Tag Archives: concert

Strips in Stereo: Musik dalam Cergam

13 March 2006

Sabtu malam, 11 Maret 2006, sekitar pk. 21:00, tampak antrian panjang di luar Paradiso (sebuah gereja tua yg kini berfungsi sbg gedung pertunjukan). Hawa dingin dan turunnya butiran salju lembut tidak mengurungkan niat para pengunjung malam itu, yang telah menghabiskan seluruh tiket yang terjual.

Sekitar jam itu pula saya tiba di Paradiso, tapi tidak sempat berlama2 memandangi panjangnya antrian di luar sebab harus segera mencari tempat parkir utk sepeda saya, supaya bisa segera ikutan mengantri. Ini tidak mudah, sebab semua tempat parkir sepeda dan ruang yg ada di sisi jalan juga sudah penuh dengan sepeda. Untung akhirnya dapat juga tempat nyempil di seberang Paradiso, di pelataran sebuah sekolah tingkat menengah, meskipun harus dengan menarik dan menyingkirkan sebuah sepeda yg diparkir miring.
Mungkin sekitar 10 menit waktu yg dihabiskan para pengunjung untuk mengantri di luar. Saya hanya bersyukur hawa dingin malam itu tidak ditingkahi angin. Begitu antrian bersendat maju, saya termasuk yg bisa langsung masuk ke pintu, sebab selain tiket masuk Strips in Stereo (15 Euro), saya juga sudah punya tiket Paradiso (2,50 Euro, yg berlaku bulanan), sementara banyak orang yg masih harus mengantri utk ini. Sampai dalam ruangan, langsung terasa hangat, jadi saya titipkan dulu jaket tebal di ruang mantel (1 Euro per jaket) sebelum masuk ke ruang pertunjukan.

Lantai dasar Paradiso waktu itu sudah penuh orang yg sibuk berbincang, merokok, dan minum (ada bar di salah satu pojok ruangan). Di depan, terlihat berbagai instrumen musik sudah tertata di panggung. Di latar panggung, terdapat layar raksasa. Balkon lantai satu dan dua juga tampak sudah terisi penuh, sementara orang2 terus mengalir masuk. Terjual habisnya tiket masuk ini pasti juga karena adanya ulasan ttg acara ini di De Volkskrant (sebuah koran nasional) sehari sebelumnya. Suasana ramai karena ada alunan musik yg dikontrol oleh seorang DJ di pojok ruang yg berseberangan dengan bar.
Para pengunjung malam ini terlihat sangat beragam. Bukan saja dapat dikelompokkan antara yg datang utk musik atau datang utk komik atau dua2nya, tetapi juga dapat dikelompokkan antara penggemar suatu jenis musik. Maklum saja, sebab lagu2 yg dipilih oleh para komikus ini adalah dari bermacam2 jenis (ballads, rock, country, rap, dsb). Selain itu, orang2 ini antusias utk datang juga karena lagu2 yg terpilih akan dibawakan oleh musisi dan penyanyi aslinya.

Lagu pertama, Kinderballade, dibawakan oleh Boudewijn de Groot, yg di-cergam-kan oleh Maaike Hartjes. Sementara lagu dinyanyikan, pada layar terpampang animasi dari karya Maaike. Berbeda dengan gambar sehari2nya yg mirip stick figures, ilustrasi Maaike kali ini cukup memikat, bergaya dekoratif kejepang2an dengan aksen warna2 yg kuat. Balada si anak ini pun terasa mencekam, berkat visualisasi Maaike.
Boudewijn de Groot kemudian membawakan lagu keduanya, Malle Babbe, yg grafisnya digarap oleh Erik Kriek (pencipta seri Gutsman). Jenis lagunya pun balada, dengan lirik yg menggugah rasa, dan digambarkan dengan tepat oleh Erik. Gaya gambar Erik yg biasanya berjiwa American pop art, kali ini diberi aksen kekasaran tertentu, sesuai dengan setting waktu yg dipilihnya.

Berikutnya tampil Guido Belcanto dengan De Verpleegster, dengan visual karya Mark Retera (terkenal dengan tokoh Dirk Jan-nya). Sesuai kisah dalam lagu tsb, Mark menggambarkan Guido yg terpikat oleh seorang perawat yg mengambil contoh darahnya, yg terlihat resah waktu bertemu dokter, dan reaksinya saat ia mengetahui hasil tes darahnya. Di sini pacing dan komposisi panel (pada animasi komik) dengan tepat mengekspresikan tone dan lirik pada lagu.

Frans van Schaik membawakan Ketelbinkie yg divisualisasikan oleh Dick Matena, seorang komikus kawakan yg kali ini memilih menggunakan duo tone pada komiknya, dan menampilkan sosok2 karikatural.

Jeroen Zijlstra yg sedang tur berhalangan hadir utk membawakan lagunya, Je bent zo lelijk, dan digantikan oleh seorang rekannya. Lagu yg, bila diterjemahkan bebas, kira2 berarti “kamu jelek sekali” ini digambar oleh Hein de Kort, yang keunikan gayanya memang sangat cocok untuk lagu tsb. Gambarnya bergaris dan berbentuk seenaknya, dan sengaja dibuat berantakan, seolah2 hendak menekankan arti kata “jelek”.

Spinvis dengan lagunya Voor ik vergeet tampil di panggung dengan Hanco Kolk, komikus yg malam itu kebetulan berulang tahun (ya, penonton sempat menyanyi lagu ulang tahun utknya). Keunikan Hanco adalah gaya garis2 minim namun efektif. Utk Strips in Stereo, Hanco banyak menyertakan kolase foto di antara goresan kuasnya.
Malam itu, Hanco adalah satu2nya komikus yg melakukan live performance. Sebuah kanvas dipasang di panggung sebelum lagu dimulai. Saat Spinvis mulai memainkan lagu (yg terjemahan judulnya adalah “karena saya lupa”), Hanco pun turut beraksi dengan kanvasnya. Kanvas tsb sebelumnya telah digambar oleh Hanco: fokus pada tokoh utama lagu, dikelilingi oleh elemen2 memori yg ada pada benaknya. Selama lagu berlangsung, Hanco menyapukan kuas (dengan cat), sedikit demi sedikit, ke memori2 tsb, hingga perlahan2 hanya tinggal si tokoh utama yg terlihat pada kanvas. Menjelang lagu berakhir, si tokoh pun tersapu kuas, dan setelah semuanya ‘terhapus’ oleh cat, Hanco menggambarkan jantung hati tepat di mana si tokoh berada.

Peter Pontiac memilih lagu Meisjes (= perempuan muda) karya Raymond van ‘t Groenewoud utk divisualkan. Ini bukanlah pilihan sembarangan, sebab gambar2 perempuan karya Peter dinilai sebagai yg terseksi di seluruh Belanda. Raymond malam ini tampil mengenakan rok mini hitam (terlihat spt lingerie), wig brunette pendek dan memakai lipstick (bukan hal yg baru baginya utk tampil berkostum).
‘Komik’ Peter kali ini lebih berupa clip arts, yg memperlihatkan beberapa versi perempuan: dari tipe girl-next-door yg membuat jumpalitan para pria, hingga tipe alien yg membuat jiper laki2. Hal yg paling menarik adalah interpretasi Peter yg tak terduga terhadap lirik2 Raymond, yg lebih dari sekedar berorientasi seksual.

Getty Kaspers, eks penyanyi dari grup Teach-In (sebuah band pop di th 70an) menampilkan Ding-edong, yg divisualisasikan oleh Jean-Marc van Tol. Keras-pelannya nada di bagian2 tertentu pada lagu terasa pada gambar melalui besar-kecilnya huruf pada komik, terutama pada bagian ‘sound effect’ (bunyi detak jam, atau bunyi lonceng gereja).

Henny Vrienten dari grup Doe Maar membawakan Is dit alles?, yg liriknya digambarkan oleh Barbara Stok dalam suasana sehari2. Selingan “wouu wouu” yg sering terdengar dalam suatu lagu dimasukkan dalam panel2 komik melalui berbagai adegan (bayi menangis, anjing melolong, dsb). Sehingga, meskipun di luar alur cerita utama, “wouu wouu” itu tetap tampil pada komik.

Karya Thé Tjong-Khing termasuk yg paling ditunggu2 kali ini, mengingat kiprahnya terakhir dalam dunia komik profesional adalah lebih dari 20 tahun yang lalu (beliau kini lebih terkenal sebagai ilustrator buku anak2). Haar sneeuwwitte boezem dari Johnny Hoes yg dipilihnya mengisahkan ttg seorang gadis yg meninggalkan orang tuanya di desa kelahirannya utk pergi ke kota demi masa depannya. Ia lalu mengabari orang tuanya bahwa ia telah berhasil hidup di bawah gemerlapnya lampu kota besar. Interpretasi Khing sangat menarik: “gemerlap lampu”, yg biasanya dianggap sebagai mewahnya kehidupan kota besar, digambarkannya sebagai gemerlap lampu berwarna merah muda, yang membingkai sebuah kaca, di mana si gadis duduk menunggu pelanggan.

Leon Giesen (Mondo Leone) tampil dengan lagunya, Naakt en Kaal, yg divisualisasikan oleh Joost Swarte, komikus yg lebih dikenal sbg seorang desainer grafis termahal se-Belanda. Komposisi dan panel pada karya Joost sudah bisa diduga, dengan teknik garis bersih yg dianutnya itu. Kekuatannya dalam memainkan obyek2nya pun muncul melalui beberapa adegan surreal, yg juga merupakan spesialisasinya.

Def P (dengan grup rap-nya Osdorp Posse) membawakan Moordenaar, dengan visualisasi oleh Typex (baik lirik lagu maupun komik yang satu ini sangat tidak layak utk anak2). Typex membuat komik tanpa kata2: seluruh lirik dituliskan pada sebuah ‘piringan’ di tengah2 halaman.

Bennie Jolink (dari grup Normaal) membawakan D’n poot op het gas, digambarkan oleh Henk Kuijpers (yg terkenal dengan karya serinya, Franka). Komik yg satu ini tampil mantap, hingga hampir tak terasa bahwa teksnya adalah lirik lagu.

Peter Koelewijn dengan lagunya Kom van dat dak af, yg saking terkenalnya sampai dibilang ‘lagu nasional’ Belanda, tampil sebagai penutup. Gerrit de Jager, yg mencergamkan lagu ini, juga sangat terkenal berkat karyanya De Familie Doorzon (ia, dan Jean-Marc van Tol, adalah pemrakarsa acara Strips in Stereo ini). Tentu saja nomor ini mendapat sambutan sangat meriah. Sekali lagi, kerasnya nada dapat terlihat pada besarnya font, dan kecepatan lirik juga terlihat pada deretan kata2 yg bersambungan tanpa jeda.

Saya yg sebelumnya belum pernah mendengar lagu2 yg ditampilkan malam ini dapat dengan mudah menikmati musiknya. Mungkin juga karena terbawa suasana, di mana kelihatannya semua orang di Paradiso (kecuali saya) hafal lirik2 lagu tsb dan ikut bernyanyi.
Mengenai visualisasi lagunya sendiri (saya baru menduga, sebab belum melihat bukunya dengan lengkap, juga tidak hafal lirik lagu2 tsb), saya lihat para komikus tsb umumnya mengambil lirik dan menerjemahkannya ke dalam gambar, dengan interpretasi masing2 – bagai mengambil naskah utk dikomikkan. Ada juga di antara mereka yg bermain dengan tinggi/rendahnya nada atau kecepatan lagu, dan berusaha mengekspresikannya dalam gambar.
Baru ini yg dapat saya tangkap dari live performance malam itu, plus tampilan animasi komik pada latar panggung. (Review buku & CD Strips in Stereo akan saya susulkan begitu barangnya sudah ada di tangan)

Di penghujung acara, kedua pemrakarsa acara ini tampil ke panggung dan memperkenalkan para komikus yg terlibat, satu demi satu (semua hadir, kecuali Thé Tjong-Khing) dan menghadirkan kembali para musisi yg telah tampil malam itu. Namun ada berita mengecewakan bagi penonton: malam itu buku & CD Strips in Stereo tidak dapat dijual, sebab persediaan sudah habis sama sekali, dan kita semua harus menunggu cetakan keduanya! (atau mungkin stok habis karena distribusi besar2an sebelum malam itu?). Tentu banyak yg kecewa, termasuk saya, yg berniat memintakan tanda tangan pada buku tsb ke semua komikus yg hadir pada malam itu (sesuai yg dijanjikan pada program Strips in Stereo).

Untuk (agak) mengobati rasa kesal, sebelum pulang saya beli satu kopi versi Bootleg yg dijual di lantai atas (di mana berlangsung pula penjualan berbagai komik dan merchandise spt bros, stiker, dll). Bootleg ini berisi karya2 para komikus Belanda yg tidak termasuk dalam Strips in Stereo, namun juga menggambarkan lagu2 yg mereka pilih masing2. Fotokopian kualitas bagus, bersampul kertas warna perak, berharga 5 Euro.

Saat saya meninggalkan Paradiso (sekitar pk. 23:30), acara masih terus berlangsung: DJ, strips jam session, strips club, dsb. Berhubung bukan penggemar hura2 malam (sambil masih agak sebel perihal buku), dan ingat ada yg menunggu di rumah, saya memilih utk pulang.

Images: dari situs Strips in Stereo: sampul buku dan halaman2 dari Peter Pontiac dan Gerrit de Jager.

(Baby Baby) Can I Invade Your Country?

28 February 2006

.. rightaway gained my affection on the first hearing. Along with songs from the same album, Sparks‘ newest Hello Young Lovers, all are quite catchy. It didn’t take too much getting used to for me; I was rightaway absorbed into the music during the gig at Paradiso, Amsterdam, last Tuesday (21 Feb). Paradiso, which used to be a church, is not a very big concert venue; in the contrary, it’s sort of snuggly. The standing space (ground floor) was full (of about 500 people), and there’s no barricade between the stage and the floor (people at the first row could lean on the stage).
In the first half of the show, all Sparks band members wore identical black outfits. There’s a screen (white between black transparent clothes) separating Ron & Russell Mael (brothers who are Sparks) from the rest of the band (two guitarists at the left side and a bassist & a drummer at the right). During the show, the white screen was actively used to display projected images that corresponded to the songs. The images also corresponded to the acts of Ron and Russell, i.e. Ron ‘hitting’ his image, Ron ‘playing’ an orgel on the screen, Ron & Russell standing ‘in the rain’. There’s really a lot of screenteraction going on.
Image hosting by Photobucket
Russell and Ron during the show in Amsterdam. Photo source: sparksfan.info

Now, the music. How shall I put it – it’s all very energetic, I could even feel the vibe of every beat (although perhaps it had to do with the fact that I stood next to the speaker, 2nd row, far right). What amazed me the most is Russell’s constant voice – how could he sing like that for (almost) two straight hours, so powerfully?! The atmosphere was quite pleasant, the crowd seemed to have fun; some danced and sang along. Although, I regret that some people lit up their cigarettes during songs. How distracting and inconsiderate.

The first act consisted of all songs from Hello Young Lovers: Dick Around, Perfume, The Very Next Fight, (Baby, Baby) Can I Invade Your Country?, Rock Rock Rock, Metaphor, Waterproof, Here Kitty, There’s No Such Thing as Aliens and As I Sit to Play the Organ at the Notre Dame Cathedral (which was presented so grand when they purposedly lit up the old church windows of Paradiso). The lyrics were smart and witty, the music pleasant and humorous, and sounds almost pompous. For this album, Sparks applied drums/percussions and guitars, unlike for the previous album. I welcome this change very much: different, but still sounds ‘sparky’.

For the second act, the screen was dismantled, and all personnel wore semi-formal outfits (i.e. jacket and tie), performing older Sparks songs (from the ’90s). I knew Sparks waaay too late (only about 4 years ago – while they’ve been making music since the early ’70s), so I wasn’t too familiar with most of the songs. I knew only the ones from Lil’ Beethoven, which they presented at the end of the show (at around 23:30 – they started at about 21:00). All in all, we are very satisfied and couldn’t stop talking about it on our way home (on our bikes, so it’s more like yelling than talking). I was very lucky to have the chance to watch them LIVE! And of course, many thanks to Sybrand for introducing me to Sparks and getting me the tickets as my birthday present! (He said he has all Sparks albums, but mostly in vinyl.. well, I’ve got a lot of catching up to do!)

Image hosting by Photobucket
From the show in Sweden, the next day (same outfit, though!). Photo source: a link from Sparks forum

My graphic notes from the event are here and here.
Sparks site: http://allsparks.com/
More about Hello Young Lovers at BBC Music – including downloadable songs: Perfume and (Baby Baby) Can I Invade Your Country?

Ron and Russell Mael are joined on stage by Tammy Glover (Drums), Dean [Faith No More] Menta (Guitar), Josh Klinghoffer (guitars) and Steve [Red Kross] McDonald (Bass).
Top image: cover of Hello Young Lovers CD

akhirnya kesampean: nonton konser Madness!

20 October 2005

Beberapa bulan yg lalu (tepatnya Juli), saya sempet agak kecewa ketika ada konser Madness di Melkweg, Amsterdam, terlewat oleh kami. Untungnya agak terobati karena ada live broadcast dari konser itu lewat Internet, di FabChannel, yg tentu saja saya tonton (dan untungnya lagi, anak2 sudah tidur, jadi nggak ada yg ngerecokin). Tulisan ttg nonton konser gratisan dari Internet itu ada di sini.

Nah hari Rabu minggu lalu, dalam perjalanan naik tram ke CS, saya lihat di jalan (sekitar Vijzelstraat) ada tempelan poster pengumuman konser. Latar hitam polos, gambar siluet 6-7 orang berjejer, dan tulisan MADNESS di atasnya. Saya langsung pasang mata, utk dapat info lebih lanjut ttg konser itu dari poster berikut. Tapi baru nemu poster yg sama ketika hampir tiba di CS: konsernya tgl 18 Oktober, di Heineken Music Hall (HMH). Aha! Hari itu juga saya langsung beli tiketnya, dua, sebab Syb pasti mau ikutan nonton.

Selasa 18 Oktober, sekitar jam 7 malam Ayu datang utk nge-babysit anak2. Dhanu dan Lindri girang banget, mereka seneng bisa main sama Tante Ayu-nya. Belakangan Ayu bilang mereka manis2 saja, dan satu jam setelah kita pergi, mereka mulai tidur. Gampang banget, katanya.
Oh iya – sebelum pergi ke HMH, begitu Ayu datang, kita tiup lilin kecil2an dalam rangka ultah Ayu tgl 17-nya. Kuenya juga kecil2, berupa 3 macam petit four. Lalu ada acara buka kado sebentar (Ayu kita kadoin Cadburry chocolate drink sama buku2: Persepolis-nya Satrapi dan The Book of Magic-nya Gaiman). Baru deh kita berangkat, naik tram ke Wibautstraat, lalu lanjut dengan Metro ke Bijlmer: 3 zone saja.

Ternyata malam itu, di waktu yg bersamaan dan tempat yg sangat berdekatan, ada pertandingan sepak bola, Ajax dengan … (tim dari sebuah desa kecil di Austria). Setiba di stasiun Metro, ada yg ke arah Gein, tapi penuh sekali dengan suporter bola yg ribut teriak2 dan nyanyi2. Wah, ogah banget, mending nunggu kereta berikut. Saya lirik2 jam, sudah hampir jam delapan! Nanti konsernya mulai duluan! Tenang, kata Syb, biasanya mereka nggak akan mulai sebelum jam sembilan. Kalaupun mulainya mau jam delapan, pasti ada pemberitahuan di tiketnya.

Kereta berikut berangkat pk 20:16, masih ada bbrp suporter bola di dalamnya, tapi nggak sebanyak tadi. Juga bukan jenis yg liar. Kalau melihat mass behavior spt suporter berisik tadi, saya biasanya langsung ingat dengan teori2nya Desmond Morris di The Naked Ape – mengenai kebutuhan orang jaman skg utk melakukan “tribe war“, menunjukkan daerah teritori mereka, dengan perangai2 yg mirip dengan manusia purba di masa lampau. Ada benarnya 🙂

Para suporter Ajax tsb turun di stasiun Arena, satu stasiun sebelum Bijlmer, tempat turunnya para pengunjung konser di HMH dan penonton bioskop Pathé. Waktu kami tiba di HMH, pasti sudah lewat dari jam setengah sembilan. Nggak ada antrian di depan, kami bisa langsung menunjukkan tiket sambil melewati security. Yg laki2 pasti kena geledah, sementara saya diperbolehkan langsung masuk.
*fiuh*.. Ternyata ada opening act dari sebuah band ska Belanda, namanya BeatBusters. Bagus juga, apalagi musiknya yg sewarna dengan Madness jadi seperti menawarkan pemanasan sebelum Madness beraksi. Madness-nya sendiri mulai pk. 21:15, katanya.

Sampai dalam hall, sudah penuh orang, tapi nggak terlalu sempit2an. Memang katanya karcisnya nggak terjual habis, tapi kok keliatannya cukup padat. Dilihat2, pengunjung konser ini rata2 usianya 30-50 th. Yg seumuran saya, pasti yg sudah doyan Madness sejak umur 13-an. Saya pernah dengar bahwa konser2 Madness banyak menarik kaum skinhead, dan malam itu saya lihat banyak orang yg kemungkinan besar ‘bekas’ kaum kepala botak itu. Dengan kepala masih botak total (atau cepak) dan lengan2 bertato, dan masih banyak yg pakai Doc Martens.
Kami tadinya menyusup di belakang, antara lantai dengan barisan tempat duduk. Tapi saya pelan2 cari celah utk maju, dan maju, dan maju terus sampai hampir tiba di depan panggung. Setelah itu, barisan orang2 mulai merapat, nggak mungkin maju lagi. Posisi kami kira2 tepat di tengah2, dengan jarak sekitar 10-15 kepala dari panggung. Lumayan, bisa melihat jelas!

Jam sembilan, BeatBusters pamitan, lalu ada break sekitar 15 menit. Konser di ruang tertutup ini, herannya, memperbolehkan orang merokok. Bayangkan bau asapnya. Hal lain lagi, adalah dibolehkannya orang2 minum bir selama pertunjukan berlangsung (tapi yg belakangan ini nggak terlalu bikin heran – lha judul gedung konsernya aja Heineken Music Hall). Selama break ini ada orang2 berkeliling dengan membawa silinder raksasa berisi bir di punggungnya, yg tersambung dengan selang yg dilingkarkan di pinggang. Ada silinder yg jauh lebih ramping di samping silinder raksasa itu, berisi gelas2 plastik. Orang yg ingin beli bir, tinggal panggil mas2 dan mbak2 bersilinder ini.
Selama konser berlangsung, herannya ada aja orang yg sempet ke bar utk beli bir, terus balik lagi ke spot semula. Padahal, suasanya sama sekali nggak mendukung utk minum2 bir dan merokok sambil nonton Madness. Sebab…

..ternyata penontonnya banyak yg brutal! Hahaha! Begitu para personel Madness muncul di panggung, orang2 udah pada blingsatan dan teriak2 “ONE STEP BEYOND!”. Dan benar, lagu itulah yg pertama dinyanyikan. Begitu not pertama jatuh, langsung, seperti menekan tombol on/off di kepala para penonton brutal ini, mereka langsung lompat2 nggak karuan. Ternyata memang gayanya begitu, dan dilakukan sepanjang konser.
Saya ngerti lah, orang2 menari mengikuti lagu ska model Madness gini gayanya ada yg seperti “mengecek persendian di sekitar pinggang dan pinggul”, ada juga yg seperti “melihat sol sepatu, kiri dan kanan bergantian, berulang2”, ada yg seperti “engklek tapi jalannya miring”. Tapi ternyata yg paling umum malam itu adalah gaya “loncat2 sambil tabrak sana-sini” dan “jatuhkan badan ke segala arah”. Untung saya masih bersaudara dengan Obelix (mengutip kata Mas Chico, sepupu yg mengenalkan saya pada Madness lebih dari 20 th yang lalu), sehingga lumayan bisa berdiri tetap di tempat semula, tanpa goyah kena timpaan orang2 di sekitar.

Nggak cukup rupanya dorong2an model “becanda babu” begitu, rupanya banyak orang yg suka siram2an bir. Siraman pertama kena sebagian rambut, dan nggak bisa kesel berkepanjangan, sebab siraman2 dan semburan2 berikut lebih parah lagi. Malah sempet kena timpuk segelas bir di pundak kiri. Ya udah deh, join the fun, saya ikutan ngedorong2 orang yg berani2an belaga jatuh dekat2 saya. Ini nggak hanya laki2 lho, perempuan juga banyak yg ikutan jadi penonton model brutal begini.
Jadi, kebayang nggak sih, orang2 yg maksa beli bir dan niatnya minum bir itu, jadinya malah kuyup karena gelas birnya kesenggol2 pas berusaha melewati orang2. Orang2 yg maksa nonton sambil ngerokok, juga mengkhawatirkan, sebab rokoknya itu kan bisa nyundut orang2 di sekitarnya, yg gerakannya nggak terkontrol lagi. Belakangan saya dikasih tau sama Peter, yg juga nonton konser itu di barisan depan, bahwa sekarang2 ini ‘kebrutalan’ penonton itu nggak separah waktu mereka masih muda dulu. Sekarang sudah jauh lebih mild. Hihihi.. tapi tetep aja, coba saya tau dari kemarennya, pasti malem itu pergi nontonnya pake boots yg steel-toe! Habis, keinjek2 melulu dan hampir kepeleset gara2 tumpahan bir plus buangan puntung rokok di lantai.

Waktu lagu It Must Be Love (pertengahan konser), orang2 mulai pada crowd surfing. Hingga lagu2 berikut, crowd surfing masih berlangsung. Tapi nggak semua orang diladenin sesama penonton, bahkan seorang sempet jatuh *gedebug!* tepat di depan saya. Nggak masalah, gimana pun jatuhnya, seberapa keras dorong2annya, selengket apapun siraman birnya, semua orang masih tetep senyum satu sama lain dan ketawa2 senang.

Malam itu Madness menampilkan lagu2 dari album terbaru mereka, Dangermen, yg kebanyakan adalah cover dari lagu2 tua, seperti Shame & Scandal (yg aslinya dari Lord Tanamo, liriknya kocak banget), You Keep Me Hanging On (Diana Ross & The Supremes –> salah satu cover song terbaik!), Taller Than You Are (Lord Tanamo — Suggs selalu memulai lagu ini dengan, “Lagu ini didedikasikan utk Bush dan Blair”), John Jones (Desmond Dekker), dan Israelites (Desmond Dekker).
Lagu2 lama mereka selalu disambut dengan gegap gempita oleh penonton (yg langsung mulai timpa2an lagi). The Prince, My Girl, Grey Day, Bed & Breakfast Man, Shut Up, It Must Be Love, Baggy Trousers, House of Fun, Embarassment, The Sun and The Rain, Our House, Nightboat to Cairo, dan terakhir Madness.

Penampilan mereka benar2 tidak mengecewakan! Waktu nonton konser mereka yg di Melkweg via Internet bulan Juli lalu itu, kesannya orang2nya sudah pada tua dan lelah. Tapi malam ini justru sebaliknya, semuanya keliatan enerjik, dan kualitas permainan musik dan vokal mereka sangat prima. Suggs lumayan komunikatif dengan para penontonnya, sering dibalas dengan komentar2 cheeky, tapi pengalaman membuat Suggs lihai membalas dengan jitu dan tetap kocak.
Saat mereka pamit utk pertama kali, tidak ada yg percaya mereka benar2 sudah selesai. Semuanya menunggu dengan penuh antisipasi sambil teriak2, “We want more!” (duhh standar banget ya). Dan benar, mereka keluar lagi, lalu memulai beraksi lagi sekian lama. Suggs lalu memperkenalkan satu persatu personel Madness. Sebagai selingan tambahan, Suggs mengumumkan bahwa minggu ini Woody, drummer mereka, berulang tahun. Ia mengajak semuanya menyanyi “Happy Birthday to You”. Lalu mereka pamitan lagi. Nah di kali kedua ini orang2 pada mulai percaya. Tapi ternyata… mereka muncul lagi! Suggs, dan beberapa yg lain, pakai handuk putih utk ngelap2 keringet. Habis itu bukannya disingkirkan, handuk tsb tetap dipakai Suggs di kepalanya, agak2 berusaha membentuk surban (*hint hint*). “NIGHTBOAT TO CAIRO!!” teriak orang2. Dan benar, lagu itu langsung dimainkan! Madness menyusul sbg lagu penutup. Setelah itu mereka benar2 berpamitan, “OK We’ve seen you, you’ve seen us. Let’s see each other some other time!”.

Lampu-lampu menyala, para penonton kelihatan basah karena keringat dan bir, rambut2 semua lepek kuyup ke bawah. Berjalan di dalam hall agak susah karena lantai lengket sekaligus licin di beberapa tempat. Peter bergabung dengan kami sejak “pamitan kedua” berlangsung, lalu kami bertiga berjalan menuju pintu keluar. Kami berpisah (sebab Peter naik sepeda), untuk segera menuju setopan Metro.
Beruntung, pertandingan sepakbola telah selesai, sehingga Metro tidak lagi dipenuhi para suporter dan fanatik Ajax. Namun, tak bisa dihindari, kami segerbong dengan sekelompok bapak2 Inggris penonton Madness, yg pasti sedang mabuk dan semuanya bermulut besar *sigh*.

Ah, senangnya akhirnya bisa nonton Madness, live! Secara keseluruhan, semuanya menyenangkan, enerji dan atmosfirnya bagus, meskipun agak terganggu dengan tumpahan bir dan bau asap rokok. ‘Laporan’ versi gambarnya ada di album ini.

Gambar: poster hitam-putih Madness yg adalah cover sleeve dari album Dangermen, salah satu desain T-shirt yg dijual malam itu (ukuran anak2) dan personel Madness dalam pose klasik mereka.

***jurnal ini dibuat utk Mas Chico, yg sempat jadi anggota fansclub-nya Madness di th 80an***

 

Nonton Konser Madness, Online!

20 July 2005

Hari Selasa pagi (19 Juli) kemaren, Sybrand kaget liat berita ttg Madness di De Volkskrant, bahwa malem itu akan ada konser mereka di Melkweg, Amsterdam, dan karcisnya udah habis terjual! Wah sayang kita nggak tau jauh2 hari. Mungkin karena mereka sengaja nggak publikasiin terlalu luas, sebab Melkweg ini lokasinya kecil mungil.

Tgl 12 Juli lalu pas Sybrand ulang taun, salah satu kado dari saya adalah CD Madness yg Dangermen, yang baruuu banget keluar. Makanya saya jadi penasaran banget sama konser Dangermen Session kemaren malam. Jadinya sepagian itu saya sibuk browsing untuk cari tau lebih lanjut. Ternyata kita bisa nonton konsernya online, lewat FabChannel! Nah, malamnya tinggal buka situs itu lagi untuk ikutan nonton konser.. asik asik asik! (Jo pinjem ya “asik”nya.. hehe..)

Jadi semalem, anak2 udah pada tidur (*fiuh*), mulai deh ke situs itu lagi, tepat pk 21:00. Hm, sayang mereka pake Windows Media Player, tapi bisa kok.. pilih sambungan ADSL (pilihan lain: modem).. lalu.. TA-DAH! Ada layar kecil muncul, menggambarkan suasana interior Melkweg di saat itu juga.
Saya dan Sybrand pernah ke Melkweg ini utk nonton konser Jonathan Richman tahun lalu, jadi saya masih agak2 familiar dengan suasana ruangnya. Terlihat orang2 sibuk ngobrol sambil minum (umumnya bir), sementara lampu2 masih agak terang menyorot sana-sini. Suara orang2 nggak kedengeran, tapi suara musik di panggung bagus sekali. Sama sekali nggak ada gangguan dengung penonton atau yg lain2 (wah gampang bener nih kalau mau ngebajak, mana kami sudah punya program utk merekam langsung.. hehe) Saat itu sedang dipasang lagu2 jenis ska untuk pemanasan. Madness-nya sendiri belum keluar.

Sekitar 10 menit kemudian, semua lampu padam. Lalu lampu panggung nyala, and here they come! Ahh banyak sekali orang yg masuk ke panggung! Madness ini adalah band yg saya suka sudah sejak 20 tahun yang lalu, tapi sampe sekarang nggak pernah tepat apal nama2 personilnya. Cuma ngerti si penyanyi, Suggs, dan pianist/keyboardist, Mike (yg kabarnya tinggal di Amsterdam), Lee Thompson (sax), Woody (drum).. yg lain2 cuma ngerti nick-name nya aja spt Cash Smash, Chrissy Boy dan Bedders. Selain itu, jumlah mereka setau saya ada tujuh, tapi kadang2 enam kadang2 delapan. Dan tadi malam, di panggung pasti ada lah 10 orang.. hahaha..
Tampang2 mereka sama aja seperti dulu, cuma sekarang tentunya versi umur 40an-nya. Tapi goyangannya, teteeupp! Gaya2 panggungnya sama, hanya saja Suggs kedengeran cepet capek nyanyi, jadi nggak heran instrumentalnya dibanyakin.

Lagu pertama, hanya instrumen untuk pemanasan masing2. Lalu masuk ke lagu2 dari album Dangermen (yang isinya memang kebanyakan cover songs dari lagu2 tua): Shame & Scandal (Lord Tanamo), You Keep Me Hanging On (Diana Ross & The Supremes –> ini salah satu cover song favoritku!), Girl Why Don’t You? (Prince Buster), lalu ada lagu yg saya nggak terlalu ngerti.. Habis itu Taller Than You Are (Lord Tanamo), sebelum satu lagu lg yg saya nggak apal judulnya (reff nya, “If you could lose me..”).
Setelah itu, lagu lama dari Madness sendiri, The Prince! Huaa asik, sampe joget2 sendiri di depan komputer.. hahaha.. Terus, cover song Lola (The Kinks)! Gile ini juga saya suka bangeeet! Dan jelas ikut2 nyanyi dong! Lanjut dengan So Much Trouble in The World (Bob Marley), Israelites, (Desmond Dekker), — (? nggak tau, tp reff nya gini: “Send him to outer space..”), lalu Wonderful World Beautiful People (?), John Jones (Desmond Dekker), diakhiri dengan satu lagu lama dari Madness lagi: One Step Beyond!

Suggs terkadang ngajak omong penonton juga. Kata2nya nggak selucu gayanya (apalagi gaya di videoclips-nya), malah kadang2 garing.. hihi.. Tapi kadang2 dia juga ngelempar lawakan ironis. Setelah One Step Beyond, semua meninggalkan panggung dengan ucapan terakhir, “Good night!”.
Wah, pikirku, pasti bo’ong nih, masa cuma 14 lagu, cuma 1 jam?! Para penonton, yang selama konser berlangsung nggak berhenti joget dan ikutan nyanyi, keliatan berseru2 “Madness! Madness! Madness!”.. dan beberapa menit kemudian mereka muncul lagi! Langsung dengan lagu Dangerman aka High Wire (Bob Leaper & His Orchestra –> another cool cover song!), dilanjutkan dengan lagu lama Madness, Night Boat to Cairo, lalu Madness! Huraaa bisa nyanyi bareng lagi! Setelah itu ada satu lagu lagi, didominasi instrumen tapi ada reff nya (“You’ll never gonna stop us..”). Habis itu konser benar2 berakhir. 19 lagu, selama 1 jam 26 menit – lumayan, meskipun nonton lewat Internet (‘gratis’, jreng!), tetap bisa sangat menghibur.

Pada layar komputer terlihat lampu2 dinyalakan lagi, dan para penonton perlahan beringsut dari tempat berdiri masing-masing, menuju ke pintu keluar. Lalu gambar terhenti. Mudah2an konser Madness berikut nggak terlewat lagi ah!

ps. Kalau ada yg mau coba nonton videoclips Madness, bisa download gratis di sini

My DD Confession (for Duran Duran fans only)

24 March 2005

I was so happy – no: excited! elated! – when I read the news about Duran Duran going to perform in Amsterdam. I’ll finally be able to go to their concert!

First, a short flashback of my affairs with Duran Duran. How long ago was it – 20? – when I first heard their songs, being a fresh 13 junior high school girl, and liked them rightaway. My cousin Chica was even a member of the Fans Club so I was lucky to be able to enjoy her photos, books and all. My parents used to bring us teen magazines when they went abroad and I was sooo happy to get them. Sadly, some of the magazines got confiscated (along with a couple of MAD magazines) because I brought them to school and, sadly, never got them back. Anyway, pictures in those magazines were my first models when I started learning to draw celebrities – most of the times on requests from friends – and Duran Duran was amongst the most wanted ones.

By then, in my early teens, you supposed to pick one band member as your favorite. Chica picked Nick and I at first picked Roger because I thought he was the coolest one. But since Chica’s (then) best-friend already picked Roger I had to pick someone else, so I picked John and stayed faithful to him . I remember also that my wallet was like a mini photo-album, full of DD and John photographs and only a bit of money. So one day, when that wallet was picked from my pocket in a city bus, my greatest loss was that photo collection (the amount of money was only 4000 IDR – or barely 0,50 EUR). I hope the pickpocket liked DD, too, so he’s not too disappointed .

I remember a rather embarrassing scene: we had a big official family dinner but I insisted on wearing my yellow DD polo shirt. I really refused to go unless I’m allowed to wear that shirt to the dinner and that has caused a fight with my brother (nothing new here, but still..). Finally my parents let me have my way and so we went to the restaurant to meet my aunts, uncles and cousins, who were all wearing proper dresses and shirts. Of course my outfit started some discussions and I quietly asked my cousin Chica (who was wearing a pretty maroon dress) why she didn’t wear her awesome Nick T-shirt and she said, “What?! My parents would kill me first!”. Luckily I didn’t get nagged at all by anyone for what I did so I supposed they could see how embarrassed I felt that night..

My parents used to bring us Duran Duran LPs from abroad, while I was happy to buy cassettes out of my earnings. Then we moved to another house when I turned 16, exactly when I started going to senior high school. My bed at one corner of my room looked like a Duran Duran shrine, full of their photo’s all over the bed shelves and sides. It was 1991 when I moved to another house, in another city. By then my Duran Duran knowledge has blended with my other 80s memories..

Life continues and I heard about them on and off, whenever broadcasted on the radio news.

2004. I’m married (2 children), currently living in Amsterdam and pursuing my study. I heard about their reunion and saw the news about their tours on TV. I found Nick’s and Simon’s account on Friendster, applied to them and was accepted, sent my testimonials and were accepted – only to find much later that those accounts are not actually theirs! *another embarrassment* But from a respond to my testimonial at ‘Nick’s’ Friendster I found out that they actually did perform in Jakarta, Indonesia, in 1995! No wonder I had no recollection of that, since that was the year I spent in Germany, working in a design office. Boy did I miss something!

Therefore, I thought I have to go to this show in Amsterdam, 31 May 2005. When else do I get the chance?! Because I plan to move back to my home country next year after finishing my study here and surely DD won’t have a tour around South-East Asia in the near future?! After purchasing a couple of tickets (one for Ayu if she can make it) I rightaway got hooked up at the Duran Duran website, their Message Board and the mailing list of Dutch-speaking DD fans. The photo’s I put here are from the DD website and there are some drawings of mine concerning my recent aDDventure here. I’ll surely post more, approaching the concert and afterwards