13 March 2006
Sabtu malam, 11 Maret 2006, sekitar pk. 21:00, tampak antrian panjang di luar Paradiso (sebuah gereja tua yg kini berfungsi sbg gedung pertunjukan). Hawa dingin dan turunnya butiran salju lembut tidak mengurungkan niat para pengunjung malam itu, yang telah menghabiskan seluruh tiket yang terjual.
Sekitar jam itu pula saya tiba di Paradiso, tapi tidak sempat berlama2 memandangi panjangnya antrian di luar sebab harus segera mencari tempat parkir utk sepeda saya, supaya bisa segera ikutan mengantri. Ini tidak mudah, sebab semua tempat parkir sepeda dan ruang yg ada di sisi jalan juga sudah penuh dengan sepeda. Untung akhirnya dapat juga tempat nyempil di seberang Paradiso, di pelataran sebuah sekolah tingkat menengah, meskipun harus dengan menarik dan menyingkirkan sebuah sepeda yg diparkir miring.
Mungkin sekitar 10 menit waktu yg dihabiskan para pengunjung untuk mengantri di luar. Saya hanya bersyukur hawa dingin malam itu tidak ditingkahi angin. Begitu antrian bersendat maju, saya termasuk yg bisa langsung masuk ke pintu, sebab selain tiket masuk Strips in Stereo (15 Euro), saya juga sudah punya tiket Paradiso (2,50 Euro, yg berlaku bulanan), sementara banyak orang yg masih harus mengantri utk ini. Sampai dalam ruangan, langsung terasa hangat, jadi saya titipkan dulu jaket tebal di ruang mantel (1 Euro per jaket) sebelum masuk ke ruang pertunjukan.
Lantai dasar Paradiso waktu itu sudah penuh orang yg sibuk berbincang, merokok, dan minum (ada bar di salah satu pojok ruangan). Di depan, terlihat berbagai instrumen musik sudah tertata di panggung. Di latar panggung, terdapat layar raksasa. Balkon lantai satu dan dua juga tampak sudah terisi penuh, sementara orang2 terus mengalir masuk. Terjual habisnya tiket masuk ini pasti juga karena adanya ulasan ttg acara ini di De Volkskrant (sebuah koran nasional) sehari sebelumnya. Suasana ramai karena ada alunan musik yg dikontrol oleh seorang DJ di pojok ruang yg berseberangan dengan bar.
Para pengunjung malam ini terlihat sangat beragam. Bukan saja dapat dikelompokkan antara yg datang utk musik atau datang utk komik atau dua2nya, tetapi juga dapat dikelompokkan antara penggemar suatu jenis musik. Maklum saja, sebab lagu2 yg dipilih oleh para komikus ini adalah dari bermacam2 jenis (ballads, rock, country, rap, dsb). Selain itu, orang2 ini antusias utk datang juga karena lagu2 yg terpilih akan dibawakan oleh musisi dan penyanyi aslinya.
Lagu pertama, Kinderballade, dibawakan oleh Boudewijn de Groot, yg di-cergam-kan oleh Maaike Hartjes. Sementara lagu dinyanyikan, pada layar terpampang animasi dari karya Maaike. Berbeda dengan gambar sehari2nya yg mirip stick figures, ilustrasi Maaike kali ini cukup memikat, bergaya dekoratif kejepang2an dengan aksen warna2 yg kuat. Balada si anak ini pun terasa mencekam, berkat visualisasi Maaike.
Boudewijn de Groot kemudian membawakan lagu keduanya, Malle Babbe, yg grafisnya digarap oleh Erik Kriek (pencipta seri Gutsman). Jenis lagunya pun balada, dengan lirik yg menggugah rasa, dan digambarkan dengan tepat oleh Erik. Gaya gambar Erik yg biasanya berjiwa American pop art, kali ini diberi aksen kekasaran tertentu, sesuai dengan setting waktu yg dipilihnya.
Berikutnya tampil Guido Belcanto dengan De Verpleegster, dengan visual karya Mark Retera (terkenal dengan tokoh Dirk Jan-nya). Sesuai kisah dalam lagu tsb, Mark menggambarkan Guido yg terpikat oleh seorang perawat yg mengambil contoh darahnya, yg terlihat resah waktu bertemu dokter, dan reaksinya saat ia mengetahui hasil tes darahnya. Di sini pacing dan komposisi panel (pada animasi komik) dengan tepat mengekspresikan tone dan lirik pada lagu.
Frans van Schaik membawakan Ketelbinkie yg divisualisasikan oleh Dick Matena, seorang komikus kawakan yg kali ini memilih menggunakan duo tone pada komiknya, dan menampilkan sosok2 karikatural.
Jeroen Zijlstra yg sedang tur berhalangan hadir utk membawakan lagunya, Je bent zo lelijk, dan digantikan oleh seorang rekannya. Lagu yg, bila diterjemahkan bebas, kira2 berarti “kamu jelek sekali” ini digambar oleh Hein de Kort, yang keunikan gayanya memang sangat cocok untuk lagu tsb. Gambarnya bergaris dan berbentuk seenaknya, dan sengaja dibuat berantakan, seolah2 hendak menekankan arti kata “jelek”.
Spinvis dengan lagunya Voor ik vergeet tampil di panggung dengan Hanco Kolk, komikus yg malam itu kebetulan berulang tahun (ya, penonton sempat menyanyi lagu ulang tahun utknya). Keunikan Hanco adalah gaya garis2 minim namun efektif. Utk Strips in Stereo, Hanco banyak menyertakan kolase foto di antara goresan kuasnya.
Malam itu, Hanco adalah satu2nya komikus yg melakukan live performance. Sebuah kanvas dipasang di panggung sebelum lagu dimulai. Saat Spinvis mulai memainkan lagu (yg terjemahan judulnya adalah “karena saya lupa”), Hanco pun turut beraksi dengan kanvasnya. Kanvas tsb sebelumnya telah digambar oleh Hanco: fokus pada tokoh utama lagu, dikelilingi oleh elemen2 memori yg ada pada benaknya. Selama lagu berlangsung, Hanco menyapukan kuas (dengan cat), sedikit demi sedikit, ke memori2 tsb, hingga perlahan2 hanya tinggal si tokoh utama yg terlihat pada kanvas. Menjelang lagu berakhir, si tokoh pun tersapu kuas, dan setelah semuanya ‘terhapus’ oleh cat, Hanco menggambarkan jantung hati tepat di mana si tokoh berada.
Peter Pontiac memilih lagu Meisjes (= perempuan muda) karya Raymond van ‘t Groenewoud utk divisualkan. Ini bukanlah pilihan sembarangan, sebab gambar2 perempuan karya Peter dinilai sebagai yg terseksi di seluruh Belanda. Raymond malam ini tampil mengenakan rok mini hitam (terlihat spt lingerie), wig brunette pendek dan memakai lipstick (bukan hal yg baru baginya utk tampil berkostum).
‘Komik’ Peter kali ini lebih berupa clip arts, yg memperlihatkan beberapa versi perempuan: dari tipe girl-next-door yg membuat jumpalitan para pria, hingga tipe alien yg membuat jiper laki2. Hal yg paling menarik adalah interpretasi Peter yg tak terduga terhadap lirik2 Raymond, yg lebih dari sekedar berorientasi seksual.
Getty Kaspers, eks penyanyi dari grup Teach-In (sebuah band pop di th 70an) menampilkan Ding-edong, yg divisualisasikan oleh Jean-Marc van Tol. Keras-pelannya nada di bagian2 tertentu pada lagu terasa pada gambar melalui besar-kecilnya huruf pada komik, terutama pada bagian ‘sound effect’ (bunyi detak jam, atau bunyi lonceng gereja).
Henny Vrienten dari grup Doe Maar membawakan Is dit alles?, yg liriknya digambarkan oleh Barbara Stok dalam suasana sehari2. Selingan “wouu wouu” yg sering terdengar dalam suatu lagu dimasukkan dalam panel2 komik melalui berbagai adegan (bayi menangis, anjing melolong, dsb). Sehingga, meskipun di luar alur cerita utama, “wouu wouu” itu tetap tampil pada komik.
Karya Thé Tjong-Khing termasuk yg paling ditunggu2 kali ini, mengingat kiprahnya terakhir dalam dunia komik profesional adalah lebih dari 20 tahun yang lalu (beliau kini lebih terkenal sebagai ilustrator buku anak2). Haar sneeuwwitte boezem dari Johnny Hoes yg dipilihnya mengisahkan ttg seorang gadis yg meninggalkan orang tuanya di desa kelahirannya utk pergi ke kota demi masa depannya. Ia lalu mengabari orang tuanya bahwa ia telah berhasil hidup di bawah gemerlapnya lampu kota besar. Interpretasi Khing sangat menarik: “gemerlap lampu”, yg biasanya dianggap sebagai mewahnya kehidupan kota besar, digambarkannya sebagai gemerlap lampu berwarna merah muda, yang membingkai sebuah kaca, di mana si gadis duduk menunggu pelanggan.
Leon Giesen (Mondo Leone) tampil dengan lagunya, Naakt en Kaal, yg divisualisasikan oleh Joost Swarte, komikus yg lebih dikenal sbg seorang desainer grafis termahal se-Belanda. Komposisi dan panel pada karya Joost sudah bisa diduga, dengan teknik garis bersih yg dianutnya itu. Kekuatannya dalam memainkan obyek2nya pun muncul melalui beberapa adegan surreal, yg juga merupakan spesialisasinya.
Def P (dengan grup rap-nya Osdorp Posse) membawakan Moordenaar, dengan visualisasi oleh Typex (baik lirik lagu maupun komik yang satu ini sangat tidak layak utk anak2). Typex membuat komik tanpa kata2: seluruh lirik dituliskan pada sebuah ‘piringan’ di tengah2 halaman.
Bennie Jolink (dari grup Normaal) membawakan D’n poot op het gas, digambarkan oleh Henk Kuijpers (yg terkenal dengan karya serinya, Franka). Komik yg satu ini tampil mantap, hingga hampir tak terasa bahwa teksnya adalah lirik lagu.
Peter Koelewijn dengan lagunya Kom van dat dak af, yg saking terkenalnya sampai dibilang ‘lagu nasional’ Belanda, tampil sebagai penutup. Gerrit de Jager, yg mencergamkan lagu ini, juga sangat terkenal berkat karyanya De Familie Doorzon (ia, dan Jean-Marc van Tol, adalah pemrakarsa acara Strips in Stereo ini). Tentu saja nomor ini mendapat sambutan sangat meriah. Sekali lagi, kerasnya nada dapat terlihat pada besarnya font, dan kecepatan lirik juga terlihat pada deretan kata2 yg bersambungan tanpa jeda.
Saya yg sebelumnya belum pernah mendengar lagu2 yg ditampilkan malam ini dapat dengan mudah menikmati musiknya. Mungkin juga karena terbawa suasana, di mana kelihatannya semua orang di Paradiso (kecuali saya) hafal lirik2 lagu tsb dan ikut bernyanyi.
Mengenai visualisasi lagunya sendiri (saya baru menduga, sebab belum melihat bukunya dengan lengkap, juga tidak hafal lirik lagu2 tsb), saya lihat para komikus tsb umumnya mengambil lirik dan menerjemahkannya ke dalam gambar, dengan interpretasi masing2 – bagai mengambil naskah utk dikomikkan. Ada juga di antara mereka yg bermain dengan tinggi/rendahnya nada atau kecepatan lagu, dan berusaha mengekspresikannya dalam gambar.
Baru ini yg dapat saya tangkap dari live performance malam itu, plus tampilan animasi komik pada latar panggung. (Review buku & CD Strips in Stereo akan saya susulkan begitu barangnya sudah ada di tangan)
Di penghujung acara, kedua pemrakarsa acara ini tampil ke panggung dan memperkenalkan para komikus yg terlibat, satu demi satu (semua hadir, kecuali Thé Tjong-Khing) dan menghadirkan kembali para musisi yg telah tampil malam itu. Namun ada berita mengecewakan bagi penonton: malam itu buku & CD Strips in Stereo tidak dapat dijual, sebab persediaan sudah habis sama sekali, dan kita semua harus menunggu cetakan keduanya! (atau mungkin stok habis karena distribusi besar2an sebelum malam itu?). Tentu banyak yg kecewa, termasuk saya, yg berniat memintakan tanda tangan pada buku tsb ke semua komikus yg hadir pada malam itu (sesuai yg dijanjikan pada program Strips in Stereo).
Untuk (agak) mengobati rasa kesal, sebelum pulang saya beli satu kopi versi Bootleg yg dijual di lantai atas (di mana berlangsung pula penjualan berbagai komik dan merchandise spt bros, stiker, dll). Bootleg ini berisi karya2 para komikus Belanda yg tidak termasuk dalam Strips in Stereo, namun juga menggambarkan lagu2 yg mereka pilih masing2. Fotokopian kualitas bagus, bersampul kertas warna perak, berharga 5 Euro.
Saat saya meninggalkan Paradiso (sekitar pk. 23:30), acara masih terus berlangsung: DJ, strips jam session, strips club, dsb. Berhubung bukan penggemar hura2 malam (sambil masih agak sebel perihal buku), dan ingat ada yg menunggu di rumah, saya memilih utk pulang.
Images: dari situs Strips in Stereo: sampul buku dan halaman2 dari Peter Pontiac dan Gerrit de Jager.