangnya gue pikirin, muka saya sudah terlatih cukup tebal dengan sikap sok tahu
ini, jadi ya ngalor ngidul saja terus.

Terimakasih untuk yang telah hadir di Erasmus tgl 6 September dan Kinokuniya
kemarin malam. Dalam sejarah pameran yang diadakan oleh Erasmus Huis, maka
pameran Peter Van Dongen dan rekan komikus Indonesia adalah yang tersukses dari
segi pengunjung yang mencapai 100 orang lebih dalam satu malam. Di Kinokuniya
kemarin, hadir sekitar 70-an orang berbagai kalangan yang penasaran dengan
Rampokan dan Peter van Dongen.

Berbagai kalangan, misalnya ; Staf kedutaan, penerbit, para wartawan, pekerja
seni, aktivis komik, peminat-pembaca dan pemerhati komik, pengunjung biasa,
komikus muda Indonesia, dan mereka yang menyamar menjadi komikus. Nah untuk
golongan terakhir ini, ialah mereka yang menyamar menjadi komikus diantaranya
adalah saya sendiri, Hikmat Darmawan, Dedi Gede Sugianto, Syamsudin, Pam, Setya
Adyaksa, Iwan Gunawan dan Surjorimba. Boleh dibilang lantaran kuper..ya sudah
kita pura2 saja jadi pengamat komik dan komikus sambil ngomong keruan sok tahu
kesana kemari.

Komikus muda beneran yang hadir juga cukup banyak ; Thoriq, Beng Rahardian,
Rowal, Arif, Zarkie, Motul Kapten Bandung, dan banyak lagi yang berasal dari
studio2 yang berbeda. Bahkan ada yang datang dari Bandung. Tapi yang paling
membuat segar adalah kenyataan dari sekitar 70-an pengunjung yang hadir untuk
Peter Van Dongen, terdapat kira-kira 15 orang tamu berjenis kelamin perempuan.
Bandingkan dengan pengunjung temu komikus dari komikindonesia.com beberapa waktu
yang lalu dengan Kus Bram, Gerdy, Kelana, Hasmi ..yang hampir semuanya adalah
laki laki tua usia, wah garing betul ya !.

Kabar gembira juga dilontarkan oleh beberapa komikus yang namanya sudah
menjulang di sejarah komik indie Indonesia. Ada isyu kalau Thoriq akan segera
membawa Caroq keluar dari persembunyian. Motul berniat membawa Kapten Bandung
edisi baru jalan jalan di tol baru Cipularang – bahkan Kapten Bandung edisi baru
akan diberi judul Tol Cipularang, wah Molotov hidup lagi ?, Beng sudah juga
selesai dengan komik yang bercerita tentang homosex,…untung bukan saya yang
dijadikan model komik baru Beng ini. Tapi kok modelnya mirip Hikmat ya… ?.
Tapi yang saya tunggu2 jelas adalah komikus muda pujaan baru saya, M. Cahya
dengan Para Lodra.

Bicara dengan Mr. Marteen – Erasmus Huis, beliau bilang secara bercanda..melihat
antusias publik yang tidak disangka sangka, mungkin Erasmus harusnya melakukan
lagi opening. Dan memang kenyataannya Peter di daulat untuk kembali hadir di
Erasmus hari ini pukul 9 pagi, yang berjanji dengan sebagian komikus Indonesia
untuk melakukan coaching clinic dan tukar menukar ilmu. Ketika saya menulis ini
kemungkinan acara tersebut masih berlangsung.

Buat Pandu Ganesa sebagai penerbit, tentunya tidak ada yang lebih menyenangkan
selain melihat buku Rampokan yang disediakan malam itu habis terjual. Di Erasmus
tinggal berapa biji lagi, kemarin malam di Kino malah habis terjual. Peter
sendiri tidak menyangka kalau kunjungannya ke Jakarta ternyata menjadikan
komunitas komik Indonesia semakin bergairah. Dia hanya menjadwalkan untuk hadir
di Erasmus satu hari untuk pembukaan pameran biasa, dan sisanya berjalan jalan
di Jakarta. Ternyata harus menemui ratusan orang penggemar komik yang mengantri
meminta tanda tangan dan berfoto. Terus terang sebagian panitia jadi tidak enak
dengan kejadian ini tapi beruntung Peter punya pribadi yang hangat dan tidak
mempersoalkan hal yang di akuinya membuat staminanya jadi kendor.

Anda memperhatikan karakter Verhangen di komik Rampokan Jawa ?, saya
mempersoalkan tentang orientasi politik Verhangen sebagai seorang komunis dalam
perjalanan mengantar pulang Peter kemarin malam. Ternyata saat itu, tahun
1946an, pilihan menjadi seorang komunis adalah hal yang tidak populer di
Belanda. Apalagi setelah jaman perang dingin antara AS dan US. Sehingga tidak
heran kalau Verhangen tidak memproklamirkan secara radikal kalau dirinya adalah
seorang komunis. Malah pilihan politiknya menjadi komunis menjadi bahan ledekan
kawan2 se-perjalanan menuju Hindia Belanda, sampai akhirnya dia mengalami
kecelakaan. Saya bilang, komik ini akan mendapat revisi habis2an andai
diterbitkan di masa Presiden Suharto yang memang sangat anti dengan segala
sesuatu yang berbau komunis. Di jaman itu entah kemudian penerjemah Rani dan
editor Hikmat harus memakai kata apa agar supaya detail kecil dalam cerita soal
komunis ini bisa lolos.

Tidak mudah memang mengikuti isi cerita komik Rampokan. Peter bilang secara
teknik gambar dia hanya terpengaruh oleh Herge satu-satunya, tapi story telling
dia sangat terpengaruh oleh film. Jadi tidak heran kalau kita akan kesulitan
mengikuti cerita Rampokan lantaran kita musti memperhatikan visualisasi simbol ,
dan yang paling penting, kita juga musti sedikit paham mengenai sejarah
Indonesia dan dunia tahun 1946an. ” Take your time, read carefully, watch the
picture and symbols “..begitu advisenya agar cerita Rampokan bisa dimengerti
oleh para pembaca bahkan untuk para pembaca di Belanda sekalipun.

Dan Rampokan itu bukan kata yang berarti rampok, perampok, atau maling. Mungkin
kata seharusnya adalah Rampogan. Jaman dulu tahun 1910an, di Jawa (Blitar ?)ada
upacara tradisional, sebetulnya bukan upacara, tapi mungkin atraksi. Atraksi adu
harimau dengan orang. Ada juga disebut atraksi memburu harimau alias tiger
hunting. Orang yang diadu dengan harimau ini, dipercaya adalah seorang berilmu
yang bisa menundukan harimau dengan berbagai cara terutama kemampuan ilmu dari
dalam, Peter bilang karena para pawang ini baru pulang dari Mekkah makanya
mereka jadi berilmu. Mirip macam gladiator, tapi Peter melukiskan orang ini
seperti dukun di tivi yang senang memakai kaca mata hitam berbaju hitam.

Johan Kneivel adalah seorang putra seorang pegawai di Hindia ( Indonesia ),
musti pergi ke Belanda untuk belajar sesaat sebelum perang dunia ke II.
Kerinduannya akan Hindia, masa lalu masa kecil di negri tropis Indah Hindia yang
ber laut , terutama pada figur pengasuhnya di masa kecil, yang disebut dengan
nama panggilan ninih, kemudian membuat dia memutuskan untuk pulang ke Hindia
(Indonesia).

Dalam perjalanan pulang ke Hindia , secara tidak sengaja Johan mencelakai
seorang penumpang kapal lainnya, yaitu Erik Verhangen. Belakangan ketika melihat
identitas Erik, diketahui kalau Erik juga ternyata adalah seorang Hindia yang
lahir di Jawa, dan seorang simpatisan dari partai komunis.

Johan kemudian tiba di Tg Priok, menjadi seorang tentara Belanda pendudukan. Di
Jakarta sendiri saat itu (Batavia) keamanan dijaga oleh pasukan gurkha India
dari Inggris. Kejadian di kapal ketika Verhangen harus celaka di tangannya
ternyata masih terus membayangi kemana dia pergi, bahkan sampai menghantui.
Tidak jarang Johan serasa melihat dan di ikuti oleh arwah Verhangen kemanapun
dia pergi, malah “hantu” halusinasi Verhangen ini juga berani nongol siang
bolong di cermin yang dipakai tukang cukur ketika Johan sedang cukur rambut di
bawah pohon.

Johan dan Fritz, teman karib nya hidup luntang lantung di Hindia menunggu
penempatan sampai akhirnya bertemu dengan seorang yang mengaku wartawan bernama
Bennie Riebeek. Sampai singkat cerita Fritz terlibat dalam mafia penyelundupan
atau tepatnya penggelapan minyak bekerja sama dengan seorang cina pemilik toko
kelontong terbesar di Bandung bernama Ong dan Bennie Riebek. Johan sendiri
terlambat mengetahui bahwa dirinya terjebak dalam konspirasi jaringan pedagang
gelap minyak selundupan, dan harus melarikan diri dengan Lisa -seorang wanita
lokal berdarah ambon cina yang bekerja sebagai pembantu di tangsi militer,
Antonie Van Dalen- ketika jaringan perdagangan minyak gelap ini diketahui oleh
pemerintah kota dan warga setempat. Warga (seperti biasa) kemudian melakukan
main hakim sendiri dengan aksi vandalisme dan penjarahan di toko kelontong milik
Ong.

( ternyata urusan penjarahan ini adalah bagian melekat di sejarah Indonesia dan
suatu kebiasaan yang sudah ada sejak dulu dalam sejarah Indonesia. Selalu saja
dalam krisis politik kemudian terjadi aksi-aksi vandalisme dan penjarahan yang
sasarannya adalah etnis tertentu sampai sekarang yang sudah 60 tahun kemudian ).

Fritz yang tertangkap oleh polisi pemerintah kota, dengan cerdik kemudian
menfitnah Johan yang sedang dalam pelarian bersama Lisa. Nasib malang bagi
Johan, dalam pelarian dia kemudian terjebak di bencana banjir besar dan tanah
longsor sehingga harus terpisah dengan Lisa. Johan sendiri kemudian cedera dan
hilang ingatan. Ketika ditemukan, Johan sedang meracau mengenai masa lalunya
dengan ninih si ibu asuh masa kecil. Lebih parah lagi, kalung identifikasi khas
militer yang berfungsi sebagai tanda pengenal tentara harus hilang di telan
banjir. Satu-satunya yang masih tersisa di badan adalah sebuah buku identitas
milik Verhagen yang masih terus disimpannya, sehingga Johan dianggap sebagai
Verhagen. Padahal saat itu Verhagen sudah di anggap sebagai seorang buronan yang
desertir.

Rupanya Johan kemudian harus menerima identitas barunya menjadi Verhagen sang
desertir….tapi apakah benar demikian dan bagaimana petualangan Johan
selanjutnya?

Terus terang saya juga penasaran dengan cerita selanjutnya – gara2 ketidak
becusan membaca bahasa Belanda. Bantulah mempromosikan dan membeli buku ini agar
kemudian pihak penerbit mempunyai cukup uang memproduksi sequel Rampokan Jawa
yang berjudul Rampokan Celebes. Supaya saya anda dan teman2 lain yang sudah
membaca Rampokan Jawa bisa segera membaca sequel buku komik ini.

Atraksi rampogan, dukun berbaju hitam, harimau macan kumbang hitam, Johan,
Verhangen dan Lisa…..semuanya saling berkaitan dalam hubungan metafora dan
simbolisasi. Macan yang marah karena mau di adu untuk ditangkap ini adalah
simbolisasi dari penguasa kolonial saat itu. Jangan kaget kalau kemudian Peter
gemar menggambar plang reklame obat macan di sepanjang cerita, artinya Peter
sedang bermain main dengan simbol.

Ketika saya tanya Peter, apakah saat itu tahun 1946 memang terjadi banjir
bandang di Bandung sehingga dijadikan background ? Peter sambil tertawa
menjelaskan, itu hanyalah reka-rekaan saja, toh di Indonesia ini mungkin setiap
quarter musim hujan selalu saja terjadi banjir atau longsor dimana-mana, seperti
yang dia lihat sendiri di Padang bulan lalu. Wah jago juga dia berkelit , tapi
cukup beralasan.

Kritik dari berbagai pembaca kemudian mengarah kepada karakterisasi gambar orang
Indonesia di buku ini. Banyak yang bilang gambar Peter untuk orang Indonesia
terlalu banyak dan mirip dengan orang indocina yang berkulit kuning dan mata
sipit. Peter menjawab itu memang tidak sengaja dan sebagai salah satu pengaruh
berat Herge di buku Tintin Lotus Biru yang menggambarkan orang2 asia Indocina
dan juga penggambaran Herge terhadap orang Indonesia di buku Penerbangan 714
yang mirip Indocina. Tapi komentar menarik datang dari Motul, dia bilang orang2
Jepang di buku komik manga itu semuanya bermata bulat dan besar kebalikan dari
yang seharusnya bermata sipit, jadi kenapa musti dirisaukan ?. Selain
kritik-kritik diatas nyaris komik Rampokan ini dianggap sempurna baik dari segi
details, ornamen dan riset sejarah, apalagi memang gaya gambar Peter yang
membangkitkan nostalgia akan jaman Indie Mooi.

Tapi ada koor paduan suara dari panggung, ketika semua hadirin setuju bulat
mufakat bahwa hanya dengan melihat gambarnya saja, rata-rata mereka mengaku
memutuskan memiliki buku ini sebagai obat rindu terhadap komik ….Tintin , the
best comic ever !

=====

And here’s another posting at the same mailing list:

From: Santi R
Date: Thu Sep 8, 2005 8:15 am
Subject: Me and Rampokan Java

Rabu, 7 Sept, mendekati waktu magrib di depan komputer.

Cepet2 beresin kerjaan, rapi2in meja seperlunya, trus cabut ke halte busway
Karet menuju Ratu Plaza. Langsung ke pintu belakang, ke Plaza Senayan, naik ke
lt.5, gak pake acara windowshopping dulu..Kinokuniya...Kinokuniya...

Eh, bangkunya masih pada kosong, cuma liat Mas Hikmat lagi ngobrol, liat arloji,
hehe..masih jam setengah 7 rupanya..yaudah turun lagi. Kali ini beneran shopping
(dasar cewek...gak bisa liat angka 50% off dikit aja)..dah gitu ketipu pula..50%
off-nya utk pembelanjaan berikutnya setelah pembelian 150ribu...Sialan, udah
ngomong jadi beli, masa gue bilang gak jadi. Mana SPGnya nungguin lagi dan tadi
bantu2 nyari baju ukuran gue. Sebeellll..gue kan jadi punya perasaan antara gak
enak kalo gak jadi beli, tengsin kalo bilang batal (emang gue gak punya duit
apa)..(idih..gak penting banget baca ginian)

Yaudahlah...Peter is waiting for me..hehehe..

Nyampe atas lagi ternyata dah rame, gue ngeliat banyak tokoh dunia komik
datang..ada yg kenal, ada yg cuma tau namanya dan ada yang gak nyangka kalo
ternyata dia komikus 😀

Pesohor2nya antara lain Pak Pandu Ganesa (dedengkotnya Paguyuban Karl May
Indonesia), Mas Surjorimba dari Komik Alternatif, Mas Iwan Gunawan si penggila
komik, eh, kayak liat seseorang mirip Anand Krishna (bener gak ya), trus Pepeng
Naif, orang Erasmus (Mas Bob? dan temennya)..dan peserta pameran komik yg gue
belom kenal..

Cerita ttg diskusinya ntar lagi aja. Sekarang gue cuma mo cerita ttg gue n
Rampokan Java itu sendiri. Gue dah lama juga dengar nama Rampokan Java dan
Rampokan Celebes ini (ngingetin ama Jong Java dan Jong Celebes)…tapi baru tau
komiknya kemarin waktu di Erasmus Huis..liat yang edisi bahasa londonya punya
mas Syam..

Pertama kali baca, terus terang aja gue gak ngerti ceritanya..selain karena
kagum ngeliatin ilustrasinya (sama kayak waktu baca Tintin), waktu itu juga udah
tengah malem, ngantuk liat teks..dan setelah baca sinopsisnya, gue baca ulang
lagi komiknya, baru deh ngerti (oon banget seh) 😀

Yg gue inget banget dari komik ini :

Pas adegan rampokan macan ngelawan pak haji..kok pak haji digambarkan kayak
dukun sih. berjubah item, pake kacamata riben lagi...
Trus desersi...artinya apa sih? Pembelot gitu ya :p
Di bagian perjalanan ke Bandung, memperlihatkan alam parahyangan yang subur,
sawah bertingkat2, gunung, jembatan diatas jurang, persis dengan yg gue liat
tiap naik kereta Jkt-Bdg. Keren..
Roti isi sambal..tadinya gue kira cuma buat lucu2an, eh, ternyata si londo
gendeng (tapi ganteng) itu beneran makan roti isi sambal..hahaha..
Trus Pasar Atom. Baca di sinopsisnya katanya itu di Surabaya. Tapi di
komiknya, si Riebeek janjian ketemu Frits di Pasar Atom, toko Ong, jalan menuju
Bandung. Trus waktu Johan disuruh nyari piringan hitam Vera Lynn bersama Babu
Lisa, mereka juga disuruh ke Bandung, dan Lisa bilang tempat yang tepat ya Pasar
Atom itu..kalo jaman sekarang Pasar Atom itu dimana ya? Yang gue tau di Bandung
cuma ada Pasar Caringin, Gedebage, Kosambi, Andir, Ciroyom, Suci, Leuwi Panjang,
Gordon, Ancol, Kiara Condong, (anjriit..hapal euy.. :D)

Suasana pasar tradisional ala Indonesia digambarkan Peter mirip bgt..Cuma ya
gak terlalu rame kayak pasar sekarang..ada kakek2 pake celana belacu telanjang
dada pake caping lagi bawa pikulan, ibu2 berkebaya dan sarung, tukang cukur
dibawah pohon, ada kurungan ayam, sabung ayam, anak kecil tukang semir sepatu,
wanita2 berjilbab, laki2 pake baju koko, peci dan sarung mo ke masjid/musholla.
Hanya, masjidnya kok pake kentongan ya 😀 TONG TONG...gak ada suara adzan.
Yang agak mengganggu, kalo ada istilah asing atau singkatan, trus dipakein
tanda bintang, gue cari2 di halaman bawah gak ada penjelasannya, eh, ternyata di
belakang, semua dijadiin satu..
Oya, yang menarik juga, banyak juga gambar cowok telanjang dan maaf,
payudara, disini.
Waktu blom tau ceritanya, gue masih bingung dengan perpindahan frame2nya,
mana bagian yg flashback, mana yang kini. Biasanya kan kalo gambarin masa lalu
warnanya agak buram atau abu2 gitu, tapi ini sama semua..
Teknik pewarnaannya yang minimalis, walopun katanya tadinya karena soal
itung2an duit, ternyata malah bikin komik ini unik dan kereeeeeeeeenn…beneran!!
Pada beli deh.. 😀

Untuk masterpiece seperti ini yang butuh waktu bertahun2 buat menyelesaikannya
(Peter gak suka deadline dan dia sangat perfeksionis), perjuangan untuk
menerbitkannya dalam bahasa Indonesia (bahasa Inggrisnya aja gak ada coba! Dan
proses penerbitannya cuma 1 bulan!! Bener ya Pak Pandu?).. dengan kualitas
kertas yang ok, cover, dll yang sangat mendekati aslinya, juga ditambah dengan
adanya misi khusus agar masyarakat kita bisa lebih mengapresiasi komik dan novel
grafis sebagai suatu karya seni dan sastra, (komik bukan hanya untuk konsumsi
anak kecil, banyak pesan yang bisa kita sampaikan secara grafis)..yah..harga
yang ditawarkan menurut gue sangat sangat reasonable...

Sekian tanggapan gue. Mohon ditanggapi lagi.

Santi

=====
A couple of quick responses:

From: “pandu ganesa”
Date: Thu Sep 8, 2005 11:45 am
Subject: Re: [komik_alternatif] Me and Rampokan Java

Trus waktu Johan disuruh nyari piringan hitam Vera Lynn bersama Babu Lisa,
mereka juga disuruh ke Bandung,

#Bagi yang ingin dengar kayak apa sih suara/lagu Vera Lynn, silakan nonton
The Wall (Pink Floyd) yang versi the Movie. Di bagian awal, adegan orang
ngepel, lagu yang disetel itu lagunya Vera Lynn. Biduan yang populer tahun
40-an.

Dan proses penerbitannya cuma 1 bulan!! Bener ya Pak Pandu?)
#Yang jelas di percetakan hanya k.l 1 minggu, sebelumnya mondar-mandir
banyak koreksian. Bahkan the last minute, ketika cover sudah dicetak,
ketahuan nama pengarangnya kelupaan belum dicantumkan :-((

.. dengan kualitas kertas yang ok,
#Kertasnya kertas impor, terima kasih untuk Rani Ambyo yang telah membantu
memberi alamat supplier kertasnya.

cover, dll yang sangat mendekati aslinya, juga ditambah dengan adanya misi
khusus agar masyarakat kita bisa lebih mengapresiasi komik dan novel grafis
sebagai suatu karya seni dan sastra, (komik bukan hanya untuk konsumsi anak
kecil, banyak pesan yang bisa kita sampaikan secara grafis)..yah..harga yang
ditawarkan menurut gue sangat sangat reasonable...

#Nah yang ini, terima kasih kepada Kedutaan Belanda.
Saya sedang mengerjakan X-file. Wajah tokohnya mirip banget dengan yang
versi TV itu. Full-colour. Semoga bisa diproduki dengan ongkos se minim
mungkin, soalnya artpaper. Ini juga hanya pancingan, semoga yang lokal cepat
nongol.

gono

From: “Rieza FMuliawan”
Date: Thu Sep 8, 2005 11:50 am
Subject: Re: [komik_alternatif] Me and Rampokan Java

Di komik ini ada dua setting waktu , yang memang nampaknya sengaja tidak di
jelaskan oleh Peter.

1. Tahun 1900-an awal (atau 1800-an akhir?) , yaitu masa masa penggambaran
ketika Pak Haji dalam ritual rampogan macan.
Di halaman pertama saya juga sempat bingung, ada burung terbang di atas
bangunan2 kecil mirip kuburan , dan kolom2 yang menjelaskan tokoh tokoh
Rampokan, maksudnya apa ya ?. Ternyata itu bukan bangunan-bangunan, tapi kandang
macan berupa peti mati ada 8 biji, di salah satunya ada berisi macan. Kandang
macan yang terbuka tapi gak ada isinya langsung hancur. Saya jadi agak sedikit
bingung dengan terjemahannya, apa bukan mustinya ada 8 peti mati yang salah
satunya berisi macan , karena tidak kesemua delapan peti mati itu berisi macan,
yang keluar macannya cuman satu doang.

2. Terus halaman berikutnya sudah masuk ke Oktober tahun 1946. Halaman2
berikutnya Peter tidak memberikan penjelasan mengenai setting waktu juga tidak
membedakan antara tahun 1800-1900-an ketika acara rampogan macan berlangsung dan
tahun 1946, tapi asalkan panelnya menggambarkan upacara rampogan macan, maka
saat itu Peter sedang menggunakan kejadian rampogan macan sebagai metafor
kejadian yang berlangsung di tahun setting cerita , tahun 1946.

Saya suka sekali dengan halaman ketika Riebek berada dalam jeep sedang dihadang
oleh kelompok massa yang membawa bawa golok, dan dibawah panel itu, dengan
ukuran panel yang sama pas di bawahnya digambar macan gelisah (kakinya saja)
yang sedang berhadapan dengan pak haji yang membawa obor dikelilingi penonton,
sebagai metafor keadaan Riebek yang sedang terdesak.

Terus panel yang menggambarkan ketika si Ong di popor tengkuknya, pas di
bawahnya di gambar macan yang sedang melompat ganas. Pokoknya kalau muncul panel
bergambar macan rampogan ini dan si pak hajinya, ya itulah ketika upacara
rampogan di tahun 1800-an digiring masuk ke tahun 1946 sebagai perlambang.
Keadaan kacau balau di pasar atom toko kelontong Ong itu juga digambarkan dengan
keadaan kacau balau ketika si macan ngamuk.

Apa jaman itu memang sudah ada kacamata hitam (1800an akhir?)? hmm ngga tahu deh
ya mungkin ada ya (?). Dan kostum hitam-hitam itu, entahlah apa itu kostum buat
mereka yang sedang rampogan macan? Menurut saya kacamata hitam itu semacam
simbol lain yang tidak berdasarkan fakta sejarah alias memang si pengarang
menghendaki demikian.

Lantaran Verhangen ngga pulang melapor ke tangsi, maka Verhangen disebut sebagai
desersi, artinya prajurit yang kabur dari kesatuannya entah kemana (tapi tidak
ketahuan matinya) atawa membelot. Seperti misalnya tentara TNI yang desersi di
Aceh, ada yang bergabung dengan GAM, atau malah kabur pulang ke rumah di
Jawa,..mereka disebut desersi dan hukumannya sangat berat.

Pasar Atom itu memang salah, dia sendiri ngaku kok. Biar saja lah.

Ada lagi panel yang sangat menarik, adalah ketika dia menggambarkan proses
terjadinya banjir bandang itu. Sejak beberapa halaman sebelumnya dia sudah terus
menerus menggambar keadaan hutan yang diguyur hujan, kemudian jeep tentara yang
berjalan di jalan yang becek, selokan sungai yang airnya bertambah deras dan
permainan kata kata bunyi petir dengan Brrooaar !, dan aliran air bah dengan
Brroooooammm !!!

Saya punya tebak2an iseng soal komik Rampokan ini...
Ada berapa banyak gambar "obat matjan" yang digambar Peter di buku Rampokan
Jawa? ayo siapa yang bisa jawab?

Salam.

Additional notes: an entry at Tiyas' Blog about the event at Kinokuniya, here.

 

Photos: The first encounter of Madjoe! team with Peter van Dongen, at Stripdagen Haarlem 2002 and Peter joining the drawing demo.

Just keeping track.. [3] (Antara, Suara Pembaruan)

7 September 2005

More media coverage, this one is from Antara:

Sep 06 20:58
KOMIKUS PETER VAN DONGEN CERITAKAN MASA LALU YANG TIDAK DIALAMINYA

Jakarta (ANTARA) – Komikus warga negara Belanda, Peter van Dongen, menceritakan masa kemerdekaan Indonesia dalam dua karya karya terbarunya, Rampokan Java dan Rampokan Celebes”.

Dengan detail-detail yang digambarnya, pembaca karyanya akan berpikir van Dongen mengalami masa yang menjadi latar cerita komiknya, namun ternyata tidak.

“Sebelum membuat komik ini saya tidak pernah ke Indonesia, latar waktu yang saya pilih juga 20 tahun sebelum saya lahir. Berawal cerita ibu saya yang berada di Indonesia pada masa-masa itu, kemudian saya banyak melakukan penelitian melalui foto-foto lama masa Hindia-Belanda, literatur dan novel,” kata van Dongen kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

Kisah tokoh Johan Knevel –orang Belanda yang kembali ke kota tempatnya dibesarkan, Hindia-Belanda, setelah menempuh pendidikan di Eropa– dapat digambarkan van Dongen dengan begitu hidup dan mendetail karena ia sangat menaruh perhatian akan sejarah keluarganya.

Pria yang berusia 39 tahun itu merupakan gambaran generasi ketiga keluarga Hindia-Belanda yang menyimpan banyak pertanyaan mengenai sejarah Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi pada masa penjajahan Belanda dan masa perjuangan kemerdekaan ketika itu.

“Semakin saya mempelajari mengenai Indonesia, semakin banyak hal-hal baru yang saya peroleh yang sebelumnya tidak diajarkan di bangku sekolah,” kata komikus dengan debut karyanya Muizentheater” atau “Theatre of Mice (1990).

Dalam perjalanan pembuatan “Rampokan”, van Dongen menemukan persamaan antara penyerangan AS ke Vietnam dengan apa yang dilakukan Belanda ke Indonesia. Ia menyesalkan apa yang dilakukan negaranya dan menuangkannya dalam komik.

“Apa yang dilakukan Belanda di kampung-kampung di Indonesia mengingatkan saya seperti apa yang terjadi saat AS menyerang Vietnam. Karena dalam komik saya tentara Belanda saya gambarkan sebagai `bad guys` (antagonis), maka saya mendapatkan beberapa reaksi negatif dari mereka,” ujar seniman yang pernah menjadi pemain drum sebuah kelompok musik ska-reggae itu.

Van Dongen kini sedang mengadakan pemeran komik bersama empat komikus Indonesia di Erasmus Huis, Jakarta mulai 6 September. Kunjungannya kali ini merupakan kali ketiga. Sebelumnya ia ke Indonesia dalam keperluan penelitian komik “Rampokan Celebes” dengan bantuan dari pemerintah Belanda.(*)

From Suara Pembaruan:

Indonesia “Tempo Doeloe” di Tangan Komikus Muda Belanda

PEMBARUAN/BERTHOLD DHS

TIDAK percaya. Sama seperti komikus muda kelahiran Jakarta, Dwi Santoso yang lebih dikenal dengan nama Anto Motulz pada karya-karya komiknya, banyak juga yang tidak percaya ketika pertama kali melihat langsung sosok Peter van Dongen, komikus Belanda kelahiran Amsterdam tahun 1966.

Pasalnya, karya-karya van Dongen yang dikenal di Indonesia adalah buku komiknya Rampokan Java dan kemudian Rampokan Celebes, yang berkisah tentang Indonesia “tempo doeloe” di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, sekitar tahun 1946. Kisah bergambar itu secara detail melukiskan orang-orang Belanda, Indonesia, Jepang, dan lainnya di masa lalu. Lengkap dengan lukisan detail mengenai kendaraan, kehidupan di pasar, arsitektur bangunan, sampai gaya busana “tempo doeloe”.

Seperti Anto Motulz bilang, “Rasanya nggak mungkin Peter van Dongen masih muda. Pasti dia sudah tua.” Ya, van Dongen pasti sudah seusia opa (kakek), karena bisa menceritakan kisah masa lalu Indonesia secara terinci.

Itulah sebabnya, banyak yang kaget melihat sosok pria muda yang mengenakan T-shirt dan celana jeans, ketika dia memperkenalkan dirinya sebagai Peter van Dongen, saat jumpa pers menjelang pameran komik di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Selasa (6/9) siang.

Ya, van Dongen memang baru berusia 39 tahun. Jelas dia tak mengalami masa-masa awal kemerdekaan RI. Bahkan periode repatriasi orang-orang Indo yang memilih kewarganegaraan Belanda pada tahun 1950-an, juga tak dialaminya. Jadi, darimana van Dongen tahu rincian pernak-pernik di tahun 1946-an itu?

Ternyata, van Dongen mempunyai seorang ibu yang lahir di Manado, Sulawesi Utara. Kakeknya juga pernah bertugas sebagai tentara KNIL yang tewas dibunuh balatentara Dai Nippon sekitar tahun 1942-1943, saat Jepang masuk ke Indonesia (saat itu bernama Hindia-Belanda) dan mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda. Makam kakek Peter van Dongen masih terawat dengan baik di pemakaman tentara Belanda di Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Dari kisah ibunya tentang kehidupan keluarganya di Indonesia pada masa lalu itu, akhirnya membuat van Dongen ingin membuat komik dengan setting Indonesia “tempo doeloe”. Maka lahirlah karya komiknya yang berjudul Rampokan Java. Komik yang pertama kali dimuat secara bersambung di suratkabar Belanda, Het Parool pada tahun 1998, kini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Primatama dengan judul Rampokan Jawa.

Kisahnya menceritakan Johan Knevel, pemuda keturunan Belanda yang lahir dan mengalami masa kanak-kanak di Hindia-Belanda, setelah melanjutkan studi di Amsterdam, kembali sebagai tentara ke Hindia-Belanda pada tahun 1946. Menggunakan kapal laut, dia akhirnya berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, dan menemukan bahwa Hindia-Belanda telah berubah menjadi Indonesia. Bukan itu saja.

Perubahan besar lainnya ditemui Johan knevel, ketika dia berjalan-jalan mengenang masa kecilnya di Batavia. Dia teringat masa kecilnya yang riang gembira diasuh oleh pembantunya yang bernama Ninih. Begitulah kisah terus bergulir.

Gaya Eropa

Dalam jumpa pers itu, Peter van Dongen ditemani tiga komikus muda Indonesia yang berpameran bersamanya sampai 30 September mendatang. Mereka adalah Anto Motulz yang lahir di Jakarta pada 1972, Muhammad Cahya Daulay yang akrab dipanggil Cahya (Jakarta, 1978), dan Beng Rahadian alias Beng (1975). Satu peserta pameran lainnya adalah Dwinita Larasati atau Tita (Jakarta, 1972). Namun Tita tidak hadir dalam jumpa pers itu, karena sedang menyelesaikan program doktornya di Delft University of Technology, Belanda.

Mereka mengakui sendiri bahwa komik-komik yang mereka buat bergaya Eropa. Berbeda dengan komik bergaya Jepang, yang saat ini sedang marak di Tanah Air. Komikus gaya Eropa yang paling terkenal di Indonesia mungkin adalah Herge lewat komik-komiknya dengan tokoh Tintin, wartawan muda dengan rambut berjambul.
Tak heran bila komik-komik yang dipamerkan di Erasmus Huis, juga sebagian dipengaruhi oleh gaya Herge.

Peter van Dongen sendiri mengakui bahwa Herge dengan Tintinnya, berpengaruh besar dalam kariernya sebagai komikus. Sejak kecil dia senang membaca komik Tintin, dan berharap suatu saat kelak dapat membuat komik seperti itu. Salah satu komik Tintin yang disenanginya berjudul Blue Lotus. Kisahnya seputar pendudukan Jepang di Cina. Itulah sebabnya, van Dongen kemudian menjadikan buku itu sebagai inspirasinya untuk membuat kisah tentang pendudukan Belanda dan Jepang di Indonesia, serta masa-masa awal kemerdekaan RI.

Untuk membuat komiknya, selain mendengarkan kisah dari ibunya, van Dongen juga melakukan riset yang cukup lama Museum Institut Tropik di Amsterdam.
Dia juga melihat kembali koleksi foto-foto milik keluarganya maupun milik keluarga lain yang pernah tinggal di Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Hasilnya, adalah sebuah buku komik yang patut dibaca oleh siapa pun.

PEMBARUAN/BERTHOLD SINAULAN

I received more stories from my mother, who took many photos on the opening night, but is waiting for my brother to upload them on the Internet (or send them by e-mail to me). She also heard that this exhibition will be traveling to other cities in Indonesia, but perhaps my original diary-sketchbook will not be included. This is due to the high risk factor of having it lost in the way, something that Erasmus Huis avoids, naturally. Well, I would suggest they make color copies of selected pages, so people can see the inside part of that book.

Right this moment a discussion session with Peter van Dongen is going on at Kinokuniya bookstore at Plaza Indonesia. More reports are coming.. 🙂

Photo: from Suara Pembaruan, caption:
MEMPERLIHATKAN – Komikus Belanda, Peter van Dongen, sedang memperlihatkan karyanya pada seorang pengunjung pameran karyanya dan rekan pembuat komik Indonesia yang diadakan di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta Selatan, dari 6 sampai 30 September 2005.

+ a couple of pages from MYX Magazine that covers Peter van Dongen & Rampokan Celebes

Just keeping track.. [2] (Komik Alternatif mailing list)

7 September 2005

Of course, in the next morning, I was rightaway looking for photos of the opening last night. Here is where I first saw some pictures of the exhibition (thanks, Nath!). And here‘s the link to “Rampokan Jawa” review by Tiyas, and an entry about the opening at her Blog.

The following articles are taken from komik_indonesia mailing list.

From: “Rieza FMuliawan”
Date: Wed Sep 7, 2005 1:23 am
Subject: Diary Comics Tita – Dari Pameran Komik Erasmus Huis

Sejak pertama melihat, kemudian kita menebak nebak, apa judul komik ini yang dipajang di salah satu dinding Erasmus. Tidak ada judul, dan gambarnya “unyek-unyekan” memenuhi beberapa kertas tipis yang ukurannya pun kayaknya lebih kecil daripada A4.

Saya bilang Hikmat, nanti saja saya teliti bagian itu, saya masih terpesona dengan Paralodra. Ketika sama sama melihat,..wah saya bilang Erasmus musti menyediakan kaca pembesar agar bisa melihat details gambar di kertas ini.

Lagilagi saya bilang ke Hikmat dan Zakrie , …wah saya bingung dengan sequences-nya….ternyata pantas saja bingung, orang Erasmus meletakan kertas yang salah dan tidak berturutan – soalnya saya iseng mencocokan kode2 angka di ujung gambar yang merupakan ( saya tebak sih ) tanggal dibuatnya gambar2 itu. Sampai kemudian beberapa pekerja Erasmus mulai membetulkan kertas2 itu dengan urutan yang benar. Tapi tetap saja tidak ada kaca pembesar disediakan !

Karya Tita ini dibilang sebagai Diary Comic, komik yang berdasarkan buku harian seseorang yang merekam kejadian sehari hari si pelaku dengan gambar. Kalau orang lazimnya merekam kejadian sehari hari dengan tulisan di buku harian, maka kalau Tita ini merekamnya dengan gambar ..gambar yang super imut – mungkin dibikin imut supaya hemat kertas dan juga agar semua gambar bisa masuk dalam kertas yang berukuran diary. Tapi tentu saja unik.

Masalahnya, tentu saja tidak bisa langsung begitu saja kita mengerti isinya. Apalagi kalau tidak mengenal Tita secara dekat. Yang mengerti mungkin hanya orang2 terdekatnya saja. Kalau misal kita melihat ada gambar ( yang masih juga super imut ), seorang bayi bule, khan kita tidak tahu apa bayi ini adalah anak Tita atau keponakan atau anak tetangga? tapi itu yang bikin seru karena kemudian terpaksa kita harus melihat gambar2 sebelumnya, siapa tahu ada keterangan gambar yang menjelaskan anak siapa bayi itu ? – ya kita musti mencari gambar karena ini komik bisu alias tidak ada balon text.

(nah apakah anda bisa membayangkan gambar hitam putih ukuran super kecil pula, tapi kita bisa tahu kalau gambar itu adalah untuk menggambarkan anak kecil berbeda ras dan bangsa alias bule ? kalau pake warna khan gampang tinggal di warnai saja dengan warna pirang di bagian rambutnya. Tapi kalau hitam putih? Inilah hebatnya komikus ! )

Unik sekali karya Tita ini (orangnya juga ada di milis ini), ukuran gambarnya super kecil tapi kita bisa melihat detail, seperti tali sepatu yang lepas atau kancing jaket – jaket bayi, motif baju dan coretan di buku yang sedang dibaca orang padahal orangnya sendiri paling di gambar dengan ukuran 2.5cm jadi bukunya juga sangat kecil.

Juga genre yang ( populer ? ) di Eropa, Diary Comic . Semua orang bisa membuat dan jadi komikus kalau kemudian kita merekam seluruh kejadian kita sehari hari, naik bis mogok, haus beli minum, dicopet, melihat copet, hampir keserempet motor, macet di tol, polisi bikin kesel, lampu merah mati dan lain lain.

Tapi saya tidak bisa gambar? jadi musti bagaimana? … lihat dulu deh karya unik Tita yang sedang dipamerkan di Erasmus, …jadi anda akan mengerti maksud saya.

Salam.

Another one:

From: “hiqmatdarkknight”
Date: Wed Sep 7, 2005 8:17 am
Subject: Re: Diary Comics Tita – Dari Pameran Komik Erasmus Huis

Titaaa, saya sukaaa graphic diary-mu! kalau saya bikin antologi komik alternatif, tahun depan, sumbangin ya karyamu. yak, betul kata rieza, memang gambarnya ‘unyek2’, berjejalan di dalam satu halaman hvs A4. tapi, itu kan yg dipajang di dinding. Lha, kalau yg di diary, sayangnya didisplay tanpa bisa dibuka2. padahal, kayaknya satu scene lebih gede, ya, tita, daripada yg di kertas a-4 itu? ada bungkus permen segala. hwaduhhh! penasaran euy, pingin liat isinya.
saya dan zarky kagum sama karyamu. saya, di samping suka ide kamu (khususnya, ide mengecilkan dan memadatkan banyak scene dalam satu kertas), juga sangat suka tarikan garis kamu. somehow, tarikan garis itu mengingatkan saya sama komik Jojo –tp kalau Jojo rapi banget…sementara kamu sketchy banget, spontan banget, dan karena itu saya suka.
kalau melanjutkan diskusi kita dulu soal graphic diary, graphic memoirs, sampe komik2 otobiografis–graphic diary kamu lebih merupakan impresi visual atas kejadian2 sehari-hari yang kamu alami, ya. kamu gak tertarik bikin cerita yg lebih bertutur, yg mampu mengungkap opini atau pikiran2 kamu? cuma nanya aja, lho, gak nuntut. anyway, selamat! kapan2 kita jadiin aja, yuk, pameran dgn tema khusus graphic diary… tahun depan, mungkin?

riez, biarin aja kamu gak bisa gambar. pertama, oke, bisa belajar menggambar instant, mungkin (ayo, beng, lu bikin pelatihannya). kalo graphic diary, gak perlu sampe mumpuni, cukup bisa bertutur secara visual, walau kita “gak bisa” gambar. tapi lebih penting lagi, menurut saya, komik bukan berangkat dari gambar, tapi dari cerita. kalo emang om rieza tertarik ngomik model begini, sok wae atuh!

~hikmat

And here’s my response:

From: “tita 91”
Date: Wed Sep 7, 2005 9:09 am
Subject: Re: Diary Comics Tita – Dari Pameran Komik Erasmus Huis

Halo semuanya,

Makasiiiih banget atas apresiasinya 🙂
Pertama2 makasih buat Mas Suryo yg sudah dari kemaren2 nulis diary ttg pameran ini. Saya ngikuti terus lho, apalagi saya penasaran sekali, kepingin rasanya punya DoraEmon yg bisa buka pintu ke mana saja, utk sebentar singgah di Erasmus Huis.

Mengenai diary saya, memang pada awalnya (duluuu banget) tidak bertujuan utk public viewing, jadi sekuel cerita pun hanya saya yang ngerti (namanya juga diary), juga mungkin keluarga dan teman2 yang berhubungan intensif dengan saya selama saya sedang berperjalanan. Namun, tetap, ada beberapa bagian yg sangat ‘private’ yg saya lambangkan dengan simbol2 tertentu, yg hanya saya yg tau 🙂
Yang formatnya A4 itu, dibuat sekitar tahun 1998 kala saya studi di Eindhoven. Selain utk ngirit kertas (maklum, student di rantau), juga memang gaya nggambar saya printil2an kecil gitu.
Sebenarnya saya sudah usul ke Erasmus Huis utk mem-blow-up beberapa lembar (sudah saya kirimkan format digitalnya dalam resolusi tinggi), namun sepertinya nggak ada yg di-print besar ya utk pameran itu?

Nah belakangan, saya mulai dengan format A5, dalam buku terjilid dan bukan lembaran2 kertas. Yang dipamerkan itu buku nomer 2, dan sekarang saya sedang mengisi buku nomer 4. Di format buku ini, kejadian2 berurutan lebih jelas terlihat. Kadang2 saya juga menyelipkan isi benak saya atau lawakan2 ringan dari kejadian sehari2. Tidak lupa juga menyertakan bukti2 relevan saat kejadian tsb (spt tiket kereta, bungkus kue yg dimakan, bon2 belanja, dll). Jadi seperti scrapbook.
Saya juga sudah usul ke Erasmus Huis utk mengopi beberapa isi halaman dari buku ini utk dipajang, sementara bukunya sendiri tetap di dalam kotak display. Tapi ternyata nggak ada yg dikopi juga ya.

Dari pengalaman selama ini, menggambar gaya spontan adalah yg paling cocok bagi saya.
Kalau pakai sketsa pinsil dulu, hasilnya nggak pernah memuaskan. Mungin kalau saya ada lebih banyak waktu, bisa lebih telaten lagi. Beberapa coretan gelpen spontan dari model hidup ada di sini.

Ayo, kumpulkan graphic diary karya rekan2 komikus di Indonesia, dan matangkan rencana pameran. Saya mendukung sekali.

Salam,

Tita

ps. Ngomong2, kemaren waktu mampir di Lambiek, saya melihat2 bukunya Dominique Goblet yang juga menggrafiskan kisah hidupnya, berjudul “Souvenir d’une journée parfait”. Namun, karena Goblet adalah benar2 ilustrator dan seniman grafis, isi buku ini lebih menyerupai karya2 seni (foto)grafis.

Here’s a report about the opening event:

From: “Beng Rahadian”
Date: Wed Sep 7, 2005 8:47 am
Subject: Pembukaan Pameran Peter

Wah, saya ditugasi nulis sama Mas Suryo tentang pembukaan kemaren, sory nih sebenernya tadi malem tangan saya sudah mulai memegang keyboard, tapi capek banget, akhirnya memilih tidur aja deh, daripada kejedot monitor, mana paginya harus revisi kerjaan lagi, oke ini sedikit tentang tadi malam.

Pameran ini barangkali diluar dugaan kita semua, setidaknya ungkapan itu yang terlontar dari kebanyakan orang yang bertemu dengan saya. Mrs. Antje, Mr Marteen dan Mas Bob yang mewakili Erasmus huis mengatakan jika pameran Peter tadi malam adalah pameran paling banyak pengunjungnya (diatas 100 orang) dan orang2nya relatif baru untuk kalangan Erasmus. Sampe jam 10 malam masih ada yang nongkrong disitu, ya alasannya sih karena nungguin foto bareng sama Peter yang sibuk melayani permintaan tanda tangan.

Peter pun tidak menyangka pada antusiasme audiens yang hadir. Para pengunjung datang itu rata2 menenteng komik Rampokan Jawa dan T-shirt gambar stasiun BEOS karya Peter produksi Sahabat Museum.

Saya, Motul dan Cahya, juga senang melihat ternyata masih banyak yang tertarik ‘supports’ pada pameran komik, seperti mas Satrio dari Kompas yang ngakunya dateng secara pribadi, Serta tokoh tonggak komik Indonesia seperti Thoriq (Caroq) dan Bapaknya Pailul;Bpk.Dwi Koendoro. Mereka datang ke Erasmus untuk melihat Peter, tapi setelah itu mereka bertanya, kapan Komikus Indonesia ada yang bisa seperti ini?

Sayang Tita nggak bisa hadir padahal diary-nya menyihir sekian banyak orang, ya saya bilang pada mereka yang nanya: “ya begitulah.. bikin komik itu gampang, meskipun bikin seperti apa yang dibikin Tita itu sungguh nggak mudah hehehe…” Mewakili Tita ada Tyas, yang memperkenalkan diri sebagai adiknya. Bener ya Ta? dia liatin foto keluarga, akhirnya saya tahu deh wajahnya Tita.

Pameran dibuka jam 7 lewat, setelah sambutan dari Mr. Marteen, yang bilang sebenernya Erasmus jarang sekali mengadakan acara tentang komik, jadi malam tadi sangat khusus, kemudian Peter yang mengucapkan terimakasih kepada Bpk Pandu Ganesha untuk penerjemahan Rampokan Java, juga kepada Bpk Suryorimba, katanya untuk kesediaanya mengurusi banyak hal, terutama hadiah baju batik yang ia pakai tadi malam, (dia bilang begitu Mas Suryo.. persis seperti anda bilang kemaren, dia pengen banget pake Batik).

Kemudian Bpk Rosihan Anwar yang menggunakan bahasa Inggris dan sesekali ada joke pake bahasa Belanda, yang tidak diterjemahkan (sebel deh, kan nggak ngerti). Bpk Rosihan mengatakan bahwa istilah komikus di indonesia mulai dipakai oleh Bpk RA Kosasih, (kalo saya nggak salah tangkap ya, maap rada bolot nih).. udah deh, pameran pun dibuka, sayang setelah pameran dibuka, Peter tidak punya waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang karyanya yang sedang dipamerkan, karena sibuk untuk melayani book signing, padahal kan enak tuh untuk nanya:

“Kenapa Peter langsung menimpa tinta diatas kertas sket/ pensil? nggak pake proses tracing dulu”,

seperti yang saya tahu, beberapa teman2 mewajibkan setiap bikin komik itu harus dipisahkan antara kertas pensil dan tinta. Katanya untuk menjaga kerapihan dan begitulah kerja dengan sistem industri (?).

Dengan kasus Peter kan terbantah tuh proses ribet dan makan banyak kertas yang menggunduli hutan itu, karena ternyata, Anto (yg bikin gambar Gundala & Godam yg dipajang di Toko Komik Indonesia) itu juga prosesnya sama dengan Peter, dan selain Anto juga banyak lagi yang begitu termasuk saya dan beberapa kawan yang ngumpul disitu, didepan karya Peter yang sisa pensilnya dan ‘tip-ex’-nya masih kelihatan.

Masih banyak pertanyaan yang semoga akan ada waktu untuk membicarakan hal ini lebih dalam, terutama membuka mata komikus muda Indonesia.

Ada yang ingin saya ceritakan, seorang teknisi Erasmus Huis namanya Gideon, dia nyalamin saya dan bilang.. “Mas terus berkarya ya… bener lho Mas,” harapan Gideon itu bukan untuk saya, tapi untuk komik Indonesia. Sebelumnya saya melihat Gideon sehari sebelum pembukaan sedang memperhatikan detail teks waktu pada komiknya Tita, dia sangat interest menghubung-hubungkan ceritanya, bersama temannya dia membahas serius cerita komik Tita, dan dia pun sempet bilang pada saya, “Mas Beng saya sudah baca komik Mas beng, saya beli toko”.

Karena lucunya, beberapa teman dari kalangan aktivis komunitas komik sendiri yang hadir pada saat pembukaan itu, tidak memiliki sense interest pada ‘cerita’ seperti yang dimiliki Gideon.

Sebelum saya pulang, Mrs.Antje menegaskan tentang rencana pameran ini akan keliling beberapa kota di Indonesia, sayang kalau cuman sampai disini aja. Ya.. semoga jadi deh!

sampai ketemu di Kinokuniya, malem ini.

Photos: from Nath‘s collection